Akhlak (HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM TERHADAP ALLAH)


HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM TERHADAP ALLAH
2.1 HAK DAN KEWAJIBAN
Perkataan hak mempunyai bermacam-macam arti. Dalam Ilmu Akhlak yang dimaksud Hak ialah sesuatu yang dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok orang itu dapat berupa benda atau wewenang melakukan sesuatu.hak juga dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. sedangkan yang dimaksud kewajiban ialah apa yang harus dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang kepada orang lain atau kelompok orang lainnya. Ahmad Amin mengatakan : "Ma lil insan yusamma haqqan, Wama 'alaihi yusamma wajiban". Apa yang dipunyai oleh seseorang dinamakan Hak, dan apa yang harus diperbuat oleh seseorang kepada orang lain dinamakan Kewajiban. Dalam redaksi lain, "Al-haqqu ma laka, wal wajib ma 'alaika".Hak ialah yang engkau punyai, dan kewajiban ialah apa yang engkau harus lakukan (kepada orang lain).
Sebagian ulama menjelaskan yang dimaksud kewajiban ialah "perbuatan akhlak yang ditimbulkan atau digerakan oleh hati nurani". Dalam bahasa arab. seperti ditulis oleh Ahmad Amin, "al-'amal al-akhlaqi alladzi yab'atsu 'alal ityani bihi al-dhamir". Perlu diberikan catatan bahwa pengertian kewajiban atau wajib menurut akhlak berbeda dengan pengertian wajib menurut ilmu fiqh. Kewajiban menurut akhlak mengandung arti segala sesuatu yang dipandang baik oleh hati nurani, mencakup segala sesuatu yang wajib maupun yang sunnah hukumnya menurut kategori hukum dalam ilmu fiqh.
Hak dan Kewajiban merupakan dua hal yang saling berkaitan. Oleh karena hak itu merupakan wewenag dan bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya hak hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun akan berbuat yang sama pada dirinya. Jika seseorang mempunyai hak, misalnya hak memiliki sebuah rumah atau sebidang tanah, maka wajib bagi orang lain menghormati hak itu. Demikian pula wajib bagi yang memiliki hak mempergunakan haknya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan orang banyak. Jadi ada dua kewajiban : pertama, kewajiban yang dibebankan kepada yang memiliki hak; kedua, kewajiban yang dibebankan kepada orang lain.
2.2 HUBUNGAN ANTARA HAK, KEWAJIBAN DENGAN AKHLAK
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang disebut akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah. Hubungan dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak itu sendiri yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalanginya. Hak yang demikian itu merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak harus dilakukan seseorang sebagai haknya.
Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat. Dengan terlaksananya hak dan kewajiban, maka dengan sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara hak dan kewajiban dengan akhlak.
2.3 HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG MUSLIM TERHADAP ALLAH
2.3.1 Hak Seorang Muslim Terhadap Allah
Hak yang dimaksud disini adalah, apa yang harus dilakukan hamba terhadap Allah, apa kewajiban hamba yang merupakan hak Allah. Dan apapula yang menjadi balasan yang pasti Allah berikan kepada hamba tatkala hamba sudah menunaikan haknya Allah yaitu untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak syirik.
Dan bukan berarti hamba mewajibkan sesuatu terhadap Allah, karena tidak ada sesuatupun yang dapat memaksa Allah. Akan tetapi yang dimaksud hak hamba terhadap Allah adalah Allah yang telah menjanjikan terhadap hambanya dan Allah mewajibkan terhadap diri-Nya sendiri untuk memberikan hak hamba yang sudah menunaikan kewajibannya.
2.3.2 Kewajiban Seorang Muslim Terhadap Allah
Sekurang kurangnya Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Namun dengan demikian tidaklah menjadi alasan bahwa Allah SWT butuh disembah dan diagungkan oleh makhlukNya, bagi Allah baik manusia mau menyembahNya ataupun tidak, maka tidak akan mengurangi kebesaran dan kemuliaanNya. Hanya saja sudah seharusnya manusia, sebagai ciptaan Allah, menunjukkan akhlak yang baik kepadaNya.
Di antara beberapa akhlak seorang muslim kepada khaliknya adalah:
a. Tidak Menyekutukan Allah SWT
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah tidak menyekutukan Allah. Hanya Allah lah Tuhan yang patut disembah, dan hanya Allah lah Tuhan yang pantas diagungkan, oleh karena itu tidak ada alasan apapun bagi manusia untuk menyekutukanNya. Adapun amal manusia seharusnya hanya ditujukan untuk Allah SWT. sehingga manusia harus membuang jauh-jauh riya’ (menampakkan amal/beramal agar dilihat oleh orang lain).

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya (QS. An-Nisa’:116)
b. Taat Terhadap Perintah-Perintah-Nya
Selanjutnya yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
Artinya: “Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas dengan bersabda yang artinya: “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan sunnah)." (HR. Abi Ashim al-syaibani)
.
c. Memiliki Rasa Tanggung Jawab Atas Amanah Yang Diembankan Padanya
Etika ketiga yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya." (HR. Muslim)
d. Ridha Terhadap Ketentuan Allah SWT
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: " sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.
e. Bersyukur kepada Allah SWT
Tidak ada yang lebih pantas bagi sesuatu “yang telah diberi” selain berterimakasih dan memanfaatkan segala sesuatu yang telah diberikan untuk tujuan diberikannya. Adapun manusia yang telah diberi banyak kenikmatan, seharusnya selalu bersyukur kepadaNya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah:152)
f. Senantiasa Bertaubat Kepada-Nya
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 3 : 135) :

Artinya: "Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui."
g. Obsesinya adalah Keridhaan Ilahi
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita: "Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia." (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh oran lain.
h. Merealisasikan Ibadah Kepada-Nya
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):

Artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hokum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.
i. Banyak Membaca Al-Qur’an
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita: "Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya." (HR. Muslim)


DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. H. Ali Anwar Yusuf, M. Si. 2003. Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
2. Sayyid Ahmad Hasyimi Al-Mishri. Tt. Mukhtar Al-Ahadits An-Nabawiyyah. Surabaya: Haromain Jaya.
3. Drs. Umar Barmawi. 1976. Materi Akhlak. Bandung: CV. Ramadhani

Akhlak (Baik dan Buruk)

A. BAIK DAN BURUK
Tema mengenai baik dan buruk sering dibahas oleh para teolog islam (Mutakallimin) dan filosof muslim (failalsuf). Tanpa bermaksud mengurangi apresiasi terhadap pemikiran mereka, kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa secara nyata terlihat dan harus diakui adanya manusia yang berperilaku baik, dan juga sebaliknya. Terdapat sekian banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan mengenai hal ini, misalnya Qs. al-Balad (90):10—wahadainahu an-najdain—(maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk); Qs. asy-Syams (91):7-8—wanafsi wama sawwaha, fa alhamaha fujuraha wa taqwaha—(…dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan). Dengan kata lain, sesungguhnya dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan berlainan yakni baik dan buruk. Meminjam kerangka Freud, potensi berbuat baik bersumber dari Superigo, sedangkan potensi berperilaku buruk bersumber dari Id; keduanya ditengahi oleh Ego. Bila dibaca dengan kerangka al-Ghazali, Id lebih dekat sebagai nafsu, Superego sebagai kalbu, dan Ego merupakan Akal; Ruh tidak tercaver dalam kerangka Freud, dan ini jelas mencerminkan keunggulan konsep Islam sebagai dirpresentasikan oleh al-Ghazali.
Meskipun dua potensi tersebut sama-sama eksis dalam diri manusia, namun terdapat isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa potensi kebaikan muncul lebih dulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, sehingga dapat dikatakan bahwa pada dasarnya manusia itu lebih mempunyai kecenderungan kepada kebaikan. Menurut M. Quraish Shihab, pandangan seperti ini setidaknya didasarkan pada dua alasan: pertama, Qs. Thaha (20):121—wa ’asha adam rabbah fa ghawa (durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia). Redaksi ayat ini jelas menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Meski kemudian ia bertaubat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya; kedua, ditemukannya sejumlah kesepakatan tentang konsep-konsep moral pada setiap peradaban dan zaman. Jika terjadai perbedaan, hanyalah pada level bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan; pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi caranya berbeda-beda; dan perbedaan itu—selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum—maka ia tetap dinilai baik (ma’ruf). Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis-hadis nabi pun antara lain menginformasikan: kull maulud yulad ’ala fitrah fa abawahu yuhawwidanih au yunashshiranih au yumajjisanih (setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (ftrah), hanya saja kedua orang tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi (HR. Bukhari). Sejalan dengan ini adalah riwayat tentang seorang sahabat bernama Wabishah bin Ma’bad, yang menanyakan kebaikan kepada nabi, kemudian dijawab oleh beliau agar Wabishah menanyakan hatinya.
Dengan demikian menjadi wajar kalau kemudian ada ulama’ yang menegaskan bahwa melakukan kebaikan lebih mudah dibandingkan kejahatan. Muhamad Abduh misalnya, dengan merujuk kepada Qs. al-Baqarah (2):286—laha ma kasabat wa ’alaha ma iktasabat—(untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya), menyatakan bahwa iktasabat—dan semua kata yang berpatron demikian, memberikan arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, bebeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa paksaan. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).
Adanya potensi manusia untuk bertindak baik dan buruk, meski kecendetungan mendasarnya ke arah kebaikan, jelas relevan dengan adanya konsep baik dan buruk dalam teori etika/akhlak. Memang dalam wacana teologis dikenal adanya dua konsep yang berlainan mengenai hal itu, yang antara lain direpresentasikan oleh Mu’tazilah dan Asy’ariah. Bagi Mu’tazilah, baik dan buruk itu bersifat esensial, dimana keadilan misalnya, ia dikatakan baik karena memang esensinya baik; dan sebaliknya keburukan semisal dusta, ia dinyatakan buruk karena memang esensinya adalah buruk. Terhadap dua pandangan kontras ini kemudian M. Quraish Shihab memberikan penegasan bahwa tolok ukur kebaikan dan keburukan hanyalah ketentuan Allah yakni wahyu (al-Qur’an dan al-Hadis). Lebih jauh Shihab menambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah pastilah baik esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan misalnya sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya adalah buruk. Kalau memang demikian dapat dikatakan bahwa kebaikan adalah hal-hal yang sesuai dengan ketentuan dan aturan Tuhan, dan pasti baik bula esensinya; sedangkan kejahatan adalah hal-hal yang dilarang dan tidak sesuai dengan aturan-aturan Tuhan, dan tentu juga buruk esensinya.
B. Mazhab Etika tentang Baik dan Buruk
Dalam sejaran dikenal adanya beberapa sistem etika terkait dengan pandangan mereka mengenai baik dan buruk. Dalam bab ini kami tidak bermaksud membahas seluruh sejaran pemikiran moral mengenai hal itu. Kami sengaja membatasi diri dengan mengemukakan sejumlah mazhab yang kami pandang penting.
1. Hedonisme
Istilah ”hedonisme”, termasuk dalam konteks madzhab etika, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani hedone, yang berarti kesenangan, atau kenikmatan dan kepuasan rasa. Dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa secara kebahasaan, sesungguhnya kata hedone, dalam istilah hedonisme, dapat diartikan sebagai kesenangan, kenikmatan, kelezatan dan kepuasan rasa, serta terhindar dari segala penderitaan. Di dalam madzhab hedonisme, rasa puas atau kepuasan rasa—yang berarti juga kesenangan, kenikmatan, kelezatan—sebagaimana dikatakan oleh Poejawijatno, diidentikkan dengan kebahagiaan, yang kemudian hal ini mendatangkan sejumlah kritik; karena ternyata dalam kenyataannya, tidak semua kesenangan atau kepuasan mesti mendatangkan kebahagiaan, bahkan tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya bahwa kepuasan itu justru mendatangkan kegelisahan.
Relevan dengan makna kebahasaan di atas, hedonisme menempatkan hedone sebagai satu-satunya parameter untuk menentukan tindakan baik. Itulah sebabnya ada pendapat yang mendefinisikan hedonisme, dalam kapasitasnya sebagai salah satu madzhab etika, sebagai pandangan yang menempatkan kenikmatan sebagai tujuan satu-satunya dari tindakan manusia dan kunci menuju hidup baik (bersama dengan usaha menghindari penderitaan).
Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti hedonisme ini. Maka tidak mengherankan kalau pandangan ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas pertanyaan ”apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia”, pada hedonis menjawab ”kesenangan”, sesuai dengan asal kata hedonisme itu sendiri yakni dari bahasa Yunani hedone. Demikian dapat dikatakan bahwa, adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hedonisme adalah pandangan bahwa kenikmatan merupakan tujuan satu-satunya dari kegiatan manusia dan kunci menuju hidup baik (bersama dengan usaha menghindari usaha menghindari penderitaan). Oleh karena itu, ketika ditanyakan mengenai ”apa yang terbaik bagi manusia”, maka kaum hedonis pasti menjawab dengan menyebut ”kesenangan” (kenikmatan); yang baik adalah apa yang memuaskan rasa kesenangan atau kenikmatan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Dengan demikian bagi hedonisme, yang bisa dikatakan baik hanyalah hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan dan kelezatan, dan sebaliknya yang buruk adalah hal-hal yang tidak mendatangkan kenikmatan, atau bahkan mengakibatkan penderitaan. Maka orang yang bermoral (atau berakhlak dalam terminologi Islam) adalah orang yang berbuat untuk mendatangkan kenikmatan dan atau keksenangan, dan sekaligus menghindarkan diri dari penderitaan.
Pandangan hedonisme tersebut bukan tanpa alasan, sehingga wajar kalau kemudian diketahui hingga sekarang masih banyak penganutnya. Dalam konteks ini kaum hedonis mengemukakan argumen berupa realitas empiris seputar kehidupan manusia. Aristippos, tokoh pertama hedonisme, mengatakan bahwa sudah diketahui bersama, bahwa sejak masa kecilnya manusia senantiasa merasa tertarik dengan kesenangan dan bila tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya, manusia selalu berusaha menjauhkan dirinya dari ketidaksenangan, atau penderitaan. Dengan demikian memang harus diakui bahwa memang banyak perbuatan manusia diorientasikan untuk mencapai kepuasan atau kenikmatan, meskipun harus dikatakan bahwa ini bukan merupakan satu-satunya faktor. Bahkan sampai ada ahli psikologi yang berpendapat bahwa semua tindakan manusia berdasarkan atas kecenderungan yang tak disadari yakni untuk mencapai kepuasan semata, yang oleh Freud dinamakan libido seksualitas, atau cenderung untuk mencapai kepuasan dalam meiliki kekuasaan dalam teori Adler.
Sebagai mazhab etika, hedonisme dapat dikatakan berusia relatif tua. Dalam sejarah filsafat Yunani, hedonisme sudah ditemukan pada Aristipos dari Kyrene (sekitar 433-355 sM), seorang murid Sokrates, yang dikenal dengan mazhab Cyrenicnya. Pada suatu saat, Sokrates bertanya tentang tujuan akhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tetapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya mengkritik jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab, ”yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan”. Bagi Aristipos, kesenangan yang dimaksudkan di sini adalah kesengan yang memiliki tiga karakteristik pokok sebagai berikut ini. Pertama, kesenangan itu adalah bersifat ”badani atau material belaka”, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidaksenangan, misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya jika ia tidur. Kedua, kesenangan bersifat badani itu adalah kesenangan ”aktual”; bukan kesenangan masa lampau (karena hal ini tak lebih sebagai sebuah ingatan atas kesenangan) dan bukan pula di masa mendatang (karena ini tak lebih sebagai antisipasi atas kesenangan itu). Yang baik dalam arti kenikmatan sebenarnya adalah kenikmatan ”kini” (sekarang). Dan ketiga, kesenangan dalam hedonisme yang bersifat badani dan aktual (kini) adalah kesenangan ”di sini”, sehingga kesenangan yang dimaksudkan adalah kesenangan individual—bukan kesenangan kolektif. Apabila ditinjau dari parameter egoistis hedonisme dan universal hedonisme, maka hedonisme versi Aristippos ini masuk kategori egoistis hedonisme, dimana orang dikatakan bermoral apabila mampu berbuat mendatangkan kenikmatan untuk dirinya sendiri, bukan seperti universalisme hedonisme Itulah sebabnya K. Bertens menegaskan bahwa kalau dilihat secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kesenangan atau kenikmatan yang dimaksudkan oleh Aristippos, sang maestro hedonisme, adalah kesenangan sebagai yang berkarakteristik ”badani, aktual dan individual”.
Apabila ditinjau dari parameter ”egoistis hedonisme” dan ”universalistis hedonisme”, maka model hedonisme versi Aristippos ini masuk ke dalam kategori egoistis hedonisme (hedonisme individu). Sesuai dengan makna harfiahnya, bahwa egoistis hedonisme lebih memberikan penekanan pada kenikmatan yang bersifat individual (bukan kolektif), sehingga menurutnya orang yang bermoral adalah orang yang mampu melakukan suaty perbuatan demi mewujudkan kenikmatan (menghindarkan penderitaan) hanya untuk kepentingan dirinya sendiri saja, sama sekali bukan untuk kepentingan orang lain. Pandangan seperti ini jelas kontras dengan konsepsi universalistis hedonisme yang lebih memberikan penekanan pada kenikmatan dalam arti kenikmatan bersama (kolektif), sehingga orang dikatakan bermoral, dalam pandangannya, adalah apabila orang itu mampu berbuat untuk mendatangkan sesuatu yang dapat dinikmati secara bersama, atau kenikmatan yang bersifat kolektif; dan universalistis hedonisme inilah yang kelak dinamakan madzhab utilitarianisme dalam etika.
Di samping hal tersebut di atas, kemudian hedonisme mempunyai dua model penafsiran (interpretasi) yang berbeda (bahkan bertolak belakang), yakni hedonisme psikologis dan hedonisme etis. Hedonisme psikologis berpadangan bahwa semua tindakan manusia senantiasa diarahkan untuk mencapai atau mewujudkan suatu kenikmatan dan sekaligus menghindari, dan bahkan menjauhkan dirinya dari penderitaan. Sedangkan menurut hedonisme etis, semua tindakan manusia ”harus” ditujukan pada upaya pencapaian kenikmatan atau kesenangan dan sekaligus menghindari adanya penderitaan. Tesis yang pertama sering diposisikan sebagai dasar bagi tesis yang kedua, dengan alasan bahwa apabila semua tindakan manusia adalah hedonistis, tentu saja bersifat mustahil bila kita dianjurkan harus berbuat sebaliknya.
Dalam pandangan hedonisme, ada sejumlah batasan-batasan dalam mencapai kenikmatan itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Aristippos, bahwa dalam pencapaian kenikmatan itu diperlukan adanya pengendalian diri bagi manusia, sebagai juga telah diajarkan oleh gurunya yakni Sokrates. Dalam pada itu pengakuan perlunya pendendalian diri tidak identik dengan meninggalkan kenikmatan; yang penting adalah mempergunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana mengendalikan kuda atau perahu tidak berarti meninggalknannya, tetapi menguasainya menurut kehendak kita. Konon, kepada para pengkritiknya karena hubungannya dengan seorang wanita penghibur kelas tinggi bernama Lais, Aristippos menjawab: ”Saya memiliki Lais, bukan ia memiliki saya”.
Filosof Yunani lainnya yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270 sM). Meskipun Epikuros melihat hedone sebagai tujuan dan kunci baik kehidupan manusia, namun baginya pengertian kesenangan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan konsep Aristippos di atas. Bagi Epikuros, cakupan kenikmatan itu selain bersifat badani (material) juga ada kenikmatan ruhani (spiritual), dan bahkan jenis yang terakhir (kenikmatan ruhani) merupakan kenikmatan yang lebih mulia. Perihal pengakuan Epikuros atas adanya kenikmatan ruhani, sebagai tercermin dalam sebuah suratnya kepada Menokeous berikut ini: ”Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa”. Dan lebih dari itu, dengan beranjak dari keberadaan kesenangan ruhani sebagai yang lebih mulia, Epikuros tidak hanya membatasi kesenangan ruhani sebagai bersifat aktual semata (sekarang), melainkan juga kesenangan masa lampau dan masa akan datang.
Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti setiap kesenangan harus dimanfaatkan. Dalam konteks ini penting dikemukanan pembagian Epikuros tentang keinginan atas tiga macam: keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak) dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan). Hanya keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas menghasilkan kesenangan paling besar, karena itu Epikuros menganjurkan semacam ”pola hidup sederhana”. Orang bijak akan berusaha semaksimal mungkin hidup terlepas dari keinginan, sehingga manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Bagi Epikuros ataraxia sangat penting, sehingga ia mengapresiasinya juga sebagai tujuan kehidupan manusia (di samping kesenangan). Tujuan etik Epikuros dalam hal ini tidak lain adalah pendidkan jiwa jiwa guna menghadapi segala kondisi, agar manusia selalu tangguh menghadapi kehidupun di dunia ini, baik dalam suasana suka maupun duka.
2. Eudaimonisme
Teori etika ini dikemukakan oleh filosof besar Yunani, Aristoteles (384-322 SM), murid dari Plato dan pembangun filsafat paripatetik. Dalam sebuah karya etikanya, Nichomachean Ethics, Aristoteles mengemukakan bahwa setiap tindakan manusia mesti diorientasikan untuk pencapaian suatu tujuan, atau sesuatu yang baik bagi dirinya, dan tujuan yang tertinggi adalah kebahagiaan (eudaimonia). Menurut Aristoteles, hidup yang baik dapat dinyatakan dengan satu kata yakni ”kebahagiaan” (eudaimonia). Kebahagiaan adalah kebaikan instrinsik, dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri; sebenarnya Aristoteles telah mengatakan bahwa kata ”kebahagiaan” tidak lain adalah nama kebaikan yang hakiki dalam hidup, tujuan tertinggi-terakhir (summum bonum) dari seluruh perbuatan dan hidup manusia. Aristoteles menempatkan kebahagiaan di puncak etikanya, sebagai tujuan tertinggi, kebaikan tertinggi. Karena Aristoteles menempatkan kebahagiaan (eudaimonia) menjadi tujuan akhir (tertinggi) hidup manusia, maka teori etikanya dinamakan dengan eudaimonisme. Konsep kebahagiaan Aristoteles ini jauh lebih kompleks dan lebih tinggi daripada sekedar yang dikehendaki oleh kaum utilitarianisme. Bagi Aristoteles kenikmatan—yang dianggap kaum hedonis sebagai tujuan—bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya sebagai ”pelengkap” bagi tindakan yang baik.
Jalan yang mesti ditempuh oleh manusia untuk menggapai kebahagiaan tersebut adalah dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan, bahwa manusia hanya dapat mencapai kebahagiaan itu apabila ia menjalankan fungsi yang sebenarnya sebagai manusia secara baik. Dari situ muncul pertanyaan ”apa fungsi khas manusia”, ”apa keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain?” Aristoteles menjawab, ”akal budi atau rasio”. Dengan demikian manusia mencapai kebahagiaan dengan cara melaksanakan secara sempurna kegiatan-kegiatan rasionalnya. Oleh karena itulah maka dalam pandangan Aristoteles, seseorang tidak akan pernah bisa bahagia bila tidak berpengetahuan, dan karena dengan berpengetahuan, orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan buruk/salah (dengan kata lain, semua tindakan buruk merupakan hasil dari ketidak-tahuannya). Kegiatan-kegiatan rasional harus disertai keutamaan, yang oleh Aristoteles dibagi atas dua macam yakni keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Jika yang pertama signifikan untuk menyempurnakan langsung rasio itu sendiri, maka keutamaan yang kedua berarti rasio melakukan pilihan-pilihan moral yang perlu dalam hidup sehari-hari.
Dalam menentukan pilihan-pilihan moral, rasio manusia menentukan keutamaan sebagai ”jalan tengah” antara dua kutub ekstrims-keburukan. Dengan kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara kurang dan terlalu banyak. Dermawan misalnya, adalah keutamaan yang posisinya berada di tengah-tengah antara keburukan boros dan kikir; sementara keberanian adalah keutamaan yang ada di tengah-tengah antara membabi buta dan penakut. Keutamaan yang menempati posisi jalan tengah itu oleh Aristoteles disebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan di dalam penalaran intelektual. Konsep keutamaan sebagai jalan tengah dari dua kutub keburukan ekstrims inilah yang kemudian banyak diadopsi oleh para filosof etika Muslim, dan terutama sekali Ibn Miskawaih yang dikenal sebagai bapak etika Islam, dan dalam hubungannya dengan Aristoteles disebut sebagai al-mu’allim as-Salis (guru ketiga), setelah al-Farabi sebagai guru kedua dan Aristoteles sebagai guru pertama.
3. Utilitarianisme
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran etika di Inggris dan di kemudian hari berkembang meluas ke negara-negara kawasan yang berbahasa Inggris. Aliran ini sudah mulai dirintis oleh tokoh empirisme Inggris David Hume (1711-1776) dan mendapatkan bentuk yang lebih matang dalam pemikiran Jeremy Betham (1748-1832), dengan karyanya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Betham memulai pemikirannya dengan mengatakan bahwa manusia menurut naturnya tunduk pada dua kekuatan yakni kesenangan dan ketidaksenangan. Secara kodrati, manusia mencari kesenangan dan menghidari atau menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari segala penderitaan; sebatas dalam konteks ini Betham sebenarnya melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.
Karena secara kodrati tindakan manusia diorientasikan pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini Betham meninggalkan prinsip kesenangan individualistis dan egoistis dengan menekankan bahwa kebahagiaan menyangkut seluruh umat manusia, sebagai prinsip yang ia kemukakan: ”the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang). Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan kita pribadi meupun untuk kebijaksanaan pemerintah, misalnya, dalam menentukan hukum pidana. Jadi rumusan utilitarianisme adalah ”kebaikan terbesar buat sebanyak mungkin orang”.
Sebenarnya utilitarianisme memulai dengan pandangan bahwa yang memotivasi kita berbuat mula-mula adalah kebahagiaan kita sendiri, tetapi dari sini diturunkan prinsip objektif yang umum, yaitu bahwa kita bertindak tidak hanya demi kebahagiaan kita tetapi juga demi ”kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. Teori ini jelas lebih menekankan pada akibat-akibat daipada prinsip-prinsip dan niat-niat (inetensi), sehingga utilitarianisme lebih dikenal sebagai teori yang bersifat teleologis yang menekankan bahwa kenikmatan atau kebahagiaan adalah tujuan akhir (yang diinginkan dan memang pantas diinginkan) dari seluruh tindakan manusia. Meski demikian teori ini bukan sama sekali tidak peduli terhadap niat (intensi) atau aturan-aturan, tatapi penekanannya lebih besar atas akibat-akibat yang berguna dan akibat-akibat yang buruk/berbahaya daripada atas ”kehendak baik”.
Berdasarkan prinsip tersebut kemudian Jeremy Betham, yang sering diapresiasi sebagai pendiri utilitarianisme dalam arti yang sebenarnya, mengembangkan suatu ”kalkulus kebahagiaan” (perhitungan kebahagiaan) dalam mengevaluasi setiap tindakan, dengan menerapkan prinsip kegunaan secara kuantitatif. Setiap keputusan harus didasarkan pada kalkulasi kuantitatif semua kenikmatan/kesenangan dan pengurangan jumlah penderitaan. Sumber-sumber kesenangan dapat dikukur dan diperhitungkan menurut intensitas dan lamanya perasaan itu, jauh dekatnya perasaan, kemurnian dan jangkauan perasaan, dan lain sebagainya. Berdasarkan perhitungan ini, kita memilih tindakan yang mendatangkan kenikmatan terbesar dan penderitaan terkecil. Dengan demikian sesuatu itu dikatakan absah secara moral apabila kesenangan yang ditimbulkannya secara kuantitatif melebihi ketidaksenangan atau penderitaan. Moralitas semua perbuatan, menurut Betham, dapat diperhitungkan secara matematis-statistik.
Etika Behtam yang sangat kuantitatif tersebut kemudian diperhalus oleh John Stuart Mill (1806-1873), putra kolega Betham. Mill juga seorang utilaitarian, dan bahkan ada yang mengapresianya sebagai orang yang paling terkemuka dalam aliran utilitarianisme. Perlu diketahui bahwa Mill berbeda dengan Aristoteles; bagi Mill, kebahagiaan adalah identik dengan kenikmatan; apa pun yang dilakukan manusia adalah untuk mendapatkan kenikmatan dan menghidari penderitaan, dan inilah yang dinamakan kebahagiaan. Dalam konteks ini, setiadaknya ada dua pendapat dari John Stuart Mill yang penting dikemukaakan. Pertama, ia mengkritik pandangan Betham yang sangat menekankan kesenangan dan kebahagiaan sebagai bersifat kuantitatif semata; keduanya harus diukur secara kuantitatif. Di dalam selebarannya Utilitarianism (8161), sebenarnya ia begitu membela prinsip utilitas sebagai satu-satunya dasar etika yang paling masuk akal, tetapi sekaligus ia mengubah perhitungan Betham atas kenikmatan secara kuantitas (jumlah) semata dengan satu konsepsi ”kualitas”. Menurut Mill, kualitas kesenangan dan kebahagiaan harus juga diperhatikan, karena ternyata ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada pula yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan binatang, tegasnya, dan kesenangan orang seperti Sokrates harus dipandang lebih tinggi daripada kesenangan orang tolol. Dalam konteks ini Mill mengatakan: ”Lebih baik menjadi seorang manusia (Sokrates) yang tidak puas ketimbang menjadi seekor babi yang puas” (it is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied; better to be Socrates dissatisfied than a fool satisfied”. Dan pikiran Mill yang kedua, kebahagiaan atau kesenangan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, dan bukan kebahagiaan yang dimonopoli oleh satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Oleh karena itu seorang direktur dan bawahan mesti diperlakukan sama; kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap lebih penting dari kebahagiaan orang lain. Mill mengemukakan sebuah pernyataan etis, ”everybody to count for one, nobody to count for more that one”. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik apabila kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan atau penderitaan, dimana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.
Uraian mengenai hal ini antara lain dapat dibaca pada: Mudlor Achmad, Etika dalam Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1985), h. 41-52
Uraian memadai mengenai hal ini dapat dibaca misalnya, pada: Muh. Yusuf Musa, Filsafat Etika
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 259.
Lihat, misalnya: K. Bertens, h. 235.
Lihat, misalnya: Poejawijatno, h. 44.
Poejawijatno, h. 44.
Robert C. Solomon, h. 78.
Solomon, h. 78.
K. Bertens, h. 235.
Lihat, K. Bertens, h. 236.
Poejawijatno, h. 44.
K. Bertens, h. 236.
K. Bertensi, h. 236.
Solomon, h.
Lihat, K. Bertens, h. 236.
K. Bertens, h. 237.
Muhamad Hatta, h. 147.
Solomon, h. 71.
Lihat, misalnya: Donny Gahral Adian, Mengenal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn (Jakarta: Teraju, 2002), h. 177-182. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa ada tiga teori etika klasik, yaitu: Eudaimonisme-Aristoteles, Deontologi-Kant dan Utilitarianisme-Hume-Bertham.
Solomon, h. 79.
Lihat, Adian, h. 178.
Lihat, Karo-Karo, h. 74.
Adian, h. 178; K. Bertens, h. 243.
Lihat, Mohamad Hatta, h; Adian, h. 178
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi (Bandung: Mizan, 1993), h. 100.
K. Bertens, h. 246.
Solomon, h. 138.
Solomon, h. 138.
Solomon, h. 80.
Solomon, h. 140;
Dikutip dari K. Bertens, h. 249. Bandingkan dengan: Solomon, h. 140.
K. Bertens, h. 250; Adian, h. 181.
Ulama Pewaris Para Nabi

Ulama atau ahli zikir yang dimaksudkan di sini adalah merupakan ulama yang berwatak pendidik. Dia bukan sekadar mubaligh yang menyampaikan risalah-risalah Islam kepada orang ramai atau sekadar da`i yang menjemput, mengajak dan merayu orang ramai kepada Islam. Dia juga bukan sekadar muallim atau ustaz atau kiyai yang lazimnya hanyalah menyampaikan ilmu Islam kepada orang ramai. Usaha mereka itu hanya terbatas kepada ajaran Islam yang asas seperti ilmu Tauhid, Fikh dan Tasawuf yang merupakan fardhu Ain termasuk tajwid. Umumnya peranan para muallim dan ustaz hanyalah bersyarah dan memberi kuliah sahaja. Peranan dan aktiviti mereka ini sangat berbeza berbanding dengan murabbi yang mentadbir dengan serius untuk melatih, mendidik dan membimbing murid-muridnya supaya benar-benar yakin, takut dan cintakan Allah.
Murabbi berusaha meningkatkan ketaqwaan muridnya bagi menagih janji Allah dalam Al Quran iaitu untuk mendapat pembelaan-Nya dan untuk memperoleh kesejahteraan dunia dan Akhirat. Murabbi berperanan bagi mengurus, mentadbir dan memantau anak-anak muridnya supaya benar-benar tepat keyakinannya kepada Allah, tepat betul amal ibadahnya serta memiliki akhlak mulia. Dia menanam aqidah dan tauhid ke dalam jiwa anak-anak muridnya. Mendidik dan memimpin mereka dengan akhlak mulia yakni mengusahakan sifat-sifat mazmumah dalam hati dibuang dan diganti dengan sifat-sifat mahmudah. Ditunjukkan mana yang haq dan batil, mana yang halal dan mana yang haram. Peranan tersebut dianggap lebih serius daripada peranan ibu dan ayah.
Begitu juga peranan mu`addib iaitu pendidik yang menjadikan seseorang murid itu benar-benar beradab, sama ada beradab dengan Tuhan mahu pun beradab dengan manusia atau makhluk. Para murabbi dan mu`addib perlu memiliki ilmu, beramal dengannya serta menjiwai ilmunya. Namun murabbi dan mu`addib sebenarnya adalah rabbani, iaitu orang yang sangat hampir dengan Allah. llmunya langsung diberi oleh Tuhan. llmunya bukan sahaja dimiliki, malah diamal dan dihayati. Secara unggulnya, mereka adalah terdiri daripada para nabi dan rasul serta orang-orang pilihan Tuhan seperti para Sahabat Baginda Rasullulah SAW atau para aulia (wali-wali Allah). Mereka ini melakukan apa sahaja iaitu mengajar, mendidik dan memantau manusia semata-mata kerana Tuhan. Kerana mereka benar-benar kenal dirinya dan kenal Tuhan sehingga mereka sanggup berbuat apa sahaja kerana Tuhan. Mereka inilah ulama yang sebenar.
Ulama berwatak pendidik berperanan dengan mengambil kira sifat semula jadi manusia yang terdiri daripada jasad lahiriah, akal, roh dan nafsu. Kesemua juzuk diri manusia itu dibangunkan seimbang. Jasad dibangunkan dengan makanan yang sederhana, yang baik-baik, halal dan tidak mengandungi unsur-unsur syubahat. Juga dijaga kebersihan diri, ditentukan rehat yang cukup dan dijadualkan riadhah. Akalnya juga di-bangunkan dengan sempurna.
Selain diajar supaya pandai membaca, mengira dan menulis, mereka juga diberi ilmu dan pengalaman supaya menjadi cergas dan tajam pemikirannya. Ini dilakukan dengan pengajian, muzakarah, membiasakan mereka berfikir misal-nya dengan cara berdiri di depan khalayak atau majlis untuk memberi ucapan, bersyair, bersajak dan sebagainya. Atau mereka sering diberi tugasan yang memerlukan daya fikir yang mencabar. Misalnya tugasan yang memerlukan mereka membuat penyelidikan.
Rohnya disuburkan dengan sentiasa diingatkan akan kebesaran Tuhan, kekuasaan, kehebatan, kebaikan, nikmat dan rahmat Tuhan, tentang kehidupan Akhirat, Syurga dan Neraka. Mereka juga sentiasa diingatkan akan tugas dan peranan hidup di dunia sebagai hamba Tuhan dan khalifah-Nya. Untuk mendidik nafsu, ulama pendidik mendorong ke arah bermujahadah melawan nafsu untuk mencapai akhlak mulia serta meninggalkan kelakuan atau akhlak keji atau perbuatan yang tidak bermoral. Semuanya disampaikan dengan penuh bijaksana dan berhemah tinggi.
Ulama adalah pewaris nabi. Di zaman tidak ada nabi dan rasul, dialah yang mendidik umat dengan iman dan Islam. Dia mempertemukan umat dengan jalan hidup yang sebenar seperti yang Allah tunjuk dalam Al Quran dan Hadis iaitu satu-satunya jalan kebahagiaan hidup di dunia dan Akhirat.
Malangnya, ketiga-tiga istilah seperti murabbi, mu`addib dan rabbani ini telah terpinggir semenjak bermulanya ke-jatuhan tamadun Islam lebih 700 tahun yang lalu. Istilah-istilah tersebut sekarang hanya dianggap istilah-istilah khusus di dalam bidang dan amalan kesufian. Ini menyebabkan umat Islam tidak terdidik dan menjadi mundur. Yang dipopularkan hanyalah istilah mubaligh, da`i, muallim, ustaz dan kiyai yang kesemuanya hanya berperanan setakat berdakwah dan mengajar ilmu asas dalam Islam. Mereka bukan pendidik dan tidak mampu untuk mendidik jiwa atau roh termasuk nafsu umat Islam.
Inilah kerja para orientalis Barat dan musuh-musuh Islam. Mereka tahu bahawa murabbi, mu`addib dan rabbani adalah berbahaya kepada mereka kerana watak-watak ini mengembalikan kekuatan Islam. Mereka membina kekuatan rohani, kekuatan iman, kekuatan taqwa dan kekuatan ukhuwah dan kasih sayang dikalangan umat Islam. Oleh itu gelaran dan peranan murabbi, mu`addib dan rabbani ini disorok dan ditekan supaya hilang dari fikiran umat Islam. Digalakkan dan dipopularkan pengeluaran muallim dan ustaz dari berbagai-bagai universiti dari seluruh dunia.
Bagi mereka, lagi banyak muallim dan ustaz ini, lagi baik kerana umat Islam akan sibuk dan leka dengan ilmu-ilmu asas, ilmu-ilmu nas dan ilmu-ilmu furuk dan akan lupa untuk membina roh dan jiwa, akhlak dan kasih sayang, iman dan taqwa.
Walhal di situlah letaknya kekuatan utama umat Islam yang Barat dan musuh-musuh Islam tidak mampu untuk mengatasinya.Janji Tuhan,Islam tidak akan menang dengan quwwah(kekuatan lahir) semata-mata.Umat Islam akan menang hanya dengan taqwa.

Dibalik Rahmat Allah Swt

Alhamdulillah dengan beberapa nikmat Nya, diantara nikmatnya ialah Rahmat & Hidayah Nya, sehingga kita menjadi mukmin, dan diantara nikmat Nya adalah Allah memberikan pembatasan kepada perintahnya agar tdk menjadi beban dan rasa bosan, karena dengan keterbatasan itu kita akan menyaadari bahwa kita merupakan mahluk yang lemah, Keterbatasan manusia adalah rahmat dari Allah. Jadi sebagai manusia keterbatasan kemampuan kita untuk menyatukan semua ummat juga merupakan rahmat dari Allah SWT. Allah tidak memerintah diluar kemampuan hamba Nya.
Ibadahpun bermacam – macam tergantung pada keadaan yang terjadi, ketika orang mampu berdiri maka ia melakukan shalat wajib dengan berdiri, tetapi ketika datang khaliyah/ misalnya sakit maka bermacam – macamlah cara orang mengerjakannya.
Semua itu bukan sebuah perbedaan, akan tetapi sebuah rahmat yang telah dikaruniakan dari Allah swt kepada hambanya.
Sebagian kelompok yang berkeinginan agar semua manusia itu mempunyai pendapat yang sama/ sealiran, baik itu dalam masalah hukum, mu’amalat, atau dalam hal – hal lainnya yang berkaitan dengan masalah – masalah agama, maka perlu diketahui bahwa keinginan itu adalah suatu keinginan yang tidak mungkin bisa terlaksana.
Usaha untuk menyatukan perbedaan yang seperti itu, tidak akan membuahkan banyak hasil, malah akan menambah banyaknya perbedaan. Tetapi adanya usaha tadi adalah sebuah cerminan dari baiknya akhlak suatu kaum. Dan perbedaan dalam hal pemahaman, bukanlah sebuah perbedaan yang mendasar akan tetapi adalah suatu hal yang wajar. Karena perbedaan tadi memang sudah di picu oleh beberapa faktor, di antaranya :
A. Tabi’at Manusia
B. Tabi’at Agama
C. Tabi’at Bahasa ( Lughatul ‘Arabiyyah )
D. Tabi’at alam dan kehidupan.
A. TABIAT MANUSIA.
Allah menciptakan manusia dengan macam – macam perbedaan, tiap manusia mempunyai kepribadian, pemikiran, yang tidak sama, itu sudah bisa terlihat dari bentuk wajah yang berbeda, suara yang tidak sama, serta sidik jari yang bisa melacak identitas sang pemiliknya. Dari sini sudah nampak bahwa setiap manusia akan banyak berbeda dalam hal pemikiran, perasaan atau dalam menghadapi setiap masalah.
Apabila seseorang berkeinginan agar semua manusia bisa bersatu dalam segala hal, itu adalah hal yang mustahil dan sia – sia, karena itu sudah menjadi fithrah yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia, itu bukan perbedaan yang bertentangan akan tetapi adalah perbedaan macam.
B. TABI’AT AGAMA
Di dalam agama terdapat hukum yang beraneka ragam, ada yang manshush, maskut, ada hukum yang pasti, dan ada hukum yang masih memerlukan ijtihad ulama’. Dari macam – macam hukum ini saja sudah tentu akan muncul perbedaan – perbedaan yang tidak bisa dihindarkan.
Apabila Allah berkehendak niscaya dengan mudah Allah bisa menjadikan seluruh agama menjadi satu tanpa adanya perbedaan sedikitpun. Akan tetapi allah mempunyai kehendak lain. Agar tabi’at agama, bahasa dan tabi’at manusia bisa sepakat.
C. TABI’AT BAHASA ( LUGHATUL ‘ARABIYYAH )
Dasar agama yang menjadi rujukan segala macam masalah kehidupan adalah Al – Qur’an & Al – Hadits. Sebagaimana firman Allah :
Al – Quran & Hadits sendiri adalah Nash – nash lafdziyah atau teks yang menggunakan bahasa Arab yang sudah tentu didalamnya ada lafadz yang mempunyai makna ganda, atau yang mengandung HAKIKAT & MAJAZ serta lafadz – lafadz yang menunjukkan mafhumnya saja,.dan yang lain – lainnya yang dapat menyebabkan timbulnya penafsiran yang berbeda dari para mufassirin.
D. TABI’AT ALAM & KEHIDUPAN
Keadaan medan atau alam yang berbeda – beda, baik iklim suhu atau yang lainnya adalah salah satu faktor penyebab ketidak samaan watak manusia. Manusia yang hidup pada alam atau tempat yang mempunyai suhu panas tentunya mempunyai watak yang berbeda dengan manusia yang hidup dalam tempat yang sejuk atau bersuhu dingin, berapa macam keadaan atau tempat yang ada di permukaan bumi, dan tentunya berapa macam pula watak – watak yang akan terbentuk disana. Allah berfirman :
* Macam – Macam Perbedaan Dan Penyebabnya *
Allah menciptakan manusia berbangsa – bangsa dan bersuku – suku untuk saling mengenal. Kemudian dari perkenalan tadi timbullah interaksi antar manusia yang menimbulkan beragam kehidupan.
Salah satunya adalah perbedaan – perbedaan yang terjadi di kalangan manusia, yang apabila di tinjau dari sudut penyebabnya maka akan terbagi menjadi dua bagian Yaitu :
A. Perbedaan yang disebabkan perangai
B. Perbedaan yang di sebabkan pemikiran.
A. Perbedaan yang disebabkan perangai
Para Tokoh Ulama’ dan pendidik yang mengetahui keadaan ini, beliau selalu berfikir tentang bagaimana cara mengatasinya, karena tidak cukup hanya dengan melihat dan memandang saja akan tetapi harus mengetahui dari mana pangkal atau asal masalah ini.
Ulama’ mengemukakan bahwa perbedaan yang terjadi di antara manusia salah satunya disebabkan oleh beberapa perangai manusia, di antaranya :
1. Ujub kepada dirinya dan pendapatnya sendiri, dan selalu tergesa – gesa tanpa ada perhitungan yang matang.
2. Selalu berprasangka buruk kepada orang lain karena ia ingin selalu berada di depan dan punya kedudukan
3. Suka menuruti keinginan hawa nafsunya.
4. Terlalu fanatik dan suka mengkultuskan seseorang atau kelompok tertentu.
5. Terlalu fanatic kepada tempat – tempat tertentu.
Dan semua yang tertera di atas ini merupakan perbedaan yang menurut ulama sufi akan menyebabkan kehancuran yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Karena merupakan perbedaan yang tidak terpuji dan tercela.
B. Perbedaan yang di sebabkan pemikiran.
Pada dasarnya, perbedaan ini adalah perbedaan yang bersangkutan dengan pandangan atau pemikiran tentang sesuatu yang sama akan tetapi membuahkan hasil yang berbeda. Baik itu dalam masalah syari’ah atau sebagian masalah aqidah yang tidak teruraikan oleh dalil qath’i. atau perbedaan tentang politik serta pengambilan keputusan yang tergantung dengan keadaan tempat dan waktu.
Contoh perbedaan yang sangat nampak jelas pada perbeda’an pemikiran ini ialah perbedaan perbedaan kelompok – kelompok islam sekitar penempatan masalah politik yang benar itu bagaimana ? Seperti :
- bagaimana hukum kedaulatan yang tidak sesuai dengan islam ?
- Perlawanan kepada kelompok non islam untuk menjatuhkan rezim yang salah yang merebut kemerdekaan dan membungkam suara Demokrasi.
Dan hal hal lain yang bersangkutan dengan kehidupan manusia baik itu yang muslim ataupun non muslim.
Termasuk dalam perbedaan ini :
- perbedaan dalam politik murni : yaitu yang berkaitan dengan pertimbangan antara kemashlahatan dan mafsadah atau akibat baik buruk diwaktu sekarang dan mendatang.
- Perbedaan dalam fiqih murni mengenai boleh atau tidaknya sesuatu.
Dan termasuk juga dalam ikhtilaf al – fikriyah pandangan dalam berbagai ilmu pengetahuan seperti :
- Ilmu Kalam
- Ilmu Tashawwuf
- Ilmu Manthiq
- Ilmu Filsafat
- Ilmu Fiqih Madzhab
Dalam berbagai ilmu pengetahuan tadi terdapat para tokoh ahli ilmu yang saling beradu pendapat dan acapkali membuahkan banyak perbedaan hasil pemikiran yang memunculkan semakin banyaknya pengetahuan yang akan diperoleh dari hal tadi.
Perbedaan Fiqih
Paling kuatnya penyebab perpecahan antar ummat Islam adalah perbedaan dalam hal ilmu Fiqih. Yang di sebabkan oleh banyaknya perbedaan pemahaman masalah nash nash hokum, atau dalam pengambilan dalil tentang suatu hokum yang tidak tertera nashnya. Atau disebabkan karena beberapa kelompok yang lebih tekstual dalam pengambilan hukum atau lebih mementingkan pada ma’na yang tersirat.
Solusi Yang Harus Di Kerjakan Oleh Ummat Islam
Jalan keluar yang harus di lakukan oleh ummat islam untuk menghindari perpecahan yang mengakibatkan mafsadah antara lain :
1. Berbuat ikhlash karena Allah dan mengendalikan hawa nafsu.
2. Meninggalkan sifat apriori dan mengkultuskan tokoh atau kelompok tertentu
3. Menjauhkan diri dari sifat riya’ dan yang menyebabkan permusuhan.
4. Selalu berprasangka baik kepada orang lain.
5. Memilah dan memilih dimana yang lebih baik.

Sabar, Apakah Ada Batasnya?


Sabar adalah salah satu dasar dan fondasi ahlak dalam agama Islam yang lurus ini. Sungguh sebagian besar kita telah menghilangkan substansi makna kesabaran dengan mengatakan sabar hanyalah teori belaka.
Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imron: 200)

Kata sabar disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 90 kali. Kata sabar ini disebutkan dalam Al Qur’an melebihi kata jujur dan amanah. Alangkah bernilainya akhlak ini.
Rasulullah bersabda : “Sabar itu adalah cahaya” (HR. Muslim).

Mengapa Nabi Muhammad Saw. tidak mengatakan “Sabar itu adalah kekuatan” atau “Sabar itu adalah argumen” atau “Sabar itu adalah ketekatan yang bulat” ?. Beliau memilih kata “cahaya” karena dunia ini diliputi berbagai kegelapan, misalnya kehilangan ayah atau ibu, kehilangan anggota tubuh, kemaksiatan. Semua itu adalah kegelapan. Jadi, pengusir kegelapan adalah dengan cahaya.

Adapun jenis-jenis kesabaran yaitu: sabar menghadapi musibah, sabar menghadapi kemaksiatan, dan sabar menjalankan ketaatan kepada Allah. Jika kita memiliki ketia sifat tersebut, maka keimanan kita telah menjadi sempurna.

Pertama adalah sabar menghadapi musibah. Banyak contoh tentang sabar dalam menghadapi berbagai musibah, misalnya kematian, penyakit yang akut, kemiskinan, anak-anak yang gagal dalam sekolah, problem-problem keluarga, dan sebagainya.

Kematian merupakan musibah yang paling menyakitkan khususnya bagi wanita, karena kaum wanita merasakan pedihnya kehilangan orang-orang yang dicintai melebihi kaum pria.
Rasulullah bersabda: “Tidaklah ada seorang wanita diantara kalian di saat ia masih hidup tiga orang anaknya meninggal dunia, melainkan ketiga anaknya itu menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR. Bukhori Muslim).

Siapakah wanita di saat dia hidup, tiga atau dua orang anaknya meninggal dunia, balasannya adalah dia akan terhindar dari api neraka.
Musibah selanjutnya adalah penyakit. Diantara penyakit-penyakit tersebut yaitu penyakit gangguan hati, penyakit jantung, penyakit jiwa, dan berbagai penyakit yang lain. Ketika sakit, kita akan merasa sakit dan menangis karena pedihnya penderitaan yang kita alami. Tetapi hati kita merasakan kenikmatan, jika kita sabar dan mengharap pahala dari Allah. Walaupun rasa sakit mengerogoti, kita merasakan kelezatan pahala dan ampunan atas dosa-dosa kita.

Manusia yang paling ujiannya adalah pada Nabi. Nabi Ayyub a.s. mendapat ujian dari Allah, yaitu mewafatkan semua anaknya yang berjumlah sebenyak 14 orang, dan menimpakan penyakit yang mengerikan selama 18 tahun. Namun beliau tetap sabar.

Kita akan melihat kebanyakan orang bersabar tatkala ditimpa musibah. Namun ketika Allah membukakan pintu kenikmatan dunia, merekapun terjerenbab dan tak sanggup bersabar. Kita sering tidak sadar ujian berupa kesenangan adalah ujian yang membutuhkan kesabaran. Ujian berupa musibah ini adalah sangat nyata dan jelas. Oleh karena itu, jika kenikamatan datang kepada kita, maka bersyukurlah kepada Allah. Jika musibah menimpa kita, maka bersabarlah.

Kedua adalah sabar menghadapi kemaksiatan. Kesabaran menghadapi kemaksiatan dapat membuat kita melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya sebagian orang tidak pernah membayangkan bahwa dia akan meninggalkan merokok. Setelah 40 tahun merokok dia akan dapat meninggalkannya, jika dia bersabar.
Kisah Nabi Yusuf a.s. dapat kita jadikan sebagai teladan tentang urgensi kesabaran menghadapi kemaksiatan. Pengasingan beliau selama 20 tahun, kebencian saudara-saudaranya, dilemparkannya beliau ke dalam sumur, fitnah perbudakan yang menyebabkan beliau menjadi budak, fitnah dari seorang isteri raja, dijebloskannya beliau ke dalam penjara selama 9 tahun, dan akhirnya fitnah harta, pangkat, dan jabatan. Namun Nabi Yusuf a.s. tetap bersabar. Kisah tersebut dapat menjadikan diri kita kuat dan jiwa kita bebas dari penjara syetan yang menyesatkan.

Ketiga adalah sabar menjalankan ketaatan. Adapun yang termasuk contoh bentuk kesabaran menjalankan ketaatan ini adalah ketika kita mampu mentransfer kesabaran mengerjakan sholat, khususnya sholat malam kepada orang tua, saudara, suami atau isteri kita. Contoh lain adalah manakala kita bersungguh-sungguh bersahabat dengan orang-orang soleh dan menjauhi teman-teman yang buruk.

Kisah Nabi Ibrohim a.s. tatkala Allah memerintahkan untuk menyembelih Ismail a.s. anaknya melalui mimpi, adalah satu-satunya contoh kisah yang menggambarkan kesabaran menjalankan ketaatan.
Sesungguhnya derajat tertinggi dalam mengerjakan ketaatan adalah manakala kita bersabar atas musibah yang menimpa kita di jalan Allah. Ini adalah kedudukan para Nabi.

Dari ketiga jenis kesabaran yang telah dijelaskan di atas terdapat sosok yang dapat sabar menghadapi berbagai macam cobaan dan ujian, menghadapi segala bentuk kemaksiatan, dan menjalankan ketaatan kepada Allah, yaitu baginda Nabi Muhammad s.a.w.

Allah mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada kemenangan bagi agama dan pertolongan bagi kaum muslimin, kecuali dengan kesabaran. Oleh karena itu, jika mengadapi musibah, maka bersabarlah. Jika menghadapi maksiat, maka bersabarlah. Dan jika menjalankan ketaatan kepada Allah, maka bersabarlah. Karena sabar itu tidak ada batasnya.

ASAL KEJADIAN MANUSIA


Pada umumnya orang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang berakal budi yang terdiri dari jasad dan jiwa. Kesadaran demikian, tidak hanya terdapat pada manusia modern saja, tetapi juga dianut oleh manusia kuno penganut animisme dan politeisme, juga di kalangan agama Hindu, Budha, Yahudi dan Nasrani.

Menurut ahli Antropologi manusia tergolong primat dan diantara primat tadi manusia dianggap makhluk yang paling sempurna badan dan akalnya. Yang membedakan dia dengan mamalia lainnya ialah luas dan susunan otaknya, alat berbicara, tangan dan sikap badan yang tegak jika berjalan. Manusia dari segala macam rumpun bangsa yang hidup sekarang diberi nama homo sapiens (manusia yang bijaksana), atau homo recens (manusia zaman sekarang).

Manusia menurut Islam ialah sebut dalam Al-Qur’an dengan kata ins, basyar dan bani Adam. Manusia pertama diciptakan dari tanah, sedangkan keturunnya dari saripati tanah (sperma). Adapun proses kejadian manusia selain Nabi Adam tersebut dijelaskan dalam surah Al-Mu’minun ayat 11-16, sebagai berikut:

 وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ

“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani dalam tempat yang kokoh (rahim), Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqah, lalu alaqah itu kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu sesungguhnya kamu sekalian pasti mati. Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari(kuburan) di hari kiamat.”

Dari ayat tersebut kita memperoleh informasi tentang:
1. Manusia pertama yang diciptakan langsung dari tanah.
2. Keturunan manusia pertama tadi diciptakan melalui proses dari saripati tanah (sperma).
3. Setelah sempurna kemudian hidup, mati dan dibangkitkan (dari kubur) kembali hidup di akhirat.

Hidup menurut Islam bukan hanya kehidupan duniawi ini saja, tetapi berkelanjutkan sampai kehidupan ukhrawi (di alam akhirat). Hidup di dunia sebagai masa bakti. Kualitas hidup di akhirat erat sekali hubungannya dengan kualitas hidup di dunia ini. Apa yang dipetik diakhirat adalah hasil tanaman dunia. Amal baik berbalas baik atau berbuah baik, Sedangkan amal buruk berbalas buruk atau berbuah buruk.

Konsekwensi pandangan itu terhadap tindak tanduk atau perilaku hidup di dunia jelas sebagai akhlak muslim. Manusia muslim sadar benar bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang berjasad dan roh mengalami lima alam semenjak awal kejadiannya sampai dengan tempat akhirnya. Dari kelima alam itu (alam arwah, alam arhaam, alam dunia, alam barzah dan alam akhirat) ternyata di alam dunia inilah manusia mengemban tugasnya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Di dunia inilah pula manusia “menentukan” pilihannya, apakah ia ingin menjadi calon penghuni surga atau menjadi calon warga neraka. Namun demikian, bukan berarti bahwa pengabdiannya itu harus dengan menyisihkan segala urusan duniawi ini, justru kenikmatan Allah dikaruniakan bagi mereka yang hidup saleh di dunia dan mengharapkan kenikmatan di surga, selaras amalnya
PENCERAHAN RELIGIUS (SEBUAH PEMIKIRAN GRADUAL TENTANG KONSEP NASUT, LAHUT AL-HALLAJ: IKON KONTROVERSI MENUJU DAN HULUL)

Latar Belakang: Sebuah Prolog Yang Parsial
Tasawuf, sebagai metode intuitif-konstruktif menuju kebenaran hakiki, dalam dunia Islam menduduki posisi tersendiri yang banyak berpengaruh dalam perjalanan peradaban Islam. Perkembangan dan ketinggian posisi dari tasawuf melebihi berbagai kritikan pengamat dan penentang eksistensinya. Tasawuf eksis dengan berbagai persoalan yang melingkupinya dari zaman ke zaman.
Dunia pencarian Tuhan ini terus berevolusi menawarkan kebenaran instuitif yang sering dicari manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektualitas. Di saat pilihan rasionalitas tidak menemukan jawaban sebagai solusi, di saat jawaban tidak lagi memuaskan, dan juga di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternatif pilihan untuk menemukan kepuasan pencarian kebenaran.
Tasawuf sendiri mempunyai warna sesuai dengan kondisi pelaku dan waktu yang melingkupinya. Memang terkadang sulit merasionalisasikan tasawuf dengan rasionalitas. Karena sebagian diantaranya adalah pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan oleh pengetahuan rasionalitas yang begitu deskriptif, analitif, dan definitif. Ia adalah pengetahuan subjektif yang masing-masing manusia berbeda persepsi, satu titik yang bertolak belakang dengan objektifitas yang jadi ukuran utama kebenaran dalam rasio. Apapun definisinya tidak akan pernah bisa mengungkapkan hal yang sebenarnya. Layaknya definisi mawar tidak akan pernah bisa merasakan keindahan mawar itu sendiri. Jadi wajar jika dalam perjalanannya ia tetap menjadi ulasan yang tetap menarik sepanjang waktu, perdebatan para pakar, menghasilkan banyak sarjana, bukan saja dalam dunia Islam tapi juga dalam dunia orientalisme.
Tapi apapun versi tasawufnya, semua penganutnya percaya bahwa apa yang mereka percaya dan kerjakan adalah suatu doktrin terdapat dalam al-Qur’an dan contoh riil dari nabi Muhammad SAW, untuk diterjemahkan sebagai kebenaran walaupun dengan tebusan jiwa sekalipun. Seperti halnya dengan salah satu ikon terbesar dalam sejarah tasawuf dalam peradaban Islam yaitu Mansur al-Hallaj yang mati terbunuh untuk mempertahankan keyakinannya.
Metode yang digunakan untuk memenuhi ambisi penulis dalam membidik kehidupan Mansur al-Hallaj dan juga konsep tentang Nasut, Lahut dan Hulul adalah dengan mengkaji literatur-literatur (litterer research) yang berisi dan menyinggung tasawuf falsafi. Cara utama dan pertamanya ialah melihat tahun atau masa dimana sufi itu hidup dan juga meneliti karakter ajaran dan perilaku yang dijalankan.
Geneologi Pelacakan Tasawuf Al-Hallaj: Perjalanan dari Awal
1. Embrio Tasawuf Dalam Islam (Asketisme)
Sejak zaman sahabat sudah dikenal beberapa sahabat yang memiliki kepribadian mengagumkan sebagai wujud dari keshalehan individual maupun sosial. Mereka menganut secara ketat konsep-konsep keshalehan dan wara’ yang merupakan varian dari perilaku tasawuf. Perilaku sahabat yang paling terkenal adalah perilaku Ibnu Umar dengan cerita ruku’-nya yang terkenal yaitu lamanya ia ruku’ sampai burung pun menganggapnya sebagai dahan pohon,[1] Ali pun dikenal sebagai pemuda yang memiliki kesalehan yang luar biasa, begitu juga Abu Dzar al-Ghifari yang diterima periwayatan hadisnya oleh syi’ah. Umar, Khalifah kedua dalam sejarah Islam juga dikenal sebagai orang yang secara ketat dari kepemilikan harta, hingga tersebut bahwa ia hanya mempunyai dua baju, salah satunya mempunyai 70 tambalan.[2] Disamping mereka, masih banyak lagi kisah-kisah yang mengagumkan dari para sahabat Nabi Islam.
Kesalehan tersebut disandarkan pada perilaku Nabi sendiri yang selalu hidup sederhana dan penuh dengan sifat-sifat mulia, yang dalam pandangan Aisyah,”akhlaquhu ka al-Qur’an yajri fi al-ard”. Perilakunya bagaikan al-Qur’an yang berjalan di atas bumi. Sebuah ungkapan tentang contoh hidup (teladan) dari sebuah idealisme Islam. Sehingga wajar tatkala Muhammad wafat, banyak para sahabat yang yang merasa sedih kehilangan beliau, bahkan ketika haji wada’ (haji perpisahan) para sahabat telah banyak yang menangis karena kata-kata Nabi telah menandakan bahwa beliau akan meninggal.[3]
Pada saat Tabi’in hidup pada abad pertengahan awal hijriah, memang telah ada sekelompok orang yang menyerahkan hidupnya hanya untuk Allah, diantaranya yang hidup pada 21-110 H/728 M adalah Hasan al-Bashri, dari kalangan Tabi’in Madinah tapi kemudian menetap di Bashrah. Hasan al-Bashri mengenalkan beberapa konsep antara lain:
1. Zuhud dan menolak segala kesenangan dunia.
2. Khauf (takut) akan segala bentuk dosa.
3. Raja’ yaitu pengharapan akan mardlotillah.[4]
Hasan melihat bahwa umat Islam pada saat itu telah banyak terjebak pada kesenangan duniawi, kesenangan yang mudah dan banyak didapatkan karena dunia Islam telah berada pada masa kemakmuran. Dan para pejabat yang duduk diposisi strategis banyak terbuai oleh kesenangan profanistik, mereka menghiasi dirinya dengan kemegahan dan kemewahan yang tidak dicontohkan oleh Nabi sendiri semasa hidupnya.
Hasan al-Basri akhirnya membentuk sebuah majlis (kelompok) kecil dan mewariskan ajaran-ajarannya pada murid-muridnya. Di dalam majlisnya tersebut yang terletak di Bahsrah, kelompok Hasan al-Basri inilah yang merupakan cluster perkembangan tasawuf tahap awal.
Selain Hasan al-Basri, tokoh sufi terkenal lainnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah yang lahir pada 95 H/713 M di Basrah,[5] ia terkenal dengan Hubb Allah-nya, sufi perempuan pertama yang terkenal ini mengenalkan konsep hub allah dalam pengertian yang kuat dan emosional. Memang istilah hubb bisa kita temukan dari hadis-hadis Nabi, tapi konsep hubb dalam Rabi’ah al-Adawiyah telah mengantarkannya pada esoterik cinta. Ia meninggal pada 185 H/801 M dalam kesendiriannya di dalam gua yang selama ini menjadi tempatnya berasyik masyuk dengan Sang Tuhan.[6]
Tidak dijelaskan apakah Rabi’ah pernah berguru pada Hasan al-Bashri, tapi beberapa sejarawan ada yang mencatatnya telah pernah bertemu dengan Hasan al-Bashri, tapi tentu saat itu usia Rabiah masihlah sangat muda. Jika ia bertemu pada tahun 110 pada akhir masa al-Bashri tentu Rabiah masih berusia 15 tahun. Tapi yang jelas menurut sejarah ia berguru pada Sufyan al-Tsauri (97-161 H), yang juga salah seorang zahid generasi awal.[7]
Tapi terus terang pada masa diatas penggunaan nama sufi masih belum penulis temukan kecuali pendapat Abd al-Rahman al Jami yang mengatakan bahwa pada masa ini telah ada seorang zahid bernama abu Hasyim al-Kufi (w.776 M) yang hidup di kufah telah disebut sebagai sufi,[8] tapi pendapat ini tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan pengamat sejarah Islam, jadi wajar jika sebagian sarjana Islam mengistilahkan masa diatas sebagai masa asketisme dan prilakunya disebut dengan zahid atau apa yang penulis sebut periode ini sebagai periode embrio tasawuf.
2. Tasawuf Awal dan Perkembangan: Kultur Intelektual Al-Hallaj
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu al-Nun al-Mishri, ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir.
Setelah al-Misri, datang seorang sufi bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).[9]
Abu Yazid al-Bistami pada 260 H/873 M, seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. Jadi wajar jika al-Bistami dianggap oleh Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Lammen, sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani.[10]
Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’ Hadis, mereka mengancam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat.
Pasca al-Bishtami, al-Junaid pada 297 H / 909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat,[11] hal ini ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadis[12] di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik (otoritas) sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H) yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.
Mansur Al-Hallaj[13], murid al-Junaid yang hidup pada 244-309 H/858-922 M hadir dengan lebih berani dan radikal, sufi yang juga pernah berguru pada para guru sufi di bashra ini hadir dengan konsep hulul yaitu konsep wahdatul wujud dalam versi yang lain, jika al-Bistami memulainya dengan fana’ fillah, maka al-Hallaj mengemukakan pemikiran al-hulul yang berangkat dari dua sifat yang dipunyai manusia yaitu nasut dan lahut dengan cara mengosongkan nasut dan mengisinya dengan sifat lahut maka manusia bisa ber-inkarnasi dengan Allah atau yang terkenal dengan istilah hulul[14], dan seterusnya. Al-Hallaj tidak memakai tedeng aling-aling dalam menceritakan pengalaman spiritualnya dalam khalayak umum, baginya yang ada hanyalah Allah, tidak ada sesuatu pun yang harus ditutupi dari sebuah kebenaran, baginya kecintaan pada Allah dan “persetubuhan” dengan Allah dapatlah diraih, bahkan saat al-Hallaj dipasung ia sempat berkata,”Ya Allah ampunilah mereka yang tidak tahu, seandainya mereka tahu tentu mereka tidak akan melakukan hal ini”.[15]
Para sufi-sufi diatas kemudian diklasifikasikannya sebagai sufi falsafi dan sufi amali akhlaqi, diantara yang termasuk tasawuf falsafi adalah al-Hallaj, al-Farabi, dan al-Bistami, dan diantara yang menganut tasawuf amali adalah al-Junaid dan al-Kharraj.[16] Kaum falsafi biasanya diidentikkan dengan konsep sakr (kemabukan) dan isyraqiyah (pancaran), adapun tasawuf amali atau akhlaqi biasanya diknal dengan konsep sahw (ketenangan hati) dan zuhd.[17]
3. Perjalanan Intelektual Mansur Al-Hallaj: Suatu Kilas Balik
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.[18]
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884 M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid,[19] seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta). Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892 M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu).[20] Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923 M ia ditangkap.[21]
Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.[22]
Melacak Paradigma Pemikiran Al-Hallaj: Pemikiran Gradual Dalam Tataran Konsep
Husein ibn Manshur al-Hallaj yang merupakan syekh sufi paling terkenal pada abad 9 M, karena ia mengeluarkan statemen kontroversial, “Akulah Kebenaran”, suatu statemen yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodoks, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bidah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (al-Haq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri.
Kaum sufi yang sezaman dengan al-Hallaj juga sangat terkejut dengan pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniyyahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap rahasia tersebut.
Walau demikian, hampir semua syekh sufi sesudahnya memuji al-Hallaj dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. ‘Aththar dalam karyanya Tadzkirat al-Aulia, menyuguhkan banyak legenda seputar al-Hallaj. ‘Aththar menyatakan, seperti yang dikutip oleh Muhammad Ali Jamnia, bahwa ketakjuban manusia yang bisa menerima semak-belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as.) yang mengatakan, ‘Aku adalah Allah’, serta benar-benar meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu adalah kata-kata Allah sendiri!”.[23] Di dalam syair epiknya yang terkenal yaitu Matsnawi, Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa kata-kata ‘akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara ‘akulah Tuhan’ yang berasal dari Fir’aun adalah kedzaliman.[24]
Perlu dipahami bahwa pada abad ke 3 H, sufisme telah mentransformasi diri dari kezuhudan dan kesederhanaan kepada suatu pemahaman yang cenderung mengabaikan syariat secara berlebihan dan radikal[25], seperti kecenderungan para fukaha Ahlussunnah kepada syariat. Tokoh-tokoh sufi berpendapat bahwa pelaksanaan syariat itu hanya tepat untuk tahap permulaan, atau sekedar tangga yang mesti dilalui untuk pindah ke tahap berikutnya. Sebagian tokoh—terutama al-Hallaj—berpendapat bahwa barang siapa sudah sampai ke tujuannya, dia tidak memerlukan perantara lagi, dia diperbolehkan mengabaikan perantara-perantara tersebut. Karena itu, mereka berpendapat bahwa syariat itu boleh saja dilaksanakan sekedar formalitas; karena pelaksanaan syariat itu bahkan kadang-kadang menyebabkan timbulnya halangan dalam menyelamatkan diri mereka.[26]
Al-Hallaj dan kawan-kawannya lebih jauh bahkan berpendapat bahwa para wali mereka lebih tinggi derajatnya dibandingkan Nabi. Hubungan para wali dengan Tuhan mereka adalah hubungan langsung; mereka menyatu dan melebur (fana) di dalam-Nya. Sedangkan para nabi tidak berhubungan dengan-Nya kecuali perantara. “Kami mengarungi lautan, sedangkan para nabi berdiri di tepi lautan itu”. Mereka, Para sufi, berkata bahwa hanya diri mereka yang paling dekat dengan sang Mawla (Tuhan) jika dibandingkan fukaha Ahlussunnah yang paling taqwa sekalipun. Bahkan mereka lebih tahu tentang agama dibandingkan mereka. Agama ulama fikih, menurut mereka, adalah agama lahir, sedangkan agama mereka sendiri adalah agama batin. Mereka mengklaim bahwa makrifat dan hikmah Ilahiyyah lebih tinggi daripada ilmu para ulama. Alasannya, tidak ada ilmu yang menandingi tafakur, dan orang yang sudah mendalam ilmunya, maka dia akan dapat melihat dengan benar.[27]
Pemikiran al-Hallaj tentang inkarnasi (hulul), kefanaan dalam Zat Tuhan, serta kesatuan wujudnya dengan Tuhan dituduh telah menggangu ketenangan Islam. Al-Hallaj memproklamirkan tentang pencampuran ruh Tuhan dengan ruh manusia, seraya menjelaskan dalam syairnya bahwa dirinya dan al-Haqq, sang Pencipta adalah satu :
Akulah yang ingin dan Yang ingin adalah aku
Kami adalah dua ruh yang tinggal di satu badan
Jika kamu melihatku, berarti melihat-Nya
Dan jika kamu melihat-Nya, berarti kamu melihat kami[28]
Dalam dua buah bait syairnya di atas, dia mengemukakan bahwa dua sisi jurang telah tergabung. Yaitu, jurang yang tak berbatas dengan jurang yang berbatas; antara Allah dan manusia, menurut para fukaha Islam.[29]
Al-Hallaj dalam pengajaran doktrinnya yang paling dramatic adalah Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat (stasiun), manusia mampu ke tingkat fana suatu tingkat di mana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan. Dalam demikian itu, manusia memungkinkan untuk menghululkan Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral yaitu roh.[30]
Sesuai dengan ajarannya tersebut, maka ketika ia mengatakan statemen “Aku adalah Al-Haqq” bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan mengambil tempat dalam dirinya. Artrinya Tuhan mengucapkan kata-kata melalui diri al-Hallaj sebagai mediasi profinistiknya.
Sementara itu, hulul¬-nya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagai mana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan:
1. Tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa.
2. Tingkat memfanakan semua pikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah.
3. Tingkat menghilangkan semua kekuatan pikir dan kesadaran.
Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan wujud jati manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.[31] Tiada dalam kesadaran manusia akan eksistesi dirinya yang larut dalam fana kecuali kesadaran akan eksistensi Tuhan.
Karena Tuhan itu adalah Wahid, Ahad, Wahiid, dan Muwahhad maka pada dasarnya tidak ada yang mengesakan Allah kecuali Allah sendiri. Selama mengaku kediriannya dalam mengesakan Allah itu, selama itu ia belum bertauhid dan masih berada dalam syirik khafi. Oleh karena Tuhan ‘melarut’ dalam diri hamba yang dikehendaki-Nya, maka tauhid si hamba yang dikehendaki itu adalah terhadap diri yang fana al-fana itu sendiri, di mana ‘diri’ telah ‘berubah’ kepada Dia yaitu al-Haqq.[32]
Salah satu teorinya yang lain adalah adanya fenomena Nur Muhammad. Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini, dan dari padanya terpancar segala macam ilmu dan pengetahuan yang ghaib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.[33]
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil, sebagai manifestasi kesempurnaan pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-Masih. Bagi al-Hallaj, Isa adalah al-Syahid ala Wujudillah, tempat tajalli dan berwujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu.[34]
Penutup
Mansur Al-Hallaj merupakan suatu ikon tokoh tasawuf kontroversial dengan memunculkan statemen-statemen (syatahat) diluar jangkau rasionalitas manusia yang tidak mempunyai otoritas spiritualitas seperti dirinya. Konsep yang dimunculkannya banyak berimplikasi konstruktif pada penyatuan pandangan terhadap agama-agama di dunia menuju titik konvergensi dan pencerahan religiusitas umatnya. Dan dengan konsep hululnya ini pula, manusia dapat meraih hakikat spritualitas-religiusitas paling tinggi dan juga mampu meraih “penyatuan” dengan realitas ketuhanan menuju fase “kenikmatan tanpa batas”.
Tiada kata akhir selain kata “akhir” dari kalam Tuhan,
billahi taufiq wal hidayah.
________________________________________
[1] Afzalur Rahman. Tuhan Perlu Disembah: Eksplorasi Dan Manfaat Shalat Bagi Hamba. Jakarta: Serambi. 2002. Hal: 224
[2] Hamdani Rasyid. Kisah Tauladan Para Sahabat Nabi. Surabaya: PT. Inika Setya. 1997. Hal: 290. Lihat juga dalam Mahyuddin. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia. 2001. Hal: 59-69
[3] Muhammad Husein Haekal. Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Hidayah. 1996. Hal: 478
[4] Amin Syukur. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999. Hal: 12
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1997. Cet. 4. Hal: 60
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Al- Jami’ Abd al-Rahman. Nafahat al-Uns Min Hadarat al-Quds: Pancaran Kaum Sufi. Terj.: Kamran As’ad Irsyady, Edt.: Bioer R. Soenardi.Yogyakarta: Pustaka Sufi. 2003. Hal: 3
[9] Kata uzlah juga dikenal di kalangan tasawuf falsafi, uzlah dalam pandangan ini mengandung pengertian sebuah usaha untuk mencapai nalar rasional. Uzlah tipe ini dikemukakan oleh Ibnu Bajjah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1997. Cet. 4. Hal: 154
[10] Amin Syukur. Menggugat … Op. Cit. Hal: 33
[11] H.Lammens. Islam, Beliefs and Institutions. New Delhi: Oriental Bokks. 1979. Hal: 126
[12] Istilah ahli hadis pada masa itu tidak hanya dipakai untuk mereka yang memang punya spesifikasi hadis tapi juga para ulama fiqh, yang menyandarkan pendapatnya pada teks-teks al-qur’an dan al-hadis.
[13] Mansur Al-Hallaj dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866 M. Berbeda dengan keyakinan umum, Al-Hallaj bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk agama Islam. Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000. Hal: 135
[14] Hulûl secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulûl Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen. Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahât). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahât. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lâhût manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulûl dari nâsût Allah. Harun Nasution. Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1995. Hal: 87-91. Lihat juga dalam Shayk Ibrahim Gazur I-’llahi. The Secret Of The ’l-Haqq. Terj: HR. Bandaharo dan Joebaar Ajoeb. Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj: Ana Al-Haqq. Jakarta: CV. Rajawali. 1986.
[15] Al-Hallaj dipasung oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah pada tahun 923 M atas tuduhan paham sesat dan atas tuduhan terlibat dengan aliran syi’ah qaramiyah yang menentang dinasti Abbasiyah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi … Op. Cit. Hal: 74. Lihat pula dalam Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999. Hal: 172
[16] Rivay Siregar. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Klasik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 69-141
[17] Georges C. Anawati. Philosophy, Theology, And Mysticism, dalam Legacy Of Islam. Edt.: Joseph Schaht. Oxford: Oxford University Press. 1984. Hal: 368
[18] Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf … Loc. Cit. Hal: 135. Lihat juga dalam Mahyuddin. Kuliah Akhlaq … Op. Cit. Hal: 74
[19] Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf … Op. Cit. Hal: 135
[20] Saleh Abdul Sabur. Tragedi Al-Hallaj. Bandung: Pustaka. 1995. Hal: viii. Lihat juga dalam Cyril Glasse. The Concise Ensyclopedia Of Islam. Terj: Ghufron A. Mas’adi. Ensiklopedi Islam (Ringkas). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996. Hal: 120
[21] Alwi Syihab. Islam Sufistik. Jakarta: Mizan. 2001. Hal: 29. Lihat juga dalam Yunasril Ali. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1987. Hal: 67
[22] Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf … Op. Cit. Hal: 136
[23] Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia. Negeri Sufi. Jakarta : Lentera. 1997. Hal: 5
[24] Ibid. Hal: 7
[25] Nursiah. Ibnu Arabi Dan Syariah. Mizan: Bandung. 2007. Hal: 10
[26] Husin Ahmad Amin. 100 Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 1995. Hal: 113
[27] Ibid.
[28] Kausar Azhari Noer. Ibnu Al-‘Arabi: Wihdatul Wujud Dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina. 1995. Hal: 124
[29] Husin Ahmad Amin. 100 Tokoh … Op. Cit. Hal: 113
[30] M. Laily Mansur. Ajaran Dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Hal: 112
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Nur Aini. Nur Muhammad: Paradigma Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Makalah Latihan Kader II HMI Cabang Jember Se Jawa Dan Bali di Yabina. Tanggal 20 Oktober 2006. Maklah tidak diterbitkan.
[34] M. Laily Mansur. Ajaran Dan Teladan … Op. Cit. 112