PAJAK DAN ZAKAT


Pembahasan
A. Asal-usul Timbulnya Kewajiban Ganda Terhadap Harta
Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, kewajiban yang berkaitan dengan kepemilikan harta yang harus dipikul oleh umat Islam hanya satu yaitu zakat yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah SWT. Sebagai imbangan terhadap zakat yang diwajibkan kepada umat Islam, kepada umat agama lain (non-muslim) yang berada di bawah perlindungan Islam dikenakan (telah disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 29);
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29
Dan setelah itu tidak ada yang dikenakan double duties (kewajiban ganda) lagi.
Pada zaman imam madzhab (mujtahidin) timbul perbedaan pendapat tentang tanah yang terkena pajak, karena pemiliknya non-muslim pada waktu negerinya ditaklukkan pasukan Islam. Kemudian ia masuk Islam atau tanahnya dibeli orang muslim. Timbullah masalah apakah tanah yang terkena pajak itu juga terkena zakat, karena sekarang pemiliknya adalah muslim?
Menurut Jumhur, tanah tersebut wajib dizakati (di samping kena pajak) berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 26):
Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,” (QS. Al-Baqarah : 26).
Kemudian juga berdasarkan hadits Nabi SAW yang menunjukkan bahwa semua tanah yang mendapatkan air hujan (tanpa biaya atau mekanik) terkena zakat 10 % baik tanah yang terkena pajak maupun tidak.
Selain dalil naqli berupa ayat dan hadits tersebut di atas, jumhur juga menggunakan dalil aqli antara lain bahwa ketetapan zakat atas hasil bumi itu berdasarkan nash Al-Qur’an dan sunnah, maka karena itu ketetapan zakat tidak bisa terhalang oleh ketetapan pajak yang hanya berdasarkan ijtihad.
Menurut Abu Hanifah, tanah yang telah dikenakan pajak, tidak terkena zakat sekalipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dibeli oleh orang muslim. Tetapi sekalipun dari segi pengkajian ilmu hadits, hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan Abu Hanifah itu dipandang daif (lemah). Sebab apabila tanah milik seseorang yang terkena pajak, karena ia non-Islam kemudian masuk Islam atas kemauan dan kesadarannya sendiri, atau tanah milik orang tersebut dibeli orang lain yang muslim itu dikenakan double duties (pajak dan zakat), sedangkan pemilik tanah-tanah yang lain yang beragama Islam hanya dikenakan wajib pajak tanpa pajak. Oleh karena itu tampaknya lebih adil apabila bagi si pemilik tanah yang terkena pajak itu masuk Islam dan juga bagi seorang muslim yang membeli tanah yang terkena pajak itu diberi kesempatan untuk memilih di antara dua alternatif sebagai berikut:
1. Cukup membayar zakatnya saja sebanyak 5 – 10 % dari hasil tanahnya, sebab kewajiban pajak telah gugur, karena pemiliknya beragama Islam. Sebab illat hukumnya yang menyebabkan adanya kewajiban membayar zakat adalah pemilik non-muslim (sebagai imbangan kewajiban membayar zakat bagi pemilik tanah yang muslim). Hal ini sesuai dengan kaidah hukum:
الحكم يدور مع اعلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar atas illat ada/tidaknya hokum-hukum”.
Artinya jika illatnya ada, hokum ada dan jika illatnya tidak ada (situasi dan kondisi berubah) maka maksudnya pun tidak ada.
2. Cukup membayar pajak saja karena meneruskan status hukum tanah sebelumnya. Hal ini sesuai dengan dalil istishab dan kaidah hukum yang berbunyi:
الاصل بقاء ما كان على ما كان
“Pada dasarnya meneruskan apa yang ada menurut keadaanya yang semula.”
Jadi, karena itu secara historisnya mempunyai status hukum sebagai tanah yang terkena pajak (al-ardh al-kharajiah), maka pemiliknya yang kemudian pun tinggal meneruskan status hukumnya yang lama.



B. Perbedaan Dasar Zakat dan Pajak
Adapun perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar antara zakat dan pajak adalah sebagai berikut:
a. Beda dasar hukum. Dasar hukum zakat adalah Al-Qur’an dan sunnah, sedangkan dasar hukum pajak adalah peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Pajak dan sebagainya.
b. Beda status hukumnya. Zakat adalah suatu kewajiban terhadap agama, sedangkan pajak adalah suatu kewajiban terhadap negaranya.
c. Beda obyek/sasarannya. Wajib zakat adalah khusus bagi penduduk yang beragama Islam, sedangkan wajib pajak adalah bagi semua penduduk tanpa pandang agamanya.
d. Beda kriterianya. Criteria pendapatan dan kekayaan yang terkena zakat dan pajak, prosentasinya dan jatuh temponya tidaklah sama. Misalnya presentasi penghasilan dan dizakati adalah antara 2,5 %-20 % tergantung pada jenis usaha/pekerjaan/profesinya, yang sudah ditentukan kadarnya oleh agama dan tidak bisa berubah-ubah, sedangkan prosentase penghasilan yang terkena pajak di Indonesia dewasa ini sekitar 15%-25%. Dan sudah tentu kriteria wajib pajak juga besarnya tariff pajak bisa berubah-ubah.
e. Beda pos-pos penggunaannya. Zakat hanya boleh digunakan untuk delapan pos/ashnaf yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, sedangkan pajak digunakan untuk pos-pos yang sangat luas.
f. Beda hikmahnya. Hikmah zakat terutama untuk membersihkan/menyucikan jiwa dan harta benda wajib zakat, untuk meratakan pendapatan di kalangan masyarakat (agar tidak hanya dinikmati oleh si kaya saja, dan untuk meningkatkan kesejahteraan social, sedangkan hikmah pajak adalah untuk membiayai pembangunan nasional guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridha Allah SWT.
Kini lahirnya Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat dapat ditafsirkan sebagai kemajuan kualitatif dari pelaksanaan zakat. Undang-undang yang sarat dengan prinsip profesionalisme manajemen ini, di samping memberikan kekuatan legitimasi terhadap pranata keagamaan, sekaligus merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam menyempurnakan sistem pengelolaan zakat. Walaupun demikian, undang-undang ini menimbulkan masalah baru bagi umat Islam, khususnya bagi kaum aghniya bahwa mereka memikul beban kewajiban berdimensi ganda. Sebagai seorang muslim berkewajiban mengeluarkan zakat dan sebagai warga Negara berkewajiban mengeluarkan pajak. Pasal 14 ayat 3 dalam undang-undang tersebut menyatakan: “Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat dikurangi dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan seusia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Makna pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak tersebut dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, membayar zakat dan pajak. Masalah ini terpecahkan dengan diterbitkannya Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Pasal 4 ayat 1 berbunyi (yang tidak termasuk objek pajak): “bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak”.

C. Dasar Kewajiban Zakat dan Pajak
Kewajiban zakat bersumber pada wahyu Allah SWT dan menurut penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
QS. Al-Baqarah ayat 83:


Artinya: “dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”
Oleh karena itu zakat adalah kewajiban dan merupakan salah satu rukun dari rukun Islam. Walaupun di dalamnya terdapat unsur kewajiban materi, kedudukannya adalah sebagai ibadah yang setaraf dengan ibadah-ibadah lainnya. Kewajiban ini khusus diberikan kepada orang Islam. Kedudukannya sebagai ibadah itu menjadi motivasi yang kuat terhadap umat Islam di dalam pelaksanaannya.
Kewajiban pajak bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah melalui badan yang berwenang untuk itu, suatu kewajiban pribadi atau badan yang berlaku bagi setiap warga Negara. Bagi umat Islam kedua kewajiban itu adalah sama, meskipun dari segi motivasi pelaksanaannya, zakat lebih kuat meskipun tanpa sanksi, karena hubungannya antara hamba dengan Allah. Pada pajak hanya terdapat hubungan antara hamba dengan penguasa negara yang mewajibkan pajak tersebut.

D. Tujuan, Kewajiban Zakat dan pajak
Kewajiban zakat mengandung tujuan yang bersifat moral spiritual. Seorang muslim merasa menjalankan kewajiban agama yang harus dipikulnya sekaligus menyadari bahwa harta yang dimilikinya adalah harta Allah SWT. Dalam mensyukuri nikmat Allah itu, seorang muslim harus mengeluarkan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk tujuan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Tujuan moral terlihat dari segi anggapan bahwa sesame hamba Allah yang bersaudara harus memiliki kepedulian, saling tolong-menolong dan kasih saying di antara sesamanya. Zakat dikeluarkan dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan serta melaksanakan demokrasi ekonomi, dengan menghindarkan diri dari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
Pada pajak terlihat tujuan yang lebih bersifat material, yaitu sebanyak mungkin memasukkan materi ke dalam kas negara untuk membiayai kebutuhan negara. Dalam hal ini terkandung suatu pemikiran bahwa warga Negara yang mendapat keuntungan dan perlindungan dalam Negara harus mengimbanginya dengan membantu negara.

Analisis
Kewajiban membayar zakat telah diketahui sejak dulu. Sebenarnya pajak sudah ada pada zaman Nabi yaitu diperuntukkan bagi orang-orang non-muslim yang memiliki tanah di daerah islam. Pada zaman Nabi antara zakat dan pajak tidak harus dibayar semua. Karena zakat hanya diperuntukkan untuk orang-orang muslim, sedangkan pajak diperuntukkan orang-orang non-muslim seperti yang disebutkan tadi. Namun mengapa sekarang di negara kita keduanya harus dibayar. Hal itu terjadi karena ada beberapa permasalahan-permasalahan untuk zakat sendiri. Kita sebagai seorang muslim tidak mungkin kita meninggalkan zakat, karena zakat sendiri termasuk rukun islam. Apabila kita tidak melaksanakan zakat berarti kita belum melaksanakan rukun-rukun islam secara lengkap. Kalau begitu keislaman kita diragukan.
Untuk itu kita sebagai muslim yang menaati semua ajaran-ajaran harus melaksanakan yang lebih ditetapkan, sedang pajak merupakan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan fasilitas negara. Membantu pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional, demi terwujudnya baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Kita sebagai warga negara yang baik, apakah kita tidak ingin melihat negara kita sendiri makmur dengan tidak membayar pajak. Maka dari kita harus membantu pemerintah dalam pembangunan nasional dengan tertib dengan membayar zakat. Dari uraian di atas hanya beberapa alasan untuk membayar zakat dan pajak. Untuk itu apabila kita ingin menjadi seorang muslim yang baik sekaligus warga negara yang baik hendaknya memenuhi zakat dan pajak.

Kesimpulan
1. Adanya beberapa perbedaan yang mendasar antara zakat dan pajak dilihat dari segi dasar hukumnya. Dasar hukum zakat sendiri dari al-Qur’an dan hadits. Sedangkan pajak berasal dari perundang-undangan yang dibuatkan oleh pemerintah.
2. Dasar hukum zakat al-Qur’an dan sunnah yang telah disebutkan dalam QS. Al-baqarah ayat 83. Sedangkan pajak didasarkan perundang-undangan yang telah disepakati bersama.
3. tujuan dari zakat sendiri mempunyai dua sifat yaitu spiritual dan moral. Selain untuk menyucikan hati dan harta kita, serta bersyukur kepada Allah SWT. Sedangkan pajak sifatnya material, yaitu sebanyak mungkin memberikan kepada negara. Agar semua fasilitas di negara ini menjadi lebih lengkap, sehingga kita dapat menggunakannya.



DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998).
Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1994).
-------------------Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1987).
------------------Masail Diniyah Ijtima’iyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1994).

tima’iyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1994).
  

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Mohon Di Isi