Peng-kur (Memahami dan Memaknai Standar Isi)





BAB I

PENDAHULUAN 

A.      LATAR BELAKANG
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka secara otomatis pola pikir masyarakat berkembang dalam setiap aspek. Hal ini sangat berbengaruh besar terutama dalam dunia pendidikan yang menuntut adanya inovasi baru yang dapat menimbulkan perubahan, secara kualitatif yang berbeda dengan sebelumnya. Tanggung jawab melaksanakan inovasi diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dimana guru memegang peranan utama dan bertanggung jawab menyebarluaskan gagasan baru, baik terhadap siswa maupun masyarakat melalui proses pengajaran dalam kelas.
Dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka tidaklah mudah untuk langsung diaplikasikan di sekolah-sekolah, karena terlebih dahulu kita harus memahami konsep yang akan kita terapkan mulai dari Kajian standar isi bidang studi yang akan disampaikan, bahkan sampai dengan proses penilaiannya yang sudah tersusun sesuai dengan kurikulum yang dianjurkan saat ini.

B.       RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan sebagai berikut:
1.         Apa pengertian standar isi?
2.         Apa saja bagian-bagian dari Standar isi?

C.      TUJUAN PEMBAHASAN
1.         Untuk mengetahui pengertian standar isi
2.         Untuk mengetahui Bagian-bagian dari standar isi

BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN STANDAR ISI
Standar isi mencakup lengkap materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat:
·  Kerangka dasar dan struktur kurikulum
·  Beban belajar
·  Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan di tingkat satuan pendidikan,dan
·  Kalender Pendidikan.

B.       BAGIAN-BAGIAN DARI STANDAR ISI BIDANG STUDI
Adapun Bagian-bagian dari standar isi bidang studi yang saat ini diterapkan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dalam kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah :
1.         Analisis KTSP
Kurikulum merupakan seperangkat perencanaan dan pengaturan mengenai tujuan isi dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyediaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diberlakukan Departemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), sesungguhnya dimaksudkan untuk mempertegas pelaksanaan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) artinya kurikulum baru ini tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa.
KTSP untuk jenjang pendidikan dasar dikembangkan oleh sekolah komite sekolah dengan berpedoman pada standar  isi dan standar kompetensi lulusan serta panduan penyusunan kurikulum yang diterbitkan oleh BSNP. Pengembangan KTSP berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki potensi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
KTSP juga dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik serta kepentingan nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dimana antara kepentingan nasional dan daerah harus saling mengisi serta jenis pendidikan dengan tanpa membedakan suku, agama, dan antar golongan (SARA), adat istiadat, status sosial, ekonomi dan gender. Sehingga sejalan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-            Kelebihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia memiliki kelebihan masing-masing tergantung pada situasi dan kondisi pada saat kurikulum diberlakukan. Kelebihan-kelebihan KTSP ini antara lain
a)        Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam pendidikan.
b)        Mendorong guru, kepala sekolah dan pihak manajemen untuk semakin meningkatkan kreatifitasnya dalam penyelenggaraan program pendidikan.
c)        KTSP sangat memungkinkan bagi tiap sekolah untuk mengembangkan mata pelajaran tertentu bagi kebutuhan siswa.
d)       KTSP mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20 persen.
e)        KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhannya.
-            Kekurangan Kurikulum  Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia disamping memiliki Kelebihan juga memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan KTSP antara lain :
a)        Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada.
b)        Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.
c)        Masih banyaknya guru yang belum memahami KTSP
d)       Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran berdampak pada pendapatan guru.
2.         Analisis Kompetensi
a.        Konsep Kompetensi.
Konsep kompetensi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru. Mitrani, Palziel dan Fitt (Dharma, 2002:18) menjelaskan bahwa gerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal tahun 1970. Siswanto (2003) mengartikan kompetensi sebagai kemampuan manusia (yang dapat ditunjukkan dengan karya, pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap, motif dan/atau bakatnya) ditemukan secara nyata dapat membedakan antara mereka yang sukses dan biasa-biasa saja.
Adapun yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah spesifikasi atau sesuatu yang dibakukan, memuat persyaratan minimal yang harus dimiliki seseorang yang akan melakukan pekerjaan tertentu agar yang bersangkutan mempunyai kemampuan melaksanakan pekerjaan dengan hasil baik. Pendapat lain dikemukakan oleh Muins (2000: 40) bahwa standar kompetensi merupakan ukuran atas kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi dengan berbagai macam kultur dan erat kaitannya dengan pro-fesionalisme. Ini berarti, standar kompetensi merujuk pada suatu keadaan di mana seseorang dapat dipercaya berdasarkan kemampuannya.
b.        Karakteristik Kompetensi.
Penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan agar dapat mengetahui tingkat kinerja yang diharapkan untuk kategori baik atau rata-rata. Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan tentunya akan dapat dijadikan dasar bagi proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan pengembangan sumber daya manusia. Menurut beberapa ahli, terdapat lima karakteristik kompetensi, yaitu: motives, traits, self concept, knowledge, dan skills.
Motives, adalah sesuatu di mana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan. Traits, adalah wa-tak yang membuat orang untuk berperilaku atau bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara-cara tertentu. Self concept, adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki sese-orang. Knowledge, adalah informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Skills, adalah kemampuan untuk me-laksanakan suatu tugas tertentu baik secara fisik maupun mental.
3.    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Pada hakekatnya penyusunan RPP bertujuan merancang pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tidak ada alur pikir(algoritma) yang spesifik untuk menyusun suatu RPP, karena rancangan tersebut seharusnya kaya akan inovasi sesuai dengan spesifikasi materi ajar dan lingkungan belajar siswa (sumber daya alam dan budaya lokal, kebutuhan masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi).
Pengalaman dari penilaian portofolio sertifikasi guru ditemukan, bahwa pada umumnya RPP guru cenderung bersifat rutinitas dan kering akan inovasi. Mengapa? diduga dalam melakukan penyusunan RPP guru tidak melakukan penghayatan terhadap jiwa profesi pendidik. Keadaan ini dapat dipahami karena, guru terbiasa menerima materi-materi atau bahan ajar dalam bentuk format yang mengekang guru untuk berinovasi dan penyiapan RPP cenderung bersifat formalitas. Bukan menjadi komponen utama untuk sebagai acuan kegiatan pembelajaran. Sehingga ketika otonomi pendidikan dilayangkan tak seorang gurupun bisa mempercayainya. Buktinya perilaku menyusun RPP dan perilaku mengajar guru tidak berubah jauh.
Secara umum, ciri-ciri Rencana Pelaksanaan Pembelajaran  (RPP) yang baik adalah sebagai berikut:
1)   Memuat aktivitas proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan oleh guru yang akan menjadi pengalaman belajar bagi siswa.
2)   Langkah-langkah pembelajaran disusun secara sistematis agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
3)   Langkah-langkah pembelajaran disusun serinci mungkin, sehingga apabila RPP digunakan oleh guru lain (misalnya, ketiga guru mata pelajaran tidak hadir), mudah dipahami dan tidak menimbulkan penafsiran ganda.
Acuan alur pikir yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah:
a.    Kompetensi apa yang akan dicapai.
b.    Indikator-indikator yang dapat menunjukkan hasil belajar dalam bentuk perilaku yang menggambarkan pencapaian kompetensi dasar.
c.    Tujuan pembelajaran yang merupakan bentuk perilaku terukur dari setiap indikator.
d.   Materi dan uraian materi yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa agar ianya dapat mencapai tujuan pem­belajaran.
e.    Metode-metode yang akan digunakan dalam pembelajaran.
f.     Langkah-langkah penerapan metode-metode yang dipilih dalam satu kemasan pengalaman belajar.
g.    Sumber dan media belajar yang terkait dengan aktivitas pengalaman belajar siswa.
h.    Penilaian yang sesuai untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran.

BAB III
PENUTUP 
A.      KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut, yaitu :
Standar isi mencakup lengkap materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
 Sedangkan mengenai standar isi baik yang menyangkut bidang studi maupun standar kelulusan sangat berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya proses suatu proses pembelajaran yang dilakukan.
Adapun bentuk-bentuk kajian standar isi bidang studi yaitu :
1.    Analisis Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP)
2.    Analisis Standar Kompetensi.
3.    Analisis Kompetensi Dasar
4.    Analisis Indikator.
5.    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

B.       SARAN
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang dipahami, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan kami sangat berterima kasih apabila ada saran dan kritik yang sifatnya membangun sebagai penyempurna dari makalah ini. 

DARTAR PUSTAKA

Ali, M, 1992. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru
Hamalik, O, 2001. Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
Kosasi, Dj, 1992. Dasar-Dasar Metodologi Pengajaran. Bandung: Lab. Pengajaran PSP IKIP Bandung
Moejdiono, 1991/1992. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan

Ilmu Jiwa Agama (Konversi Agama)



A.  Pengertian Konversi Agama
Tidak mudah untuk memberikan definisi yang tegas apa yang dimaksud dengan konversi agama. Pengertian konversi agama menurut etimologi, konversi berasal dari kata latin “conversio” yang berarti tobat, pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata bahasa Inggris yaitu “conversion” yang berarti berlawanan arah", yang mengandung pengertian: "berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut, dengan sendirinya konversi agama berarti terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula.[1]
Ada beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama, antara lain:
1.    Heirich
Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
2.    James
James (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: “to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hitherro devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities”. “berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kuran bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama”.
3.    E.Clark
Clark (dalam Daradjat, 1979), memberikan definisi konversi sebagai berikut: konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.
4.    Walter Huston Clark
Dalam bukunya "The Psychology of Religion" , memberikan definisi konversi sebagai berikut. Konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukkan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah terjadi yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal. Dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.  
Dari beberapa definisi tersebut, yang dimaksud dengan konversi agama ialah: perubahan pandangan seseorang atau sekelompok tentang agama yang dianutnya, atau perpindahan keyakinan dari agama yang dianutnya kepada agama yang lain.
B.  Proses Konversi Agama
Dalam membahas tentang proses konversi agama, sulit untuk menentukan sejumlah proses yang akhirnya membawa kepada keadaan keyakinan yang berlawanan keyakinan dengan keyakinannya yang lama. Proses ini berbeda antara orang satu dengan lainnya, hal ini sesuai dengan pertumbuhan jiwa yang dilaluinya, serta pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil, ditambah dengan keadaan lingkungannya dan pengalaman terakhir yang menjadi puncak dari perubahan keyakinan itu. Prof.Dr. Zakiah. Daradjat (1979) memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
1.    Masa tenang, disaat ini kondisi seseorang berada dalam keadaan yang tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriori (belum mengetahui) terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram. Segala sikap dan tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh atau menentang agama.
2.    Masa ketidaktenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin di karenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang di alami.Hal tersebut menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batin sehingga menyebabkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa, ragu, tegang dan bimbang. Perasaan tersebut menyebabkan seseorang lebih sensitif dan hampirhampir putus asa dalam hidupnya dan mudah terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
3.    Masa konversi, tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, hidup yang tadinya seperti dilamun ombak atau di porak porandakan oleh badai topan persoalan, tiba-tiba angin baru berhembus, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Karena disaat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
4.    Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap yang sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini di timbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah di ambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah di lalui, maka timbullah perasaan atau kondisi jiwa yang baru, rasa aman dan damai di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada kesalahan yang patut di sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi mudah dan terselesaikan. lapang Dada, menjadi pemaaf dan dengan mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain.
5.    Masa ekspressi konversi, sebagai ungkapan dari sikap menerima, terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan.
C.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Agama
Sesungguhnya untuk menentukan faktor-faktor apa yang mempengaruhi dan menyebabkan mungkin terjadinya konversi agama itu memang tidak mudah, namun demikian ada beberapa faktor yang tampaknya terjadi dan terdapat dalam setiap peristiwa konversi agama, antara lain:  
1.    Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan.
Orang-orang yang gelisah, di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problema, itu mudah mengalami konversi agama. [2]Di samping itu sering pula terasa ketegangan batin, yang memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah yang kadang-kadang terasa tidak ada sebabnya dan kadang-kadang tidak diketahui. Dalam semua konversi agama, boleh dikatakan, latar belakang yang terpokok adalah konflik jiwa (pertentangan batin) dan ketegangan perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai keadaan
2.    Pengaruh hubungan dengan tradisi agama.
Diantara faktor-faktor penting dalam riwayat konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman yang mempengaruhinya sehingga terjadi konversi tersebut.[3] Diantara pengaruh yang terpenting adalah pendidikan orang tua di waktu kecil mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi padanya konflik konversi agama, adalah keadaan mengalami ketegangan yang konflik batin itu, sangat tidak bisa, tidak mau, pengalaman di waktu kecil, dekat dengan orang tua dalam suasana yang tenang dan aman damai akan teringat dan membayang-bayang secara tidak sadar dalam dirinya. Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa tertentu menyebabkan konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gereja-gereja. Melalui bimbingan lembaga-lembaga keagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalamkonflik jiwa atau ketegangan batin yang tidak teratasi.
3.    Ajakan/seruan dan sugesti.
Banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi agama terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar. Orang-orang yang gelisah, yang sedang mengalami kegoncangan batin, akan sangat mudah menerima sugesti atau bujukan-bujukan itu. Karena orang-orang yang sedang gelisah atau goncangan jiwanya itu, ingin segera terlepas dari penderitaannya, baik penderitaan itu disebabkan oleh keadaan ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi atau moral.[4]
4.    Faktor-faktor emosi.
Orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang mengalami kegelisahan. Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu banyak pengaruhnya, namun dapat dibuktikan bahwa, emosi adalah salah satu faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya konversi agama, apabila ia sedang mengalami kekecewaan.
5.    Kemauan.
Kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu sendiri untuk memeluk kepercayaan yang lain Selain faktor-faktor diatas, Sudarno (2000) menambahkan empat faktor pendukung, yaitu:[5]
a)    Cinta.
Cinta merupakan anugerah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup tidak akan menjadi indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu fungsi sebagai psikologi dan merupakan fitrah yang diberikan kepada manusia ataupun binatang yang banyak mempengaruhi hidupnya, seseorang dapat melakukan konversi agama karena dilandaskan perasaan cinta kepada pasangannya.
b)   Pernikahan.
Pernikahan adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai dan menyayangi.
c)    Hidayah
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qasas:56) “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al An’am: 125) Ayat-ayat Al-Qur’an diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bagaimanapun usaha orang untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keyakinannya, tanpa ada kehendak dari Allah SWT tidak akan bisa. Manusia diperintah oleh Allah SWT untuk berusaha, namun jangan sampai melawankehendak Allah SWT dengan segala pemaksaan.
d)   Kebenaran agama.
 Menurut Djarnawi (Sudarno, 2000) agama yang benar adalah yang tepat memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang bukan Tuhan dianggap Tuhan. Kebenaran agama yang dimaksud tidak karena paksaan, bujukan dari orang lain, akan tetapi lewat kesadaran dan keinsyafan antara lain melalui dialog-dialog, ceramah, mempelajari literatur, buku-buku dan media lain.


           II.     PENUTUP
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diperoleh beberapa simpulan, diantaranya:
a.    konversi agama ialah perubahan pandangan seseorang atau sekelompok tentang agama yang dianutnya, atau perpindahan keyakinan dari agama yang dianutnya kepada agama yang lain.
b.    Tahap Proses Konversi Agama meliputi: masa tenang, masa ketidaktenangan,  masa konversi,  masa tenang dan tentram, masa ekspressi konversi.
c.    Faktor penyebab konversi agama pertama, faktor Intern, meliputi kepribadian, emosi, kemauan, konflik jiwa, kebenaran agama, hidayah. kedua, faktor ekstern, meliputi, factor keluarga, lingkungan tempat tinggal, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, cinta, pernikahan. 


DAFTAR PUSTAKA
1.    Daradjat, Zakiah. 1987. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
2.    Jalaludin. 1987. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Penerbit Kalam Mulia.
3.    Sujanto, Agus. 1989. Psikologi Umum. Jakarta: Aksara Baru.
4.    setiyo purwanto http://klinis.wordpress.com/2007/12/27/konversi-agama.


[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1987), hlm. 137.
[2] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1987), hlm. 159.
[3] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1987), hlm. 161.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1987), hlm. 162.
[5] setiyo purwanto http://klinis.wordpress.com/2007/12/27/konversi-agama

MASA'ILUL FIQH (HOMOSEKS DAN LESBIAN)



1.    Pengertian Homoseks dan Lesbian
Istilah homoseksual berasal dari bahasa Inggris "homosexual", yang berarti sifat laki-laki yang senang berhubungan seks dengan sesamanya. Sedangkan lesbian, berarti sifat perempuan yang senang berhubungan seks dengan sesamanya pula.
Istilah homoseks, dijumpai dalam Agama Islam sebagai istilah اَللِِوَاطُ, yang pelakunya disebut اَللُوْطِيُ, yang dapat diartikan secara singkat oleh Bangsa Arab dengan perkataan: اَلرَجُلُ يَأْتِى الرَجُلَُ (laki-laki yang selalu mengumpuli sesamanya). Sedangkan lesbian, juga dijumpai dalam agama Islam sebagai istilah اَلسَحَاقُ , yang pelakunya disebut اَلسَاحِقُ, yang dapat diartikan secara singkat oleh Bangsa Arab dengan perkataan: اَلْمَرْأَةُ تَأْتِى الْمَرْأَةَ (perempuan yang selalu mengumpuli sesamanya).
Homoseks sering dimaknai dengan hubungan seks antara sesama laki-laki baik dengan cara memasukkan alat kelamin kedalam dubur atau anus sejenisnya. Dalam istilah medis dinamakan anal seks. Cara lain dapat juga dengan memasukkan alat kelamin diantara dua pangkal paha sejenisnya yang disebut mufakhadzoh.[1]
Maka dalam hal ini, dapat ditarik suatu pengertian, bahwa homoseksual adalah kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Sedangkan lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya pula.
2.    Hukum Homo seks dan Lesbian
Terhadap hubungan seks antara sesama laki-laki dengan cara liwath maupun mufakhadzoh, para ulama sepakat bahwa hukumnya haram bahkan dianggap sebagai perilaku yang sangat menjijikkan, keji dan melebihi hewan. Karena hewan saja tidak melakukan hal seperti itu.
Pada dasarnya para ulama yang berpendapat bahwa haram melakukan hubungan seks antara sesama laki-laki/perempuan atau yang tidak lazim dan tidak wajar, adalah bertolak dari firman Allah sebagai berikut:[2]
والذين هم لفروجهم حافظون الا على ازواجهم اوما ملكت ايمانهم فانهم غير ملومين (المؤمنون:6-5)
Artinya: "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela" (QS. Al-Mu'minun:5-6).
Hal ini juga berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Muslim dan At-tirmidzi.
لاَيَنْظُرُ الرَجُلُ إِلىَ عَوْرَةِ الرَجُلِِ وَلاَالْمَرْأَةُ إِلىَ عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَيَغُضُ الرَجُلُ إِلىَ الرَجُلِ فِى الثَوْبِ الْوَاحِدِ وَلاَ تَغُضُ الْمَرْأَةُ إِلىَ الْمَرْأَةِ فِى الثَوْبِ الْوَاحِدِ
Yang artinya: "Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai selimut/kain.
3.    Sanksi Homoseks dan Lesbian
Para ahli hukum fiqh sekalipun telah sepakat mengharamkan homo seks dan lesbian, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumannya. Terdapat beberapa pendapat Ulama Hukum Islam tentang homoseks. Ada 3 (tiga) pendapat, antara lain:
Pendapat pertama, yaitu Imam syafi'i memberikan sanksi dibunuh/mati, baik yang mengerjakan maupun yang dikerjai dengan alasan hadits riwayat Imam Lima (Imam Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan Nasa'i).
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِه
(رواه ابو داود والترمذي والنسائ   وابن ماجه)
Artinya: "Bila kalian menemukan seseorang mengerjakan pekerjaan Kaum Luth (Homo seks), maka bunuhlah yang mengerjai dan dikerjai". (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah).[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa para sahabat telah sepakat (berijma’) bahwa pelaku liwath harus dibunuh. Akan tetapi mereka berselisih bagaimana hukuman bunuhnya? Sebagian ulama mengatakan bahwa pelaku liwath mesti dibakar dengan api karena besarnya dosa yang mereka perbuat. Ulama lainnya mengatakan bahwa pelaku liwath mesti dirajam (dilempar) dengan batu. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku liwath adalah dibuang dari tempat tertinggi di negeri tersebut, kemudian dilempari dengan batu. Intinya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ingin menjelaskan bahwa pelaku liwath mesti dibunuh berdasarkan kesepakatan para sahabat. Seperti kita ketahui bersama bahwa ijma’ (kesepakatan) para sahabat adalah hujjah (argumen) yang kuat dan  bisa mendukung hadits di atas.
Pendapat kedua, yaitu Al-auza'i Abu yusuf dan lain-lain, berpendapat bahwa sanksi pelaku tercela itu sama dengan hukum zina, yakni hukuman dera dan pengasingan untuk yang belum pernah menikah dan dirajam (stoning to death) untuk pelaku yang sudah pernah menikah, berdasarkan hadits:
اذا اتى الرجل الرجل فهما زانيان
Artinya: "Apabila ada laki-laki menyetubuhi sesama laki-laki maka keduanya adalah berzina".
Pendapat ketiga, yaitu Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu tidak sama dengan zina. Karena itu, maka sanksinya cukup dengan ta'zir (hukuman yang dapat menjadikan orang jera), sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringannya hukuman ta'zir diserahkan kepada pengadilan (hakim).[4]
Menurut As-Syaukani, pendapat pertama adalah yang kuat, karena berdasarkan nas shohih yang jelas maknanya, sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena memakai dalil qiyas, tetapi qiyas yang      mereka lakukan adalah qiyas ma’a al-fariq (mengqiyaskan sesuatu yang berbeda) karena liwath (homoseksual) jauh lebih menjijikkan dari pada perzinaan, padahal ada nasnya, dan sebab hadits yang dipakainya lemah. Demikian pula pendapat ketiga, juga dipandang lemah, karena bertentangan dengan nas yang telah menetapkan hukuman mati (hukuman had), bukan ta'zir.[5]
Sedangkan untuk perbuatan lesbian (female homosexual), menurut Sayid Sabiq, lesbian ini dihukum ta'zir, suatu hukuman yang macam dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi hukumannya lebih ringan daripada homoseksual karena bahaya / resikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homoseksual. Karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa memasukkan alat kelaminnya, seperti halnya seorang pria bersentuhan langsung (pacaran) dengan wanita yang belum menjadi istrinya tanpa memasukkan penisnya ke dalam vagina.[6]
4.    Dampak negatif dari Homoseks dan Lsbian
Menurut Dr. Muhammad Rashfi di dalam kitabnya Al-Islam wa al-thib sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq, bahwa Islam melarang keras homoseks, karena mempunyai dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat, antara lain adalah sebagai berikut:
a)    Tidak tertarik pada lawan jenisnya. Akibatnya kalau si homo/ si lesbi itu menikah, maka istri/ suamiya menjadi korban (merana), karena suaminya/ istrinya tidak mampu menjalankan tugasnya, dan si istri/ si suami hidup tanpa ketenangan dan kasih sayang, serta ia tidak mendapatkan keturunan, sekalipun ia subur.
b)   Kelainan jiwanya yang akibatnya mencintai sesama kelamin, tidak stabil jiwanya, dan timbul tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan homo. Misalnya ia bergaya sesama seperti wanita dalam berpakaian, berhias dan bertingkah laku.
c)    Gangguan saraf otak, yang akibatnya bisa melemahkan daya pikiran dan semangat/kemauannya.
d)   Penyakit AIDS, yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya ketahanan tubuhnya. Penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya dan telah membawa korban banyak sekali di Barat, khususnya di Amerika Serikat. 

          II. PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
1.        Homoseksual adalah kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Sedangkan lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya pula.
2.        Para ulama sepakat bahwa homoseks dan lesbian hukumnya haram.
3.        Dalam menentukan sanksinya, terdapat beberapa pendapat Ulama Hukum Islam tentang homoseks dan lesbian antara lain: dibunuh, dirajam dengan batu, di ta'zir dengan dibuang dari tempat tertinggi di negeri tersebut, kemudian dilempari dengan batu, dsb.
4.        Homoseks dan lesbian mempunyai dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat. 


DAFTAR PUSTAKA
1.    Mahfudh, Sahal. 2003. Solusi Problematika Umat. Surabaya: Ampel Suci.
2.    Mahjuddin. 2008. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia.
3.    Sabiq, Sayid. 1981. Fiqh Al-Sunnah. Libanon: Darul Fikr.
4.    Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
5.    Feray, Jean-Claude. 1990. trans. Glen W. Pepple. "Homosexual Studies and Politics in the 19th Century: Karl Maria Kertbeny". Journal of Homosexuality.


[1] Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, (Surabaya: Ampel Suci, 2003), hlm. 302.
[2] Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, (Surabaya: Ampel Suci, 2003), hlm. 303.
[3] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 44.
[4] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 44- 45.
[5] Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Libanon: Darul Fikr, 1981), hlm. 365-367.
[6] Ibid., hlm. 369.