PACARAN DALAM PANDANGAN ISLAM


Prolog (Pembukaan)

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,” (Q.S: Ali Imran; 14) 

Demikian pernyatan Al Quran atas sebuah fitrah yang mendasar (fundamental) pada diri manusia, yakni kecintaan pada wanita. Demikian halnya sebaliknya, wanita pun punya kecendrungan pada lawan jenisnya. Yang jelas fitrah tesebut merupakan realitas yang tak terbantahkan oleh siapapun.

Bila kita amati kondisi sosial di sekitar kita, terlihat sebuah fakta akan mudahnya akses pertemuan dua jenis berbeda anak manusia, laki-laki dan wanita. Masing-masing dapat memandang antara satu dengan yang lainnya. Moment ini akan dapat berlanjut pada babak berikutnya. Bagi yang teguh prinsipnya, konsisten terhadap norma-norma agama, akan membatasi diri sebagai langkah preventif dari hal-hal negatif yang berkelanjutan teringat pesan agama. 

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ [النور : 30 ، 31] 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,…”(Q.S: An Nur; 30-31) 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِعَلِىٍّ « يَا عَلِىُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ ». (رواه ابى داود والترمذى وأحمد)

Rosulullah berkata pada Ali: “Hai Ali !! janganlah kau perturutkan satu pandangan kepada pandangan lain, karena sesungguhnya buatmu adalah yang pertama (tiba-tiba), dan bukan yang berikutnya” (H.R: Abi Dawud, At Turmudzi, dan Ahmad)

Sedangkan bagi individu yang terbuai dengan kesenangan nafsunya, maka dari perjumpaan tersebut akan berlanjut pada tahapan-tahapan berikutnya. Antara lain; senyuman, sapaan, salam dan bahkan sampai pada terciptanya jalinan atau hubungan khusus diluar pernikahan (pacaran), sebagaimana dituturkan oleh Dr. Yusuf Qordhowi dalam bukunya “al Halal wa al Haram”:

نَظْرَةٌ فَابْتِسَامَةٌ فَسَلامٌ # فَكَلامٌ فَمَوْعِدٌ فَلِقَاءٌ

“Permulaannya pandangan, kemudian senyuman, lantas sapaan, berlanjut untaian kata, janjian, dan akhirnya berbuah perjumpaan”



Fitrah Cinta Kasih

Hubungan yang terjalin diantara dua anak manusia dari jenis kelamin yang berbeda dalam ikatan pacaran adalah satu fenomena yang melanda bagi remaja, bahkan orang tua sekalipun (selingkuh), dan saat ini anak-anak kecilpun tidak ketinggalan. Berpacaran benar-benar telah menggejala pada tunas-tunas bangsa tersebut (the next generation). Bila kita renungkan, fenomena ini kurang lebihnya disebabkan oleh pengaruh lingkungan, adanya tayangan atau berita media baik cetak maupun elektronik, terutama televisi dengan tayangan-tayangan sinetron remaja yang kental, syarat dengan aksi-aksi provokatifnya. Realitas semacam itu tidak bisa kita pungkiri ataupun menutup mata darinya. Bila kita beranjak sebentar saja ke tempat-tempat umum semisal; taman, tempat wisata/rekreasi dll. tempat kerja, gedung bioskop, bahkan lembaga pendidikan sekalipun (mohon maaf), akan kita dapati fakta tersebut.

Perlu diketahui dan dimengerti, bawa sebuah fitrah yang terdapat pada diri manusia sebagaimana lahirnya cinta kasih antar lawan jenis sebagai perwujudan (implementasi) dari firman Allah diatas (Q.S: Ali Imran; 14), secara substansial tidaklah dihalangi oleh Islam, karena itu merupakan fitrah manusia bahkan fitrah semua makhluq hidup.

Cinta kasih sendiri bagi manusia merupakan dorongan naluri sejak kecil dan menjadi kebutuhan setelah dewasa, bersikap anti pati ataupun membendung perasan tersebut adalah sebuah langkah yang akan sangat menyulitkan. Akan tetapi melepasnya tanpa kendali juga dapat mengakibatkan timbulnya bahaya yang tidak kecil. Karena itu agama memberi tuntunan jika ada yang bercinta kasih dengan lawan jenisnya, maka hendaklah dimaksudkan untuk bertujuan menjalin ikatan yang resmi (halal) yakni pernikahan, hidup berumah tangga.

Dan tentunya jika masing-masing memang benar-benar memiliki cinta yang tulus, konsisten dengan norma-norma agama, moral dan susila, maka tidak akan terjadi tidakan tindakan negatif yang bertentangan dengan norma-norma tersebut, sebagaimana hamil di luar nikah, bermesraan ditempat sepi atau ramai, sentuhan, ciuman dll. Nabi Muhammad Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

قالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ». (رواه مسلم)

“Wahai para pemuda kawinlah kamu jikalau telah mampu, karena nikah adalah paling mujarab dalam menjaga pandangan (di hadapan kaum wanita) dan dalam menjaga kesucian. Dan yang tidak bisa melaksanakannya (tidakmampu kawin) hendaklah berpuasa karena puasa itu mengekang nafsu ” (H.R: Muslim)

Pengertian Pacaran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pacar didefinisikan dengan: teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Bila demikian maka perlu diketahui bahwa islam tidak menghalangi lahirnya cinta kasih antar lawan jenis karena itu adalah fitrah manusia bahkan fitrah semua makhluq hidup, demikian komentar Dr. Quraish Sihab atas definisi tersebut.

Kencendrungan cinta kasih yang terdapat pada selain manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Adnan Zurzur dkk. dalam buku “Nidzam al Usrah fi al Islam” hanya sebatas menjaga kelangsungan (eksistensi) jenis populasinya (kelompoknya). Sedangkan kecendrungan cinta kasih pada diri manusia, tersimpan hikmah yang agung tidak hanya sebatas menjaga kelangsungan populasi manusia. Masing-masing laki-laki dan wanita senantiasa memiliki kecendrungan pada lawan jenisnya, dikarenakan pada diri mereka tersusun unsur-unsur yang dapat menyebabkan timbulnya daya tarik dan simpatik, kecintaan pada lawan jenis.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala, menjadikan kecendrungan cinta kasih pada manusia untuk sebuah tujuan yang sangat mulia, yaitu agar mereka menjadi komunitas yang maju (progresif, madani) serta berperadaban. Ikatan yang terjalin antara pasangan suami istri tidak cuma sebatas pelampiasan syahwat biologis (seksual), bahkan terdapat ikatan batin serta rohani (spiritual) yang sungguh luar biasa. Subhanallah, Allah berfirman: 

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21) [الروم : 21]

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S: Ar Ruum; 21)

Namun benar-benar memprihatinkan sekali, fenomena berpacaran yang melanda para remaja, anak-anak dan orang dewasa lebih mengarah pada memperturutkan nafsu belaka. Mula-mula diawali dengan yang ringan-ringan semisal; sendau gurau, kirim surat, pesan singkat (SMS). Dan lama-kelamaan akan melangkah lebih intensif lagi seperti berkencan, bermesraan di tempat sepi bahkan di keramaian sekalipun. Dan yang paling menyedihkan lagi adalah puncak dari kesemuanya itu yakni perzinahan, Naudzubillah.

Tidakkah bola salju yang terus menggelinding akan semakin cepat berputarnya dan semakin besar pula bongkahannya? Kobaran api yang membara, yang melalap rumah-rumah warga desa tadinya merupakan sepercik api kecil yang ditiup oleh angin. Demikian halnya sepasang insan yang dibuai oleh keasyikan berpacaran, semakin sering bermesraan semakin besar pula bahaya yang diakibatkan. Sebagaimana diungkapkan oleh bait-bait syair berikut: 

وَكَاذِبُ الْفَجْرِ يَبْدُو قَبْلَ صَادِقِهِ# وَأَوَّل غَيْثٍ قَطْرَةٌ ثُمَّ يَنْسَكِبُ

وَكَـذَاكَ عِشْقُ الْعَاشِقَيْنِ الهَوَى# بِالْمَزْحِ يَبْدُووَبِالْإِذْمَانِ يَلْتَهِبُ

“Fajar kadzib muncul sebelum fajar shodiq, hujan deras awalnya adalah rintik-rintik

Demikian halnya kerinduan orang yang dimabuk asmara, awalnya adalah gurauan yang berlanjut pada kobaran api cinta. ”

Syech Ali at Thontowi seorang penulis produktif sekaligus da'i yang masyhur, pernah menulis pesan pada putrinya, yang selanjutnya beliau publikasikan dalam buku “Ya Binty wa Ya Walady / kepada putra-putriku ”:

“Tidak akan ada seorang pria melontarkan senyumanya kepadamu, berbicara dengan lembut dan merayu, memberikan bantuan dan pelayanan kepadamu, kecuali akan ada maksud-maksud tertentu. Setidak-tidaknya isyarat bagi dirinya bahwa itu adalah langkah awal. Apa sesudah itu wahai putriku? Renungkanlah ! kalian berdua, bersama-sama berkencan, menikmati kelezatan yang hanya sebentar kau rasakan ……… sesudah itu, dia lupa dan pergi meninggalkan kamu. Dan engkau? …… sungguh akan merasakan pahitnya dari pertemuan yang sebentar itu untuk selama-lamanya”. Selanjutnya beliau menuliskan: “Coba anda renungkan, apakah pantas disamakan lezatnya berhubungan yang sebentar rasanya itu dengan penderitaan-penderitaan anda? Apakah pantas, harga kegadisan anda dibayar begitu murah dan penderitaan anda setelah itu ditebus dengan harga begitu mahal”?....



Pacaran Dalam Pandangan Pakar

Sebagian orang yang berpacaran berargumentasi bahwa jalinan yang mereka ciptakan adalah bentuk penjajakan guna mencari partner yang ideal dan serasi bagi masing-masing pihak. Tapi dalam kenyataannya, masa penjajakan itu tidak lebih dimanfaatkan sebagai pengumbaran nafsu syahwat semata, dan bukan bertujuan untuk secepatnya melaksanakan pernikahan.

Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al Jauziyyah (691-751 H = 1292-1350 M), seorang cendekiawan muslim sejati disamping pula seorang pakar dengan multi disiplin ilmu, memaparkan pendapatnya bahwa: “Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya”. Demikian pandangan Ibnu Qayyim tentang pacaran seperti dikutip oleh Abdurrahman al Mukaffi dalam bukunya “Pacaran Dalam Kaca Mata Islam”.

Apapun bentuk dari hubungan intim diluar ikatan pernikahan, dinilai agama sebagai jalinan yang yang terlarang (haram). Meski sudah dilamar/pinang (khitbah) sekalipun, hubungan resmi belum terwujud. Karena lamaran cuma sebatas muqaddimah yang lebih bersifat pendahuluan dan pengenalan. Jadi, larangan-larangan (keharaman) yang berlaku sebelum lamaran masih tetap berlaku setelahnya, hingga benar-benar sudah ada ijab qobul (aqad nikah). Dalam prosesi lamaran yang diperbolehkan hanya melihat wajah dan kedua telapak tangan. Ketentuan ini sebagaimana termaktub dalam formulasi kitab-kitab Fiqih (yurispruden islam).



Pesan-Pesan Agama

Berpacaran sebagaimana disinggung oleh Abdurrahman al Mukaffi terdiri dari tiga tahapan:

  • Perjumpaan pertama
  • Pengungkapan diri
  • Dan pembuktian

Dan selama proses tersebut berjalan, tentunya tidak sedikit hal-hal yang tidak sejalan (kontradiktif) dalam arti diharamkan oleh agama, sehingga memperkuat dari keharaman berpacaran. Dapat disebutkan di sini diantaranya adalah: memperturutkan hawa nafsu (syahwat), pandangan yang diharamkan agama, sentuhan, bermesraan di tempat sepi, perzinahan dll.

Ada baiknya kami sebutkan dalam tulisan ini beberapa pesan agama (dalil-dalil), berupa ayat-ayat Al Qur'an serta hadis Nabi yang kiranya dapat dijadikan bahan kajian serta renungan, sehingga selanjutnya diamalkan (implementasi) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menuntun kita kejalan yang lurus dan diridhai AllahSubhanahu Wa Ta'ala , serta menjadikan diri kita termasuk dari golongan hamba-hamba-Nya yang benar-benar bertaqwa.
Kecaman Allah Subhanahu Wa Ta'ala terhadap orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا (43 أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (44) [الفرقان : 43 ،44] 

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”(Q.S. Al Furqan; 43-44)
Larangan berzina serta perbuatan-perbuatan yang dapat menghantarkan pada perzinahan:

ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا 

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. ” (Q.S. Bani Israil; 32)
Perintah menjaga pandangan dari hal-hal yang di haramkan: 

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ [النور : 30 ، 31] 

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,…… ”(Q.S. An Nuur; 30-31)
Macam-macam perzinahan yang dilarang agama:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ (رواه مسلم عن أبى هريرة)

“Telah tertulis atas anak Adam bagiannya dari hal zina. Ia akan menemuinya dalam hidupnya, dan tiada terhindarkan. Zina mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah keinginan dan berangan-angan, dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau di dustakannya.”(H.R. Muslim dari Abi Hurairah)
Larangan berdua di tempat yang sepi:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ، فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَان

“Rosulillah Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda:.dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi muhrimnya, sebab bila demikian setanlah yang menjadi pihak ketiganya. ” (H.R. Ahmad)



Epilog (Penutup)

Betapapun mengekspresikan perasan cinta kasih dengan berpacaran seperti muda-mudi saat ini sangatlah kontras dengan norma-norma agama. Dan hal ini bukan berarti bahwa agama tidak merespon sama sekali terhadap kebutuhan cinta kasih yang menjadi fitrah manusia tersebut, akan tetapi agama cukup bijak (hikmah) dalam mengambil sikap, dan pernikahan adalah satu-satunya alternatif untuk mengakomodir fitrah cinta kasih ini. Mengumbar nafsu syahwat dengan berpacaran adalah merupakan pilihan yang tidak tepat bagi insan yang beragama dan berakal sempurna. Dikarenakan dengan mengumbar nafsu tersebut berarti mengingkari nikmat aqal. Jadi, tepatlah bila orang yang memperturutkan hawa nafsunya lebih hina dari pada binatang (al Furqan,44). Topik tulisan ini memang cukup sensitif sekali, dan tiada dimaksudkan untuk menyudutkan siapapun. Tetapi berangkat (inspirasi) dari perintah untuk mengatakan kebenaran, saling nasehat menasehati dan mengingatkan sesama muslim, maka kami goreskan tinta pena ini. Tidakkah agama Islam adalah agama nasehat?? dan semua manusia dalam kerugian selain yang beriman, berbuat baik (amal sholih) dan saling berwasiat atas kebenaran dan kesabaran (al 'Ashr, 03) ??? Dewasa ini banyak sekali kemaksiyatan disekitar kita yang kita biarkan begitu saja. Bahkan boleh jadi, kita tidak mengerti kalau hal itu merupakan maksiyat. Hal ini kurang lebih disebabkan lemahnya kecemburuan (ghirah) kita atas norma ataupun ajaran agama yang kita miliki, disamping kurang intens dalam mempelajari, dan mengamalkannya (implementasi) dalam kehidupan sehari-hari. Semoga tulisan ini bermanfa'at sebagai bahan intropeksi (muhasabah) bersama, dan motifator untuk lebih mendalami ajaran agama, amien. [Wallahu A'lam]

Sumber : Buku karya santri PPMUS

HUKUM ZIARAH BAGI WANITA


TASHOWWUR AL MAS’ALAH

Ziarah makam adalah salah satu ritualitas umat islam, khususnya Ahlussunnah wal jama’ah. Baik makam nenek moyangnya ataupun para wali. Namun dalam berziarah terkadang kita melanggar etika berziarah yang telah di gariskan syara’, seperti tempat ziarah yang oleh pengurus makam tidak dipisahkan antara peziarah laki-laki dan perempuan.

Pertanyaan :
Bagaimanakah hukum berziarah bagi orang perempuan di zaman sekarang ini ?
Kalau tidak boleh, dosakah sang suami yang mengizinkan ?
Siapakah yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran etika diatas ?

(PP. ROUDLOTUL ULUM Besuk Pasuruan)

Jawaban a :

Boleh dengan syarat :

- Bersama suami / mahrom.

- Aman dari fitnah. (Fitnah di sini yang di maksud adalah MUQODDIMATUZZINA (Pendahuluan zina) semisal memandang, memegang, Kholwat dan sebagainya).

- Yang dizirohi adalah Anbiya’, Aulia’ / Ulama’.

Referensi :
Bajuri, Juz. I Hal. 255.
is’adurrofiq Juz. II Hal. 136.
Fatawi Al Kubro, Juz. II Hal. 24.
Al Syarqowi Juz. I Hal. 519.
Fatawi Kubro , Juz. II Hal. 252.

Ibarat :

وفي باجوري جزء 1 ص 255 ما نصه :

وتندب زيارة القبور للرجال لتذكر الآخرة وتكره من النساء لجزعهن وقلة صبرهن. ومحل الكراهة فقط إن لم يشتمل اجتماعهن على محرم وإلا حرم ويستثنى من ذلك قبر نبينا صلى الله عليه وسلم فتندب لهن زيارته وينبغي كما قال ابن الرفعة أن قبور سائر الأنبياء والأولياء كذلك إهـ. 

وفى اسعاد الرفيق ج 2 ص 136 مانصه :

ومنها خروج النساء من بيتها متعطرة أو متزينة ولو كانت مستورة وكان خروجها بإذن زوجها إذا كانت تمر في طريقها على رجال أجانب منها – الى أن قال - قال فى الزواجر وهو من الكبائر لصريح هذا الحديث وينبغى حمله ليوافق قواعدنا على ما اذا تحققت الفتنة أما مجرد خشيتها فإنما هو مكروه ومع ظنها حرام غير كبيرة كما هو ظإهـر إهــ.

وفى فتاوى الكبرى ج 2 ص 24 مانصه :

(وسئل) رضي الله عنه عن زيارة قبور الأولياء فى زمن معين مع الرحلة اليها هل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كثيرة كاختلاط النساء بالرجال واسراج السرج الكثيرة وغير ذلك . (فأجاب) بقوله زيارة قبور الأولياء قربة مستحبة - إلى أن قال- وما أشار اليه السائل من تلك البدع أو المحرمات فالقربات لا تترك لمثل ذلك بل على الإنسان فعلها وانكار البدع بل وإزالتها ان أمكنه وقد ذكر الفقهاء فى الطواف المندوب فضلا عن الواجب انه يفعل ولو مع وجود النساء وكذا الرمل لكن أمروه بالبعد عنهن فكذا الزيارة يفعلها لكن يبعد عنهن وينهى عما يراه محرما بل ويزيله ان قدر كما مر هذا ان لم تتيسر له الزيارة الا مع وجود تلك المفاسد فإن تيسرت مع عدم المفاسد فتارة يقدر على ازالتها كلها أو بعضها فيتأكد له الزيارة مع وجود تلك المفاسد ليزيل منها ما قدر عليه وتارة لا يقدر على ازالة شيء منها فالأولى له الزيارة فى غير زمن تلك المفاسد بل لو قيل يمنع منها حينئذ لم يبعد. ومن أطلق المنع من الزيارة خوف تلك الإختلاط يلزمه اطلاق منع نحو الطواف والرمل بل والوقوف بعرفة او مزدلفة والرمي إذا خشي الإختلاط أو نحوه فلما لم يمنع الأئمة شيئا من ذلك مع أن فيه إختلاطا أي اختلاط وإنما منعوا نفس الإختلاط لا غير فكذلك هنا ولا تغتر بخلاف من أنكر الزيارة خشية الإختلاط فإنه يتعين حمل كلامه على ما فصلناه وقررناه وإلا لم يكن له وجه إهـ

وفى إعانة الطالبين ج 3 ص 263 مانصه :

قال ابن الصلاح : وليس المعنى بخوف الفتنة غلبة الظن بوقوعها بل يكفى أن لايكون ذلك نادرا إهــ.

5- وفي الشرقاوي على التحرير جزء 1 ص 519 ما نصه :

(قوله وامرأتين) هو قيد الوجوب ويكفي في الجواز لفرضها امرأة واحدة وسفرها وحدها إن أمنت أما سفرها وإن قصر لغير فرض الحج من حج نفل أو عمرة فحرام مع النسوة مطلقا ولو أذن الزوج فلا يجوز أن تخرج خارج السور ولو مع النسوة الثقات أو إذن الزوج بل لا بد من خروجه هو أو المحرم أو عبد بشرطه معها فما يقع الآن من خروج النساء الى المقابر الى خارج السور معصية يجب منعهن منه

6- وفي فتاوي كبرى جزء 2 ص 252 ما نصه :

والمراد بالفتنة – الزنا ومقدماته من النظر والخلوة واللمس وغير ذلك إهـ.



Referensi :
Isa’adurrofiq Juz. II Hal. 127.

Ibarat :

وفي اسعاد الرفيق جز 2 ص 127 ما نصه :

ومنها الإعانة على المعصية من معاصي الله بقول أو فعل أو غيره ثم إن كانت المعصية كبيرة كانت الإعانة عليها كذلك كما في الزواجر إهـ. 

Jawaban b :

Berdosa karena ziarah si istri hukumnya HARAM yang berarti memberi izinnya HARAM.

Referensi :
Is’adurrofiq, Juz II Hal . 93.
Is’adurrofiq, Juz II Hal . 127.
Tafsir Ibnu Katsir, Juz IV Hal. 392.
Tanwir Al Qulub, Hal. 216.

Ibarat :

وفي اسعاد الرفيق جزء 2 ص 93 ما نصه :

ومنها كل قول يحث أحدا من الخلق على نحو فعل أو قول شيء أو استماع الى شيء محرم في الشرع ولو غير مجمع على حرمته إهـ.

وفي اسعاد الرفيق جزء 2 ص 127 ما نصه :

ومنها الإعانة على معصية من معاصي الله بقول او فعل أو غيره ثم إن كانت المعصية كبيرة كانت الإعانة عليها كذلك كما في الزواجر.

وفي تفسير ابن كثير جزء 4 ص 392 ما نصه :

قال سفيان الثوري عن منصور عن رجل عن علي رضي الله عنه في قوله تعالى "قوا أنفسكم وأهليكم نارا" يقول أدبوهم وعلموهم وقال علي ابن أبي طلحة عن ابن عباس "قوا أنفسكم وأهليكم نارا" اعملوا بطاعة الله واتقوا معاصي الله وآمروا أهلكم بالذكر ينجيكم الله من النار. وقال مجاهد "قوا أنفسكم وأهليكم نارا" اتقوا الله وأوصوا أهليكم بتقوى الله. وقال قتادة تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فاذا رايت لله معصية قذعتهم عنها وجزرتهم عنها وهكذا قال الضحاك ومقاتل حق المسلم ان يعلم اهله من قرابته وإمائه وعبيده ما فرض الله عليهم وما نهاهم الله عنه وفى معنى هذه الآية الحديث الذى رواه احمد 3210 وابو داود 494 والترمذى 407

4- وفي تنوير القلوب ص 216 ما نصه :

تسن زيارة قبور المسلمين للرجال - الى أن قال – وتكره من النساء لجزعهن وقلة صبرهن ومحل الكراهة إن لم يشتمل اجتاعهن على محرم وإلا حرم إهـ.

Jawaban c :

Yang palingbertanggung jawab adalah pelakunya (المباشر)

Referensi :
Is’adurrofiq, Juz I Hal. 68.
Fatawi Kubro, Juz II Hal. 24.

Ibarat :

وفي اسعاد الرفيق جزء 1 ص 68 ما نصه :

(و) علم مما تقرر أنه (يجب) على كل مكلف ( ترك جميع المحرمات) صغائرها وكبائرها لاسيما المتعلقة بالباطن كالعجب والكبر وغيرهما مما يأتي بيانه ان شاء الله تعالى (و) أنه كما يجب عليه تركها في حق نفسه يجب عليه (نهي مرتكبها) أي مرتكب شيء منها ولو صغيرة كما تقرر باللسان إن لم يقدر عليه باليد (أو منعه قهرا) عليه من ارتكاب شيء منها باليد (إن قدر عليه) أي على منعه وقهره من ذلك بها (وإلا) يقدر على شيء من ذلك (وجب عليه) الرتبة الثالثة وهي رفعه الى الولي فإن عجز وجب عليه (أن ينكر ذلك بقلبه) أي يكرهه به كما مر وهذا يقدر عليه كل أحد (و) يجب عليه أيضا مع الإنكار بالقلب (مفارقة موضع المعصية) فلا يجالس فاعلها ولا يواكله إهـ.

وفي فتاوي الكبرى جز 2 ص 24 ما نصه :

(وسئل) رضي الله عنه عن زيارة قبور الأولياء في زمان معين مع الرحلة اليها هل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كثيرة كاختلاط النساء بالرجال واسراج السرج الكثيرة وغير ذلك (فأجاب) بقوله : زيارة قبور الأولياء قربة مستحبة – الى أن قال – وما أشار اليه السائل من تلك البدع أو المحرمات فالقربات لا تترك لمثل ذلك بل على الإنسان فعلها وإنكار البدع بل وإزالتها إن أمكنه وقد ذكر الفقهاء في الطواف المندوب فضلا عن الواجب أنه يفعل ولو مع وجود النساء وكذا الرملي لكن أمروه بالبعد عنهن فكذا الزيارة يفعلها لكن يبعد عنهن وينهى عما يراه محرما بل ويزيله إن قدر كما مر هذا إن لم تتيسر له الزيارة إلا مع وجود تلك المفاسد فإن تيسرت مع عدم المفاسد فتارة يقدر على إزالتها كلها أو بعضها فيتأكد له الزيارة مع وجود تلك المفاسد ليزيل منها ما قدر عليه وتارة لا يقدر على ازالة شيء منها فالأولى له الزيارة في غير زمان تلك المفاسد بل لو قيل يمنع منها حينئذ لم يبعد. ومن أطلق المنع من الزيارة خوف تلك الإختلاط يلزمه اطلاق منع نحو الطواف والرمل بل والوقوف بعرفة او مزدلفة والرمي اذا خشي الإختلاط او نحوه فلما لم يمنع الأئمة شيئا من ذلك مع أن فيه اختلاطا أي اختلاط . وانما منعوا نفس الإختلاط لا غير فكذلك هنا ولا تغتر بخلاف من أنكر الزيارة خشية الإختلاط فإنه يتعين حمل كلامه على ما فصلنإهـ وقررنإهـ والا لم يكن له وجه. إهــ