PROLOG (pembukaan)
Kajian dari tulisan berikut ini adalah dimaksudkan untuk memahami sebagian kecil dari keterangan yang dipaparkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab beliau Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Dan penulis menilai perlu serta tergugah untuk membahas dan mengkajinya. Sebab keterangan yang beliau sampaikan, erat sekali dan bersinggungan langsung dengan kondisi kaum muslimin baik laki-laki maupun wanita di saat mereka mengalami hadats besar. Sering kali timbul pertanyaan dari mereka, dan kebanyakan yang bertanya adalah kaum wanita, tentang hukum memotong kuku dan rambut pada saat mereka tengah mengalami hadats besar, haram atau makruhkah hukum pemotongan tersebut?
Berangkat dari persoalan di atas, adalah merupakan tugas mulia untuk menerangkan dengan sejelas-jelasnya mengenai hukum syara’ atas persoalan tersebut. Seraya memohon pertolongan dari Allah ‘Azza Wa Jalla, agar supaya diberi kemudahan dan petunjuk pada kebenaran dalam melaksanakan amanah yang agung ini. Berbekal sedikit pengetahuan yang kami miliki, tinta pena pun kami goreskan untuk mengurainya. Dengan sebuah harapan, semoga tulisan ini mengandung berkah dan manfaat, amien.
Adapun teks asli dari kitab Ihya’nya Imam al-Ghazali yang penulis maksudkan adalah:
وَلا يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أو يَقْلِمَ أو يَسْتَحِدَّ أو يُخْرِجَ الدَّمَّ أو يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (إحياء علوم الدين – ج 2 / ص 51 )
“Dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.”[1]
Bila kita amati teks keterangan di atas, maka dapat kita pahami bahwa orang yang sedang junub atau hadats besar dilarang untuk mencukur rambut, memotong kuku dll. Indikasi dari larangan tersebut cukup jelas, yakni ancaman pertanggung jawaban di akhirat kelak bagi orang yang melakukan tindakan itu. Namun, yang cukup menggajal dalam angan-angan dan menimbulkan tanda tanya adalah tingkatan hukum dari larangan itu sendiri? Apakah larangan tersebut berkualifikasi hukum haram ataukah hanya sebatas makruh saja? Bila larangan tersebut hanya sebatas hukum makruh, tentu tidak banyak menyisakan persoalan yang teramat mendasar bila terjadi pelanggaran. Namun, apa jadinya bila larangan itu memiliki status hukum haram? Tentu kedurhakaan atau kemaksiyatan dan berdosa adalah gelar yang pantas disandang bagi sang pelaku. Dan balasan setimpal bagi orang yang melanggar larangan tersebut, sudah menuggu-nunggu bila tidak mendapat ampunan dari Allah ‘Azza Wa Jalla. Berangkat dari sinilah, hati kecil kami tergugah untuk berupaya mengurai dan memperjelas persoalan tersebut, dan tinta pena pun kami torehkan karenanya.
Bukanlah isapan jempol belaka bila kami menyimpulkan, bahwa muara dari permasalahan yang menjadi objek kajian ini adalah berlatarbelakang dari pernyataan redaksi kitab Ihya’ yang di sampaikan oleh Imam al-Ghazali. Dan untuk memperkuat kesimpulan tersebut, kami bertendensikan dari sebuah argumentasi yang disampaikan oleh As-Syech Muhammad bin Sulaimān al-Kurdiy (w. 1194 H) dalam kitabnya al-Hawasyi al-Madaniyah, beliau mengatakan:
“Kesemua para ulama mengutip keterangan tersebut dari Imam al-Ghazali, dan mereka sependapat serta menyepakatinya kecuali Imam al-Qolyubi.[2] Dalam kitab Hāsiyah al-Mahalli beliau mengatakan: “tentang dikembalikannya darah yang telah dikeluarkan (semisal dengan cara berbekam)—oleh orang junub kelak di akhirat—perlu dikaji lagi, demikian pula selain darah. Karena yang dikembalikan kelak adalah bagian-bagian organ tubuh yang ada sewaktu meninggal, terkecuali sebagian kecil organ saja.”[3]
Senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh As-Syech Muhammad bin Sulaimān al-Kurdiy di atas, adalah penuturan yang disampaikan oleh Sayyid ‘Alawiy bin Sayyid Ahmad as-Saqqāf dalam kitabnya yang berjudul Tarsyeh al-Mustafīdīn. Bedanya, Sayyid ‘Alawiy hanya menegaskan bahwa pernyataan Imam al-Ghazali di atas banyak dikutip dan diikuti oleh para ulama―terkecuali Imam al-Qolyubi yang menyanggah pernyataan tersebut―dengan tanpa menyebutkan nama Imam al-Ghazali dan kitabnya.[4]
METODE PENELITIAN
Dalam setiap penelitian ilmiah, perlu adanya metode tertentu untuk menjelaskan obyek yang menjadi kajian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan dapat berjalan secara tepat dan terarah serta mencapai sasaran yang diharapkan. Dan penelitian yang penulis pilih adalah penelitian dengan kategori kajian kepustakaan (library research), dalam arti bahwa semua bahannya diperoleh melalui data-data yang terdapat di dalam kitab-kitab yang tersedia di perpustakan. Dari kitab-kitab yang tersedia tersebutlah, kami melakukan identifikasi terhadap kutipan-kutipan dari pernyataan Imam al-Ghazali yang terdapat di berbagai kitab karangan ulama madzhab Syafi’i.
Oleh karena penelitian ini bersifat komparatif (muqāranah), maka sebagai obyek penelitian lanjutan dari identifikasi pernyataan Imam al-Ghazali yang diulang-ulang tersebut, adalah penelitian yang obyeknya berupa pendapat ulama-ulama madzhab Syafi’i. Kami sertakan pula perspektif madzhab lain, agar supaya cakupan kajian ini lebih luas dan menyeluruh. Dan tidak ketinggalan, kami sertakan pula beberapa persoalan yang masih terkait dengan topik kajian, sebagaimana pembahasan tentang makna hadats, hikmah diwajibkannya mandi besar, analisa tentang makna dari kosakata “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi), dan bahasan-bahan lain yang tak kalah pentingnya.
Selain menggunakan penalaran hasil bacaan pustaka, dan sebagai langkah untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam menganalisa data-data yang telah kami kumpulkan, maka kami pergunakan motode induktif dalam artian dengan mengolah data-data khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum. Melalui metode induktif ini, analisis yang pertamakali dilakukan adalah dengan menganalisa data-data khusus mengenai pengulangan pernyataan Imam al-Ghazali yang terdapat di berbagai kitab karangan ulama madzhab Syafi’i, kemudian digeneralisasikan sehingga menjadi kesimpulan umum.
Selanjutnya, dalam mengungkapkan data-data di atas, serta gagasan-gagasan kami tentang kajian ini, bahasa yang kami pilih adalah bahasa Indonesia.[5] Karena dengan bahasa inilah, kami mampu dengan mudah memaparkan persoalan-persoalan yang menjadi topik kajian. Jujur, penulis mengakui akan ketidak mampuan merangkai karangan dengan bahasa Arab―padahal telah mempelajari tata bahasanya atau grammarnya yakni ilmu Nahwu―yang merupakan bahasa asli dari refrensi-refrensi tulisan ini. Maka dari itu, apa yang penulis lakukan hanyalah menukil dan menukil, lalu menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Kreatifitas dari kami―kalau memang pantas menyandang predikat kreatif―hanyalah merangkai, memahami, merangkum, serta membikin kesimpulan. Jadi, bila terdapat kekeliruan penulisan ataupun kesalahpahaman materi, adalah murni dari kami sendiri yang memang miskin bekal dan dangkal pengalaman. Risalah yang tersuguhkan ini lebih banyak memuat kutipan-kutipan kitab turots. Maka dari itu, bagi sementara para pembaca yang mampu menguasai grammar arab (nahwu) dengan baik serta menguasai tehnik pembacaan kitab turots, kami sarankan untuk mentelaah kitab-kitab aslinya yang menjadi refrensi kami, lebih-lebih kepada para pembaca yang sudah terbiasa dan sering mengkaji secara langsung (intens) kitab-kitab turots tersebut. Bagi yang sudah sering mentelaah kitab-kitab aslinya, boleh jadi tidak akan menemukan hal yang yang baru dalam risalah kecil ini, dikarenakan data-data serta informasi-informasi yang termuat sudah lebih dulu ia peroleh dari refrensi-refrensi yang kami maksudkan.
وَلَمْ نَسْتَفِدْ مِنْ بَحْثِنَا طُولَ عُمْرِنا # سِـوَى أنْ جَمَعْنَا فِيهِ قِيلَ وَقَالُوا
Tiada yang kami peroleh dari kajian-kajian selama ini, selain merangkai dan merangkai pernyataan si fulan…. serta si fulan…. [ ]
PENGERTIAN HADATS
Sebelum pembahasan lebih lanjut, terlebih dulu kita awali kajian ini dengan memahami makna darihadats sendiri, supaya dapat diperoleh kesinambungan uraian dan pemahaman dari kajian. Para pakar fiqh (fuqaha) berbeda pendapat dalam pembagian hadats, kebanyakan dari mereka mengelompokkannya menjadi dua bagian, hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil adalah hadats yang disucikan dengan berwudlu’, sedangkan hadats besar disucikan dengan cara mandi besar.[6] Bila disebutkan secara mutlak, maka yang dikehendaki adalah hadats kecil. Terkecuali bagi orang yang sedang niyat, sebab kemutlakan penyebutan hadats baginya adalah hadats yang sedang bersemayam atau menempel pada dirinya. Jadi andaikan ada orang junub yang niat demikian: “aku niat menghilangkan hadats”, maka penyebutan hadats secara mutlak dalam niatnya tersebut diarahkan pada hadats besar, mengingat kondisi yang sedang ia alami merupakan indikasi kuat bagi pemaknaan itu, dan sah pula niat tersebut sehingga hadats jinabatnya menjadi hilang.[7]
Makna etimologi dari hadats adalah sesuatu yang baru (as-syai’u al-hāditsu), seorang pemuda yang baru dalam proses pertumbuhan dinamakan “hadatsun”.[8] Sedangkan makna terminologinya atau istilah syara’nya adalah:
a. Beberapa penyebab dari berakhirnya kondisi suci seseorang. Sebagaimana keluarnya kotoran dari salah satu kemaluan, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, hilangnya akal, menyentuh kemaluan, tidur, mengeluarkan seperma baik sewaktu terjaga atau dalam kondisi tidur (ihtilām).
b. Sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai oleh syara’ dapat mencegah sahnya shalat, sepanjang tidak adanya sebuah dispensasi atau kemurahan syara’ (rukhshoh). Sebagaimana kemurahan bagi orang yang tidak mendapati air dan debu (fāqid at-thohurain), walaupun dalam dalam keadaan hadats ibadah yang ia kerjakan tetap dinilai sah oleh syara’.
c. Ketercegahan atau keharaman―untuk melakukan ibadah―yang ditimbulkan oleh dua hal di atas, yakni oleh beberapa sebab yang terkelompokkan pada poin pertama, serta sifat yang menempel atau bersemayam pada anggota tubuh seseorang yang dinilai oleh syara’ dapat mencegah sahnya shalat, sebagaimana yang dijelaskan pada poin kedua.[9]
Sedangkan jinabat dalam pengertian bahasa memiliki arti jauh (al-bu’du), dan dalam istilah syara’nya adalah orang yang mengeluarkan air mani, orang yang bersetubuh (jima’), pertemuan dua khitanan, mani yang memancar (al-mutadaffuq). Seseorang dinamakan junub sebab menjauhi ibadah shalat, menjauhi masjid, menjauhi dari membaca al-Qur’an.[10] Ibadah-ibadah tersebut, semuanya haram dikerjakan bagi orang yang sedang junub atau berhadats besar.
PENGERTIAN MAKNA YANBAGHI يَنْبَغِيٍ ] [ DAN LA YANBAGHI لا يَنْبَغِيٍ ] [
Sebagaimana kita ketahui dari redaksi kitab Ihya’di atas, Imam Ghazali dalam menyampaikan kesimpulan hukum tersebut, beliau menggunakan kata “la yanbaghi”, yang berarti “......tidak seyogyanya.....”. Untuk itu, penting sekali memahami makna kata tersebut. Sebab, kosakata ini merupakan sebuah istilah yang biasa dipakai oleh para ahli fiqh dalam menyampaikan kesimpulan hukum setelah melewati serangkaian proses panjang yang mereka lakukan dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya (istinbath). Jadi, sudah seharusnya bila kita memahami terlebih dulu maknanya, sebagai langkah antisipatif untuk menghindari terjadinya kerancuan pemahaman.
Memang, para ulama membikin istilah-istilah khusus yang mereka pergunakan di dalam kitab-kitab karangannya. Istilah-istilah tersebut sudah seharusnya dikaji oleh para pelajar ilmu agama (mutafaqqih). Jika tidak dimengerti, maka akan menjadi sulit dalam memahami pernyataan-pernyataan mereka. Guru kami, KH. Muhammad Said AR. di dalam kitabnya “Kassāf Istilāhā Al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah” menuturkan: “mempelajari fiqh, terlebih dulu harus mengenal dan mengkaji pernyataan-pernyataan para pakar fiqh tentang istilah-istilah yang mereka pergunakan. Dan memahami istilah-istilah yang memiliki makna-makna khusus, yang dipergunakan oleh para pakar adalah mutlak untuk dimengerti bagi para pencari ilmu dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu. Oleh karena setiap disiplin ilmu tertentu memiliki istilah-istilah khusus. Tentunya, bila istilah-istilah itu tidak dimengerti, maka sulit untuk memperoleh jalan petunjuk dalam memahami disiplin ilmu tersebut. Dan dalam sebuah kasus, kekeliruan-kekeliruan justru terjadi dalam persoalan-persoalan yang dianggap sepele.”[11]
Berikut penjelasan makna dari masing-masing kata “يَنْبَغِي” dan “لا يَنْبَغِي” :
1. [ يَنْبَغِي ] Pada umumnya sighot ini dipergunakan untuk dua arti, bisa berarti wajib ataupun sunnah tinggal melihat indikasi (qorinah) yang ada. Terkadang pula sighot tersebut digunakan untuk menunjukkan arti jawaz dan pentarjihan pendapat.[12] Atau hanya sekedar menunjukkan makna etika, sehingga “يَنْبَغِي” berarti “يَلِيْقُ” dan “يَحْسُنُ”....selayaknya... dan ...sebaiknya... Dan di dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyyah Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy menambahkan, bahwa pemakaian sighot يَنْبَغِي untuk arti wajib adalah sedikit.[13]
2. [لا يَنْبَغِي ] Sighot ini juga memiliki dua kemungkinan arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal melihat indikasi (qorinah) yang ada.[14] Dan bila tidak terdapat indikasi yang menunjukkan makna haram atau makruh, maka seyogyanya diarahkan pada makna kesunahan “النَّدْبُ” kalau memang kebimbangan (ketidak tegasan) itu terjadi dalam seputar persoalan hukum syara’. Dan bila tidak dalam persoalan hukum syara’, maka diarahkan pada makna “sebaiknya” atau “selayaknya”.
Di dalam kitab Qolyubi diterangkan bahwa “لا يَنْبَغِي” menunjukkan faidah arti kebolehan “الِإبَاحَة” secara tegas atau jelas (an-nash), serta dengan tingkatan kemungkinan (ihtimāl) menunjukkan arti haram atau makruh.[15] [ ]
BEBERAPA PANDANGAN ULAMA MADZHAB SYAFI’I
Keterangan yang diinformasikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ di atas, disikapi oleh para ulama dari generasi setelahnya dengan beragam pandangan. Keragaman tersebut disebabkan oleh karena redaksi yang digunakan beliau dalam menyampaikan kesimpulan hukum dengan menggunakan bahasa “لا يَنْبَغِي” (layanbaghi). Dan dari pengamatan penulis, pandangan-pandangan tersebut kurang lebihnya ada tiga macam kelompok.
1. Kelompok pertama; yakni kelompok para ulama yang mengutip redaksi kitab Ihya’ dengan tetap menggunakan bahasa “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi) sebagaimana teks aslinya. Dalam pengutipan ini, nama Imam al-Ghazali ataupun nama kitab Ihya’ kadang disebutkan dengan jelas, dan terkadang pula tidak dicantumkan sama sekali. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Fathul Mu‘īn (hal: 11), Tuhfah al-Muhtāj (juz: 01, hal: 284), Nihāyah al-Muhtāj (juz: 01, hal: 229), Mughni al-Muhtāj (juz: 01, hal: 75), Asna al-Mathōlib (juz: 01, hal: 284), al-Iqnā’ (hal: 70), an-Najm al-Wahhāj (juz: 01, hal: 386), Hāsiyah al-Jamal(juz: 01, hal: 482), Qolāid al-Khorōid wa Farāid al-Fawāid (juz: 01, hal: 36), dan al-Anwār as-Saniyyah(hal: 71).
2. Kelompok kedua; yakni kelompok para ulama yang memahami redaksi kitab Ihya’ dengan melakukan penafsiran kata “la yanbaghi” dengan “yusannu” atau “nudiba” (yang artinya: di sunnahkan untuk.....). Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 79), Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 339), Busyro al-Karīm (juz: 01, hal: 39), dan Nihāyah az-Zain (hal: 31).
3. Kelompok ketiga; yakni kelompok para ulama yang mengomentari isi kandungan redaksi kitab Ihya’ tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Hāsiyah I’ānah at-Thōlibīn (juz: 01, hal: 79), Mūhibah Dzi al-Fadzl (juz: 01, hal: 446), Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 349), Hāsiyah Bujairami Khotīb (juz: 01, hal: 364), Hāsiyah al-Jamal (juz: 01, hal: 486) dan Hāsiyah al-Qolyubiy (juz: 01, hal: 101), dll.
TEKS – TEKS KITAB ULAMA MADZHAB SYAFI’I
Pada bagian sebelumnya telah kami jelaskan mengenai sikap para ulama madzhab Syafi’i dari generasi setelah Imam al-Ghazali dalam menanggapi pernyataan redaksi kitab Ihya’, yang keragamannya kami bagi dalam tiga kelompok. Adapun dalam kesempatan kali ini, kami bermaksud untuk mencontohkan teks-teks kitab syafi’iyyah yang mengutip keterangan kitab Ihya’ tersebut.
Dari pengamatan kami, kutipan-kutipan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Untuk kategori pertama, adalah kutipan-kutipan yang redaksinya persis dengan redaksinya kitab Ihya’. Yakni sama dalam menggunakan kata “لا يَنْبَغِي”. Sedangkan untuk kategori kedua, adalah kutipan-kutipan yang redaksinya berbeda dengan redaksi kitab Ihya’. Bahkan kata yang dipakai tidak lagi menggunakan kata “لا يَنْبَغِي”, tetapi menggunakan kata yang lebih jelas dan tegas konsekuensi hukumnya. Dan kata yang dipakai adalah “يُسَنُّ” atau “نُدِبَ”, (yang artinya: di sunnahkan untuk.....).
Berikut ini adalah perincian dari masing-masing teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang kami maksudkan:
1. Teks – teks kitab yang redaksinya serupa dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.
Di bawah ini adalah beberapa contoh kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang redaksinya sama dengan kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien, yakni sama-sama menggunakan kata “la yanbaghi” atau “لا يَنْبَغِي”. Meskipun untuk redaksi kata-kata setelahnya, ada beberapa perbedaan alias tidak sama persis. Sebagaimana lafadz tunggal (mufrod) diganti jamak, atau diganti kata sinonimnya (semisalnya, padanannya), dll. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak prinsipil, dan tidak sampai merobah makna yang terkandung di dalam kitab Ihya’.
Dan untuk lebih jelasnya, cobalah diperbandingkan antara kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i di bawah ini, dengan kutipan redaksi kitab Ihya’ yang telah kami sampaikan di awal kajian.
a) Kitab Asna al-Mathōlib Syarh Raudl at-Thālib (juz: 01, hal: 284)
( فَرْعٌ ) قَالَ الغَزَالِي: لاَ يَنْبَغِي لِلجُنُبِ أَنْ يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ أَجْزَائِهِ أَوْ دَمِهِ قَبْلَ غُسْلِهِ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (أسنى المطالب شرح روض الطالب: ج 1 / ص 284 )
“[ cabang masalah] Imam al-Ghazali berkata: tidak seyogyanya bagi orang junub untuk menghilangkan (dengan cara mencukur, memotong, dll. pen-) sebagian dari anggota tubuhnya, atau mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) sebelum mandi besar (junub). Dikarenakan, kelak di akhirat akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.” (Asna al-Mathōlib Syarh Raudl at-Thālib. Juz: 01, hal: 284)
b) Kitab Mughni al-Muhtāj (juz: 01, hal: 75)
(فَائِدَةٌ) قَالَ فِي الإِحْيَاءِ: لاَ يَنْبَغِي أَنْ يَقْلِمَ أو يَحْلِقَ يَسْتَحِدَّ أو يُخْرِجَ دَمًّا أو يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (مغني المحتاج: ج 1 / ص 75)
“(faidah) telah berkata di dalam kitab Ihya’: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk memotong kuku, mencukur rambut, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.” (Mughni al-Muhtāj. Juz: 01, hal: 75)
c) Kitab Hāsiyah al-Qolyubi (juz: 01, hal: 78)
( فَائِدَةٌ ) قَالَ فِي الإِحْيَاءِ: لَا يَنْبَغِي للإِنْسَانِ أَنْ يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ شَيْئًا مِنْ ظُفْرِهِ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًّا أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ سَائِرُ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُبًا، وَيُقَالُ : إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا انتهى (حاشية قليوبي: ج 1 / ص 78)
“(faidah) telah berkata di dalam kitab Ihya’: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk menghilangkan (mencukur) sebagian rambutnya, memotong kuku-kukunya, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.” (Hāsiyah al-Qolyubi. Juz: 01, hal: 78)
d) Kitab Hāsiyah al-Jamal (juz: 01, hal: 486)
قَالَ فِي الإِحْيَاءِ: وَيَنْبَغِي لِلإِنْسَانِ أَنْ لَا يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ أَظَافِرَهُ أَوْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ أَوْ عَانَتَهُ أَوْ يُخْرِجَ دَمًّا أَوْ يُبِيْنَ جُزْءًا مِنْ نَفْسِهِ وَهُوَ جُنُبٌ لِأَنَّ جَمِيْعَ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ وَيُبْعَثُ عَلَيْهَا فَتَعُوْدُ بِصِفَةِ الجَنَابَةِ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري: ج 1 / ص 486)
“Telah berkata di dalam kitab Ihya’: dan seyogyanya bagi seseorang agar supaya tidak menghilangkan (mencukur) sebagian bulu-bulu tubuh, memotong kuku-kukunya, mencukur rambut kepala atau bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, dibangkitkan kembali, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.”(Hāsiyah al-Jamal. juz: 01, hal: 486)
e) Kitab Fath al-Mu’īn (hal: 11)
(فَرْعٌ) وَيَنْبَغِي أَنْ لاَ يُزِيْلُوا قَبْلَ الغُسْلِ شَعْرًا أَوْ ظُفْرًا وكَذَا دَمًّا لِأَنَّ ذَالِكَ يُرَدُّ فِي الآخِرَةِ جُنُبًا (فتح المعين: ص 11)
“[ cabang masalah] dan seyogyanya mereka (orang junub, wanita haid dan nifas) agar supaya tidak menghilangkan rambut, kuku, juga darah, sebelum mandi wajib. Oleh karena, kesemuanya itu kelak akan dikembalikan lagi di akhirat dalam keadaan junub.” (Fath al-Mu’īn. hal: 11)
2. Teks – teks kitab yang redaksinya berbeda dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.
Berikut ini adalah kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan kesunahan, dan redaksi yang di pakai adalah “يُسَنُّ” atau “نُدِبَ” (yang artinya: di sunnahkan), tidak lagi menggunakan kata “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi). Kesunahan yang dikehendaki adalah kesunahan untuk supaya tidak menghilangkan sebagian anggota tubuh di waktu sedang berhadats besar, baik penghilangan tersebut dengan semisal mencukur rambut kepala, bulu kumis, berbekam, memotong kuku ataupun dengan cara yang lain.
Adapun penyebutan kutipan-kutipan ini, adalah kami maksudkan untuk memperoleh sebuah gambaran dari ketegasan atau kemantapan hukum, dan agar supaya redaksinya kitab Ihya’ yang menyatakan “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi) tidak dipahami sebagai hukum keharaman secara mutlak.
a) Kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 74)
وَيُسَنُّ كَمَا قَالَ فِى الِإحْيَاءِ لِمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا وَشَعْرًا وَظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ يَزُوْلُ عَنْهُ مَاعَدَا الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الشرقاوى: ج 1 / ص 74 )
“Dan disunahkan―sebagaimana telah dikatakan di dalam kitab Ihya’―bagi orang berkewajiban mandi besar, agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, dan kuku, sehingga dirinya mandi wajib terlebih dulu. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.” (Hāsiyah as-Syarqāwi. Juz: 01, hal: 74)
b) Kitab Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 349)
يُسَنُّ لِمَنْ ذُكِرَ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً قبل الْغُسْلِ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ. لَكِنَّ الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ البَاقِيَةَ مِنْ أَوَّلِ العُمْرِ إِلَى آخِرِهِ تَعُودُ مُتَّصِلَةً. وَأَمَّا نَحْوُ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ الّذِيْ أُزِيْلَ قَبْلَ المَوْتِ، فَيَعُودُ لَهُ إِلَيْهِ مُنْفَصِلاً عَنْ بَدَنِهِ، فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ، وَعَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ لِتَبْكِيْتِهِ أَيْ تَوْبِيْخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَايُزِيْلَهُ حَالَةَ الجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا. وَيُقَالُ: إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. وَيَنْبَغِي كَمَا قَالَ الشَّبْرَامُلْسِى: أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ حَيْثُ قَصَّرَ كَأَنْ دَخَلَ وَقْتُ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَغْتَسِلْ وَإِلَّا فَلَا، كَأَنْ فَجَأَهُ المَوْتُ. (فتح العلام: ج 1 / ص 349)
“Bagi orang-orang yang telah disebutkan (yakni orang junub, wanita haid dan nifas), agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, atau kuku, sebelum melaksanakan mandi wajib. Dikarenakan, semua anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kepadanya, di akhirat kelak. Akan tetapi, anggota tubuh yang asli, yang masih utuh semenjak permulaan kelahiran sampai meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan tersambung. Sedangkan semisal rambut dan kuku, yang sempat ia potong sebelum meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan terpisah dari tubuhnya. Jadi, andaikan ia hilangkan (potong) sebelum mandi wajib, maka akan dikembalikan lagi dalam kondisi menanggung hadats besar, untuk mengecam dengan keras dirinya, karena telah ceroboh melanggar perintah supaya tidak menghilangkannya (memotongnya) pada saat jinabat. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya. Seyogyanya―sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Syubromulsi―bahwa kecaman keras tersebut berlaku bagi orang yang ceroboh, sebagaimana waktu sholat telah masuk dan dirinya belum mandi wajib―dan jika tidak ceroboh, maka tidak dikecam―lantas ajal menjemput secara mendadak. (Fathu al-‘Allām .juz: 01, hal: 349)
c) Kitab Busyro al-Karim (juz: 01, hal: 39)
وَنُدِبَ لِنَحْوِ جُنُبٍ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ إِلَّا بَعْدَ الْغُسْلِ لِأَنَّ الْأَجْزَاءَ تَعُوْدُ اِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ تَزُولُ عَنْهُ مَا عَدَا الْأَجْزَاءَ الْأَصْلِيَّةَ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. (بشرى الكريم: ج 1 / ص 39)
“Dan disunahkan bagi semisal orang yang sedang junub agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya kecuali setelah selesai mandi wajib. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.” (Busyro al-Karīm. Juz: 01, hal: 39)[16]
d) Kitab Nihayah az-Zain (hal: 31)
وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمّاً أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي الآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ. (نهاية الزين: 31)
“Barangsiapa berkewajiban mandi besar, maka disunahkan agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya walaupun berupa darah, rambut, atau pun kuku, kecuali setelah selesai mandi besar. Oleh karena setiap anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kelak di akhirat. Jadi, andaikan ia hilangkan sebelum mandi besar maka kembali pula hadats besarnya, untuk mengecam dengan keras dirinya.(Nihayah az-Zain. Hal: 31)
BEBERAPA KOMENTAR ULAMA MADZHAB SYAFI’I
Bila sebelumnya telah kami kelompokkan beberapa pandangan ulama Madzhab Syafi’i dalam tiga kategori, yang di antara kategori itu adalah kelompok ulama yang mengomentari isi kandungan redaksi kitab Ihya’. Maka untuk lebih jelasnya, kami kutipkan lagi tarjamahan dari teks redaksi kitab Ihya’ ini, lalu kita telaah bersama isi kandungannya berikut komentar-komentar para ulama tersebut:
“Dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi pada dirinya dalam keadaan junub. Seraya dikatakan: sesungguhnya setiap helai rambut menuntut pada dirinya akan status jinabatnya.” [Ihya’ ‘Ulūm ad-Dien. Juz: 02, hal: 51]
Berikut beberapa komentar para ulama dalam menanggapi isi kandungan teks redaksi tersebut:
a) Mengenai dikembalikannya darah orang junub yang telah ia keluarkan kelak di akhirat, semisal dikeluarkan dengan cara berbekam, pendapat tersebut perlu dikaji lagi, demikian juga pengembalian organ-organ tubuh yang lain. Karena yang dikembalikan kelak adalah bagian-bagian organ tubuh yang ada sewaktu meninggal, terkecuali sebagian kecil organ saja. Memang para ulama berbeda pendapat tentang anggota tubuh yang dikembalikan lagi kelak di akhirat, apakah yang dikembalikan itu hanya organ-organ tubuh yang asli mulai semenjak lahir sampai meninggal dengan tanpa menyertakan semisal kuku dan rambut yang sudah berkali-kali dipotong, ataukah pengembalian tersebut juga menyertakannya.[17]
b) Bila kuku-kuku dari jari-jemari serta rambut kepala yang seringkali dipotong selama hidup dikembalikan lagi, tentu hal itu akan menjadikan orang yang bersangkutan buruk rupa. Jika memang demikan, betapa panjangnya anggota tersebut bila kesemuanya dikembalikan lagi seperti semula.[18]
c) Angota tubuh semisal kuku dan rambut akan dikembalikan lagi pada pemiliknya untuk dimintakan pertanggungjawaban, tetapi pengembalian ini dilakukan secara terpisah. Dikarenakan orang yang berhadats besar diperintahkan untuk menghilangkan hadasnya terlebih dulu, akan tetapi ia justru ceroboh dengan memotong sebagian tubuhnya yang masih berhadats sebelum disucikan dengan mandi wajib.[19]Pengembalian secara terpisah ini dimaksudkan untuk mengecam dengan keras pelakunya serta meminta pertanggungjawaban atas hadats besar yang bersemayam dalam anggota-anggota yang dirinya telah ceroboh dengan memotongnya terlebih dulu.
Namun yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa kecaman tersebut berlaku bilamana dirinya tidak lekas-lekas melakukan mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar setelah masuk waktu shalat, sehingga ajal pun menjemput sebelum dirinya melakukan mandi wajib tersebut.[20]
d) Keterangan yang di sampaikan oleh Imam al-Ghazali tidak sepenuhnya disetujui ulama dalam madzhab Syafi’i, dan Imam al-Qolyubi berada di garis terdepan dalam memberikan sanggahan terhadap pernyataan tersebut, belum lagi ketida sejalanan dari madzhab lainnya serta ulama kontemporer. Di dalam kitabHasiyah al-Qolyubi, beliau menuturkan demikian: “tentang (kebenaran) dikembalikannya lagi darah yang telah dikeluarkan (semisal dengan cara berbekam)—oleh orang junub kelak di akhirat—perlu dikaji lagi, demikian pula selain darah. Karena yang dikembalikan kelak adalah bagian-bagian organ tubuh yang ada sewaktu meninggal, terkecuali sebagian kecil organ saja.”[21]
Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali berikut komentar dan tanggapan para ulama dari generasi setelahnya sebagaimana kami uraikan di atas, adalah merupakan produk kajian ijtihad fiqhiyyah. Dengan demikian—dengan tanpa mengurangi sedikit pun keta’dziman kepada mereka—kita pun boleh mengajukan sebuah pertanyaan dari pijakan dalil produk ijtihad tersebut. Sebab, yang namanya produk ijtihad tentu tidak terlepas dari refrensi dalil, yang nantinya dapat kita ketahui bersama sebatas mana tingkatan hukum yang ditunjukkan oleh dalil tersebut. Namun, sejauh penelusuran yang penulis lakukan dari refrensi kitab-kitab yang telah kami sebutkan di atas, tiada satupun dalil baik ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi yang disebutkan. Bila kita pertanyakan sumber dalilnya, bukanlah dimaksudkan untuk menolak hasil ijtihad itu, tetapi kita hendak memahami dari dalil tersebut, kenapa ulama berbeda pendapat dalam menghukumi persoalan yang sedang kita kaji ini. Hal ini dikarenakan, kesimpulan hukum dari selain madzhab Syafi’i—sebatas data-data refrensi yang penulis miliki—tidak sampai menyatakan keharaman memotong kuku dan rambut bagi orang yang berhadats besar.
MASIH WAJIBKAH MEMANDIKAN KUKU DAN RAMBUT YANG TERLANJUR TERPOTONG?
Bila kita perhatikan kalimat yang dituturkan oleh Imam al-Ghazali: “........ akan dikembalikan lagi pada dirinya dalam keadaan junub..........” dapat kita tangkap sebuah isyarat bahwa anggota tubuh sebagaimana rambut, kuku dll. yang sudah terputus sebelum mandi besar (baik terputusnya disengaja atau tidak, pen-), hadats besar atau jinabatnya tidaklah bisa dihilangkan dengan cara memandikan anggota yang sudah terputus tersebut. Demikian kurang lebih pernyataan yang di sampaikan oleh Syech Ahmad bin Qāsim al-‘Abādi dalam mengomentari keterangan kitab Ihya’nya Imam al-Ghazali itu. Berikut ini teksnya asli dari pernyataan tersebut:
(قوله : فَيَعُوْدُ جُنُبًا) ظَاهِرُ هَذَا الصَّنِيعِ أَنَّ الْأَجْزَاءَ المُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الاِغْتِسَالِ لَا تَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغُسْلِهَا سم على حج
“(akan kembali lagi dalam kondisi junub). Nampaknya, keterangan ini memberi petunjuk bahwa anggota tubuh (semisal rambut, kuku dll.) yang sudah terputus sebelum mandi besar (baik terputusnya disengaja atau tidak), hadats besar atau jinabatnya tidaklah bisa dihilangkan dengan cara memandikan anggota yang sudah terputus tersebut”. [22] (Nihāyah al-Muhtāj. Juz: 02, hal: 241)
Bila demikian, kita layak mempertanyakan pijakan dalil dari perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengumpulkan rambut atau kuku-kukunya yang terpotong baik sengaja ataupun tidak sewaktu dalam kondisi junub. Lalu pada saat melakukan mandi besar, kumpulan rambut dan kuku-kuku tersebut juga disertakan dimandikan?
Memang tidak menjadi persoalan dan ada benarnya juga dari tinjauan segi kebersihan, bila kumpulan-kumpulan rambut atau kuku-kuku yang sudah terpotong itu ditanam atau dikubur,[23] agar supaya tidak bercecaran secara sembarangan, dan juga helaian rambut yang lumayan panjang bila dibiarkan bercecaran juga bisa berdampak buruk, mengganggu lingkungan sekitar. Jadi, kalau memang ada dalil pijakan yang kuat atas tuntunan memandikan kumpulan-kumpulan kuku atau rambutnya orang junub yang sudah terpotong sewaktu dalam kondisi hadats besarnya, maka tiada jalan lain bagi kami selain menerima dengan sepenuhnya.
Prinsip kami sejalan dengan ungkapan syair:
اِذَا كُنْــتَ بِالمـَدَارِكِ غِــرَّ # ثُمَّ اَبْصَرْتَ حَاذِقًا لَاتُمَــارِى
وَاِذَا لَمْ تَـرَى الْهِلَالَ فَسَــلِّمْ # لِأُنَاسٍ رَأَوْهَــا بِااْلأَبْصَــارِ
“Bila engkau belum mampu memahami sebuah persoalan, jangan kaget jika melihat orang cerdas yang memahaminya. Dan bila engkau tidak bisa menyaksikan sendiri bulan sabit (hilal), maka ucapkanlah selamat kepada mereka yang menyaksikannya langsung.”
Dengan keterangan di atas, dapat kami simpulkan bahwa memandikan anggota tubuh yang sudah terputus semisal rambut, kuku dll. tidaklah dibenarkan, [24] dan bukan merupakan langkah solutif untuk menutupi, menghapus keteledoran atau kesalahan yang terlanjur terjadi, yakni keteledoran dengan menghilangkan sebagian anggota tubuh yang masih dalam status menanggung hadats besar.
Dalam tuntunan agama, menghapus kesalahan (dosa) adalah dengan cara bertaubat yang sungguh-sungguh (taubat nasuhā). Dan bila kesalahannya berkaitan dengan sesama anak Adam, maka haruslah meminta halal (istihlal) terlebih dulu kepada yang bersangkutan. Kendatipun memang ada, amalan-amalan ibadah yang syara’ telah menjanjikan penghapusan kesalahan (dosa) dengan melaksanakan ibadah tersebut, sebagaimana wudlu’, puasa, dll.
Rukun-rukun taubat sendiri ada tiga, yaitu:
An-nadāmah
Iqlā’
Azm
Dan bila dosa yang dikerjakan itu berkaitan dengan hak orang lain, maka disamping tiga rukun di atas, ditambah pula dengan pembebasan diri dari tanggungan hak orang lain tersebut, yakni dengan mengembalikan hak tersebut, mempersilahkan yang bersangkutan untuk mengambil haknya atau meminta keihlasannya (istihlal).
أُطْلُبْ مَتَابًا بِالنَّـدَامَةِ مُقْلِعَا # وَبِعَزْمِ تَرْكِ الذَّنْبِ فِيْمَا اسْتَقْبَلَا
وَبَرَاءَةً مِنْ كُـلِّ حَقِّ الْآدَمِى # وَلِهَـذِهِ الْأَرْكَانِ فَارْعِ وَكَمِّلَا
Bertaubatlah, dengan menyesali dosa yang telah kau perbuat, seraya melepaskan diri dari kungkungan dosa yang sedang kau kerjakan. Serta bertekadlah untuk tidak melakukan kembali di waktu yang akan datang. Dan bebaskanlah dirimu dari tanggungan hak orang lain. Jaga dan sempurnakanlah rukun-rukun taubat tersebut.[26]
Di dalam kitab “Tsamroh ar-Raudhah as-Syahiyyah”[27], sempat dibahas tentang persoalan wajib dan tidaknya memandikan kuku atau rambutnya orang junub yang sudah terpotong sewaktu dalam kondisi hadats besarnya. Dan diputuskan bahwa hukum memandikannya adalah tidak wajib. Adapun keterangan lengkap dari kitab tersebut, sebagai berikut:
[مَسْئَلَةٌ] هَلْ يَجِبُ غُسْلُ مَا انْفَصَلَ مِنَ الجُنُبِ قَبْلَ الغُسْلِ مِنْ شَعْرٍ أَوْ جِلْدٍ أَوْ لَا؟ [الجَوَابُ] لَا بَلْ الوَاجِبُ عَلَيْهِ غُسْلُ مَا ظَهَرَ بَعْدَ الِإنْفِصَالِ، أَخْذًا مِنْ فَتْحِ المُعِيْن ج (1) ص 75 مَا نَصُّه : وَثَانِيْهِمَا تَعْمِيْمُ ظَاهِرِ بَدَنٍ حَتىَّ الأَظْفَارِ –إِلى أَنْ قَالَ– وَمَا ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرِهِ زَالَتْ قَبْلَ غُسْلِهَا إهـ . وَأَمَّا قَوْلُ صَاحِبِ الإِحْيَاءِ سَائِرُ أَجْزَاءِ الجُنُبِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِى الآخِرَةِ فَيَعُودُ أَىْ مَا أُزِيْلَ قَبْْلَ الغُسْلِ جُنُبًا. فَقَالَ القُلْيُوبِى ج (1) ص 67 قُبَيْلَ بَابِ النَّجَاسَةِ : وَفِى عَوْدِ نَحْوِ الدَّمِّ نَظَرٌ، وَكَذَا فِى غَيْرِهِ لِأَنَّ الْعَائِدَ هُوَ الأَجْزَاءُ الَّتى مَاتَ عَلَيْهَا إهـ والله أعلم
Permasalahan: Apakah masih diwajibkan untuk memandikan anggota tubuh orang junub yang sudah terpisah (terkelupas, terpotong), semisal rambut, kulit dll. ataukah tidak?
Jawab: Tidak diwajibkan untuk memandikannya, akan tetapi yang diwajibkan adalah memandikan bagian tubuh yang nampak setelah terpisah (terkelupas). Kesimpulan ini, merujuk pada kitab Fahu al-Mu‘īn juz: 1, hal: 75. Adapun keterangannya adalah: “rukun yang kedua adalah meratakan air keseluruh anggota tubuh bagian luar , sehingga kuku-kuku jari-jemari ......... dan membasuh bagian yang nampak dari semisal tempat tumbuhnya rambut yang telah tercabut sebelum mandi besar.” Sedangkan pernyataan Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’nya yang menyatakan: “seluruh anggota tubuh orang yang junub akan di kembalikan lagi ke padanya kelak di akhirat, sehingga anggota tubuh yang sempat terpisah tersebut akan dikembalikan lagi dalam keadaan junub”, pernyataan tersebut ditanggapi oleh Imam al-Qolyubi (juz: 1, hal: 67) sebelum bab najasah, dan isi dari sanggahan beliau ini adalah: “mengenai (kebenaran) dikembalikannya lagi semisal darah (darahnya orang junub yang keluar sebelum mandi wajib), maka perlu dikaji-ulang kembali, demikian pula selain darah. Sebab, yang akan dikembalikan lagi adalah adalah bagian-bagian tubuh yang ada sewaktu meninggal.” wa Allah A’lam. [28][ ]
PERSPEKTIF FIQH SELAIN MADZHAB SYAFI’I
Untuk melengkapi kajian ini, maka disamping mentelaahnya dari perspektif madzhab Syafi’i, alangkah baiknya bila kita bahas pula perspektif madzhab lain, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran persoalan yang sedang kita kaji dengan lebih jelas dan luas (komprehensif), serta membandingkannya dengan beberapa madzhab yang ada. Sebab, hukum syara’ tidak hanya terdapat pada rumusan madzhab Syafi’i saja, madzhab-madzhab yang mu’tabar lain pun juga sejajar dengannya. Jadi, tiada salahnya bila kita sertakan penjelasannya disini.
1. Madzhab Hanafi
Di dalam kitab Fiqh al-‘Ibadah karya al-Hajah Najah al-Halaby, dijelaskan bahwa memotong kuku di saat seorang sedang mengalami hadats besar (junub) adalah makruh, demikian halnya memangkas rambut. Untuk itu, sebaiknya pemotongan tersebut hendaklah dilakukan sehabis mandi besar. Dan sebelumnya, sang pengarang (muallif) juga menjelaskan—berdasarkan sebuah pendapat—bahwa kuku yang panjang dapat mempersempit rizqi seseorang.[29]
2. Madzhab Hambali
Di dalam kitab al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa dalam pandangan ulama madzhab Hambali memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub, haidl dan nifas sebelum mandi wajib adalah tidak dimakruhkan.[30] Dan Sayyid Sabiq pun mempertegas kebolehan hukum pemotongan tersebut. Beliau mengatakan:“bagi orang junub dan orang yang sedang mengalami haidl dibolehkan untuk memangkas rambut, memotong kuku keluar rumah hendak menuju kepasar dll. dengan tanpa kemakruhan sedikitpun”.[31] Untuk melegitimasi kesimpulan itu, Sayyid Sabiq mengutip pendapat Imam Atho’ yang mengatakan kebolehan bagi orang orang yang sedang junub untuk berbekam, memotong kuku, mencukur rambut walaupun belum berwudlu terlebih dulu. Bahkan Imam Bukhori juga meriwayatkan pendapat Imam Atho’ tersebut didalam kitab Sahih Bukhorinya, sebagaimana beliau catat dalam bab orang junub boleh keluar rumah dan berjalan menuju pasar dll.[32]
Dengan demikian dapatlah kita pahami, memotong kuku dan memangkas rambut bagi orang junub adalah boleh bahkan tidak diharamkan dan tidak pula dimakruhkan, dengan berpijak pada madzhab Hambali dan pendapatnya Imam Atho'.
3. Fatāwi Dār al-Ifta’ al-Misriyyah Dan Fatāwi al-Azhar
Memotong Rambut dan Kuku Bagi Orang Junub.
Soal :
Apakah diperbolehkan memotong rambut dan kuku ketika sedang jinabat dan sebelum mandi besar?
Jawab :
Di dalam kitab al-Iqna’ syarah kitab matan Abi Suja’ (fiqh syafi’i) juz: 01, hal: 60, di sebutkan: “telah berkata di dalam kitab Ihya’―yakni Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien karya Imam al-Ghazali―:
“Dan tidak seyogyanya bagi orang junub untuk memangkas rambut, memotong kuku, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi pada dirinya dalam keadaan junub. Seraya dikatakan: sesungguhnya setiap helai rambut menuntut pada dirinya akan status jinabatnya.”
Akan tetapi pernyataan tersebut tidak memiliki dalil untuk melarang tindakan pemotongan (rambut dan kuku pen-) sewaktu dalam kondisi jinabat, juga tiada dalil atas tuntutan pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat atas anggota tubuh yang dihilangkan sewaktu junub. Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan kepada Ibnu Taimiyyah―sebagaimana diceritakan oleh as-Safāraniy di dalam kitabnya “Ghidza’ al-Albāb” juz: 01, hal: 382―beliaupun menjawab: “sungguh benar-benar telah diriwayatkan dari baginda Nabi صلى الله عليه وسلمsewaktu dipertanyakan tentang orang junub pada baginda Nabi, beliau bersabda: “sungguh orang mukmin itu tidak najis, baik sewaktu masih hidup ataupun sesudah meninggal”. Ibnu Taimiyyah berkata: aku tidak mengetahui adanya dalil syara’ yang menyatakan kemakruhan pemotongan rambut dan kuku bagi orang junub, bahkan Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda: “lemparkanlah (cukurlah pen-) rambut kekafiran darimu dan berkhitanlah”.[33]
Demikianlah perintah Nabi kepada orang yang baru masuk Islam, beliau tidak menyuruhnya untuk mengakhirkan khitan dan mencukur rambutnya sehingga mandi besar terlebih dulu. Dengan demikian, kemutlakan pernyataan beliau tersebut memberikan kesimpulan atas kebolehan dua hal sekaligus, (yakni orang yang baru masuk Islam di atas, diperbolehkan untuk mandi terlebih dulu sebelum khitan dan mencukur rambutnya, atau sebaliknya khitan dan mencukur rambut terlebih dulu baru kemudian mandi, pen-).[34]Demikian pula seorang wanita yang sedang haid, diperintahkan untuk menyisir rambutnya sewaktu mandi, padahal dengan menyisir rambut akan berdampak pada kerontokan sebagian rambutnya.
Dengan demikian dapat kita mengerti bahwa hal itu tidaklah dimakruhkan. Adapun larangan melakukan tindakan tersebut, tidaklah memiliki dasar sama sekali.” Imam Atha’ berkata: “orang junub boleh berbekam (canduk, jw), memotong kuku, mencukur rambutnya walaupun tanpa wudlu terlebih dulu.”(HR. Bukhori).Dengan berpijak pada keterangan tersebut, mencukur rambut dan memotong kuku sewaktu jinabat tidaklah dimakruhkan (dan tidak pula diharamkan, pen-). Adapun menanam atau mengubur potongan-potongan kuku ataupun rambut-rambut rontok yang terdapat disisir adalah persoalan lain. [35]
4. Fatāwi as-Syabakah al-Islāmiyyah
Orang Junub Tidak Berdosa bila Mencukur Rambut Kepalanya atau Memotong Kuku-kukunya.
Soal :
Apakah diperbolehkan memotong rambut ketika sedang jinabat dan sebelum mandi besar, dan apa dalilnya?
Jawab :
Segala puji bagi Allah ‘Azza Wa Jalla , Shalawat dan Salam semoga terlimpahkan pada Rosulullah صلى الله عليه وسلم , kepada keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du, seseorang yang sedang junub tidak berdosa bila mencukur rambut atau memotong kuku-kukunya, sebab hukum asalnya adalah boleh, dan tidak ada dalil sahih yang melarangnya. Barang siapa bermaksud mencegah hukum kebolehan tersebut, maka ia dituntut untuk mendatangkan dalil penguat atas pendapatnya.
Sebuah pertanyaan pernah diajukan pada Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah―sebagaimana tercatat dalam kitab fatawinya―isi pertanyaannya adalah: jika seorang laki-laki sedang dalam kondisi junub lantas ia memotong kuku-kukunya, bulu kumisnya atau menyisir rambut kepalanya, apakah berdosa bila hal itu ia kerjakan? Persoalan yang ditanyakan ini, memang betul pernah disinggung oleh sebagian ulama, dan mereka berkomentar bahwa seseorang yang sedang junub bila mencukur rambutnya atau memotong kuku-kukunya, maka kelak di akhirat seluruh tubuhnya akan dikembalikan lagi, ia pun di hari kiamat menanggung beban jinabat sesuai dengan kadar anggota tubuhnya yang sempat ia hilangkan, dan setiap helaian rambutnya juga menanggung beban tanggungan jinabat, apakah hal yang demikian ini memang benar adanya?
Adapun jawaban dari Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah sebagai tanggapan dari pertanyaan tersebut adalah: sungguh benar-benar telah diriwayatkan dari baginda Nabi صلى الله عليه وسلم haditsnya Huzaifah dan haditsnya Abu Hurairah, bahwa sewaktu dipertanyakan prihal orang junub pada baginda Nabi, beliaupun bersabda:“sungguh orang mukmin itu tidak najis”, di dalam kitab sahihnya al-Hākim terdapat tambahan:“baik sewaktu masih hidup ataupun sesudah meninggal”. Lalu Ibnu Taimiyyah melanjutkan jawabannya: aku tidak mengetahui adanya dalil syara’ yang menghukumi makruh bagi orang junub bila mencukur rambut kepalanya. Bahkan baginda Nabi pernah bersabda:“lemparkanlah (cukurlah pen-) rambut kekafiran darimu dan berkhitanlah”.[36]
Demikian lah perintah Nabi kepada orang yang baru masuk Islam, beliau tidak memerintahkannya untuk mengakhirkan khitan dan mencukur rambutnya sehingga mandi besar terlebih dulu. Dengan demikian, kemutlakan pernyataan beliau memberikan kesimpulan atas kebolehan dua hal sekaligus, (yakni orang yang baru masuk Islam tersebut diperbolehkan untuk mandi terlebih dulu sebelum khitan dan mencukur rambut, atau sebaliknya khitan dan mencukur rambut terlebih dulu baru kemudian mandi, pen-). Demikian pula seorang wanita yang sedang haid, diperintahkan untuk menyisir rambutnya sewaktu mandi, padahal dengan menyisir rambut akan berdampak pada kerontokan sebagian rambutnya. wa-Allahu a’lam. [37] [ ]
RIWAYAT YANG LEMAH (DLO’ĪF) DAN HADITS PALSU (MAUDLU’)
Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’nya memang tidak sedikit yang menyangsikannya atau mengkritiknya. Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah kontemporer pernyataan semacam itu rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai dengan dalil pijakan yang menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak sumber-sumber hadits yang menjelaskan, yang ada justru hadits-hadits yangdlo’if atau bahkan dinilai maudlu’.
Dan sepanjang penelitian yang kami lakukan, ada beberapa sumber refrensi yang menyebutkan riwayat yang menerangkan tentang topik yang sedang kita kaji. Namun sayangnya, riwayat yang disebutkan dalam refrensi ini adalah riwayat yang lemah (dla’if), bahkan dinilai sebagai hadits palsu atau maudlu’. Jadi masih belum bisa dijadikan pijakan dalil penguat hujjah akan keharaman memotong kuku, mencukur rambut, berbekam dll. di saat sedang dalam kondisi hadats besar.
Fathu al-Bāriy Karya Ibnu Rajab al-Hambali
Di dalam kitab Fathu al-Bāriy syarah Sahih al-Bukhari Imam Ibnu Rajab al-Hambaliy menjelaskan bahwa bagi orang junub diperbolehkan untuk berbekam, memotong kuku-kukunya, dan mencukur rambutnya. Bahkan wanita yang sedang haidl juga diperbolehkan untuk mewarnai rambut kepalanya dan meminyakinya. Hukum kebolehan ini beliau sandarkan pada pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Atho’, dan Imam Ishaq bin Rahawaih. [38]
Selanjutnya beliau menuturkan, bahwa kebolehan tersebut tidak ada yang mempertentangkannya kecuali sebagian ashhabnya yakni Abu al-Faraj as-Syairoziy. Oleh karena menurut pendapat Abu al-Faraj as-Syairoziy, orang yang sedang junub dimakruhkan bila mencukur rambut atau memotong kuku-kukunya. Ketentuan ini didasarkan atas sebuah riwayat yang beliau nilai marfu’. Akan tetapi riwayat tersebut bagi Ibnu Rajab al-Hambaliy beliau anggap sebagai riwayat munkar, bahkan kelihatanya lebih tepatnya bila dikatakan riwayat palsu (maudlu’). Dan riwayat yang dimaksudkan adalah:
لَا يَقْلِمَنَّ أَحَدٌ ظفراً ، وَلَا يَقُصْ شَعْراً ، إِلَّا وَهوَ طَاهِرٌ ، وَمَنْ اِطَّلَى وَهوَ جُنُبٌ كَانَ [ عِلَّتُهُ ] عَلَيْهِ(خرجه الإسماعيلي في مسند علي بإسناد ضعيف جداً عَن علي)
“Janganlah seseorang memotong kukunya, mencukur rambutnya kecuali jika dirinya dalam kondisi suci. Dan barangsiapa meminyaki rambutnya, sedangkan dirinya dalam keadaan junub, maka bahayanya (illat-nya) menjadi tanggungan dirinya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Isma’iliy dalam musnadnya Ali, dengan riwayat yang sangat lemah dari jalur riwayat Ali.[39]
2. Silsilah al-Ahādīts ad-Dla’īfah wa al-Maudlu’ah wa Atsaruha fi al-Ummah karya al-Albāniy
Dalam kitab “Silsilah al-Ahādīts ad-Dha’īfah wa al-Maudlu’ah wa Atsaruha fi al-Ummah” Syekh Muhammad Nasiruddin bin al-Hāj Nuh al-Albāniy menuliskan sebuah riwayat yang beliau klaim sebagai haditsmaudlu’. Adapun riwayat yang dimaksudkan adalah riwayat sebagai berikut:
(نهى أن يَحْلِقَ الرجلُ رأسَه وهو جُنُبٌ، أو يَقْلِمَ ظُفْراً ، أو يَنْتِفَ حَاجِباً وهو جُنُبٌ ). مَوْضُوْعٌ. أَخْرَجَهُ ابْنُ عَسَاكِرْ فِي ”تَارِيخ دِمَشْقَ“ مِنْ طَرِيْقِ أَبِي الحَسَنْ عَلِي بْنِ مَحَمَّد بنِ بَلَّاغ - إِمَام الجَامِع بِدِمَشْقَ - : نَا أَبُو بَكَرْ مُحَمَّد بن عَلِي المرَاغِي: نَا أَبُوْ يَعْلَى أَحْمَد بن عَلِي بن المثَنَّى التَّمِيْمِي المُوْصِلِي: نَا عَبْدُالْأَعْلَى بن حَمَّاد النُّرْسِي: نَا حَمَّاد بن سَلَمَة عَنْ ثَابِتْ عَن أَنَسْ بن ماَلِكْ قَالَ: دَخَلَ عَلَيَّ النبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي يَومِ الجُمْعَةِ، وَأَنَا أَفِيْضُ عَلَيَّ شَيْئاً مِنَ المَاءِ، فَقَالَ لِي : ”يَا أَنَس! غُسْلُكَ : لِلْجُمْعَةِ أَمْ لِلْجَنَابَةِ ؟“. فَقُلْتُ : يَا رَسُولُ الله! بَلْ لِلْجَنَابَةِ، فَقَالَ النَّبِي B: ”يَا أَنَس! عَلَيْكَ بالحنيك، والفنيك، والضاغطين، والمسين، والمنسبين، وأُصُول البَرَاجِم، وَأُصُول الشَّعْر، وَاثْنَي عَشَرَ نَقْباً، مِنْهَا سَبْعَةٌ فِي وَجْهِكَ وَرَأْسِكَ، وَاثْنَانِ فِي سَفَلَتِكَ، وَثَلَاثٌ فِي صَدْرِكَ وَسُرَّتِكَ، فَوَالَّذِي بَعَثَنِي بِالحَقِّ نَبِيّاً ! لَوِ اغْتَسَلْتَ بِأَرْبَعَةِ أَنْهَارِ الدُّنْيَا: سَيْحَانْ وَجَيْحَانْ، وَالنِّيْل وَالْفُرَات، ثُمَّ لَمْ تُنْقِهِمْ ؛ لَلَقَّيْتَ اللهَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأَنْتَ جُنُبٌ“. قَالَ أَنَس: فَقُلْتُ: يَا رَسُولُ الله! وَمَا الحنيك، وَمَا الفنيك وَمَا الضاغطين والمسين وَمَا المنسبين ؟ وَمَا أُصُولُ البَرَاجِم ؟ فَأَوْمَى إِليَّ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ: أَنْ اَلْحِقْنِي ، فَلَحِقْتُهُ ، وَأَخَذَ بِيَدِي، وَأَجْلَسَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ، وَقَالَ لِي : ”يَا أَنَس! أَمَّا: (الحنيك) ... فَلَحْيُكَ الفَوْقَانِي، وَأَمَّا : (الفنيك) ... فَفَكُّكَ السُّفْلَانِي، وَأَمَّا : (الضاغطين) وَهُمَا: (المسين) ... فَهُمَا أُصُولُ أَفْخَاذِكَ، وَأَمَّا : (المنسبين) ... فَتَفْرِيْشُ آذَانِكَ، وَأَمَّا: (أُصُولُ البَرَاجِم) ... فَأُصُولُ أَظَافِيرِكَ، فَوَالَّذِي بَعَثَنِي بِالحَقِّ نَبِيّاً! لَتَأْتِي الشَّعْرَةُ كَالْبَعِيْرِ الْمَرْبُوقِ حَتَّى تَقِفَ بَيْنَ يَدَيِ الله فَتَقُولُ: إِلَهِي وَسَيِّدِي! خُذْ لِي بِحَقِّي مِنْ هَذَا“فَعِنْدَهَا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ... الحَدِيثَ .
Telah diriwayatkan bahwa Nabi melarang seseorang bila mencukur rambut kepalanya pada waktu dirinya sedang dalam keadaan junub, memotong kuku, atau mencabut bulu alis sewaktu dirinya sedang dalam kondisi junub. Riwayat ini adalah merupakan hadits maudlu’. Ibnu ‘Asākir menyebutkannya di dalam kitab “Tarikh Damaskus” melalui jalur riwayat Abi al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Ballāgh, seorang imam masjid jami’ Damaskus.
Adapun jalur periwayatannya sebagai berikut: telah bercerita pada kami Abu Bakar Muhammad bin ‘Ali al-Marāghi, telah bercerita pada kami Abu Ya’la Ahmad bin ‘Ali al-Mutsanna at-Tamimiy al-Maushiliy, telah bercerita pada kami Abdul A’la bin Hammad an-Nursiy, telah bercerita pada kami Hammad bin Salamah dari Tsābit dari Anas bin Malik.
Dan Anas bin malik berkata:“Nabi صلى الله عليه وسلم masuk ke rumahku di hari Jum’at, pada saat diriku sedang menuangkan air ke sekujur tubuh (mandi). Beliau bertanya padaku:“wahai Anas..! engkau sedang mandi jum’at ataukah mandi jinabat?”, dan aku pun menjawab pertanyaan itu:“mandi jinabat (wahai Nabi)”. Nabi صلى الله عليه وسلم berkata:“wahai Anas...! waspadalah terhadap الحنيك, الفنيك, الضاغطين, المسين,المنسبين, أصول البراجم dan waspadai pula pangkal-pangkal rambut kepala, serta dua belas lubang. Tujuh di antaranya terdapat di wajah dan kepalamu, yang dua berikutnya berada di bagian bawah tubuhmu, dan tiga (sisanya) berada di bagian dada dan pusarmu (udel, jw). Demi Dzat yang mengutusku dengan hak sebagai seorang Nabi...! andaikan engkau mandi dengan menggunakan airnya empat sungai yang terdapat di bumi, yakni Saihān, Jaihān, Nīl, serta Furat, dan dirimu belum membersihkan (baca: mengabaikan) bagian-bagian tersebut, niscaya kelak dirimu di hari kiamat akan menghadap Allah dalam keadaan junub”. Anas berkata:“wahai Rosulullah...! apa yang dimaksud dengan الحنيك, الفنيك, الضاغطين, المسين, المنسبين, أصول البراجم...?”
Lalu Rosulullah صلى الله عليه وسلم memberi isyarah dengan tangannya, maksudnya “kemarilah”. Dan aku pun menghampiri Nabi, beliau lantas memegang tanganku dan mempersilahkanku agar duduk di depannya, seraya berkata padaku:“yang dikehendaki dengan الحنيك adalah dagu bagian atas, adapun الفنيك adalah rahang bagian bawah, lalu الضاغطين yakni المسين keduanya adalah pangkal-pangkal paha, dan المنسبين adalah bagian-bagian telinga yang membentang, adapun أصول البراجم adalah pangkal-pangkal dari kuku jari-jemari. Demi Dzat yang mengutusku dengan hak sebagai seorang Nabi...! sungguh satu helai rambut, kelak (di hari kiamat, pen-) akan datang bagaikan onta yang di ikat, sehingga menghadap pada Allah ‘Azza Wa Jalla seraya melapor:“wahai Tuhanku ... wahai Tuanku....! tolong ambilkan (balaskan, pen-) hak bagiku dari orang ini” ........ bermula dari sini lah Nabi صلى الله عليه وسلم melarang seseorang bila mencukur rambut kepalanya pada waktu dirinya sedang dalam keadaan junub, memotong kuku, atau mencabut bulu alis sewaktu dirinya sedang dalam kondisi junub.[40]
Hadits tersebut disebutkan oleh Ibnu ‘Asākir bersamaan dengan biografinya ‘Ali bin Muhammad bin al-Qasim bin Ballāgh Abi al-Hasan yang bertugas sebagai imam masjid jami’ Damaskus. Dan Ibnu ‘Asākir belum sempat mengkonfirmasikan prihal cacat (jarh) atau keadilan (ta’dīl) dari Abi al-Hasan, sang perawi hadits.
Usai menyebutkan hadits di atas, Ibnu ‘Asākir lantas berkata:“ini adalah hadits munkar, aku sama sekali belum pernah mencatatnya. Sepanjang aku mendengar (mengkaji maksudnya, pen-) kitab ‘Musnad Abi Ya’la’ dari jalur riwayatnya Ibnu Hamdan serta jalur riwayatnya Ibnu al-Muqri’, sama sekali tidak aku jumpai hadits ini dalam kitab tersebut. Para perawinya―terhitung―dari Abi Ya’la sampai Rosulullah terdiri dari para perawi yang sudah dikenal dan dapat dipercaya. Aku tidak mengetahui (mengenai kelemahan yang muncul), entah timbulnya itu dari al-Marāghi ataukah dari Ibnu Ballāgh? Dugaan kuat mengenai kelemahan yang ada, mengarah pada sosok al-Marāghi”.
Aku (al-Albāniy) berkata:“sungguh brilian (pintar sekali; cemerlang; hebat) Imam as-Suyuthiy dengan mencantumkan hadits ini dalam kitab “Zail al-Ahādīts al-Maudlu’ah” hal: 100. Dan langkah beliau ini diikuti oleh Ibnu ‘Irāq dalam kitabnya “Tanzih as-Syari’at”. Beliau berdua sama-sama mengutip pernyataan Ibnu ‘Asākir di atas, dan menjadikannya sebagai pedoman. Tanda-tanda pemalsuan pun benar-benar kelihatan dalam hadits tersebut. Di dalamnya terdapat pula beberapa lafadz yang aneh dan rendah kandungan maknanya, wa-Allahu a’lam. Dan yang benar-benar mengherankan lagi adalah, bahwasannya ad-Zhahabi dan (Ibnu Hajar) al-‘Asqalāniy beliau berdua sama sekali tidak menyinggung al-Marāghi dan haditsnya itu, apalagi menyinggung-nyinggung Ibnu Ballāgh di dalam kitab “al-Mizān” dan “al-Lisān”.....! ”. [41]
Di dalam syari’at, tidak dijumpai adanya dalil yang menunjukkan kemakruhan mencukur rambut serta memotong kuku bagi orang junub. Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya justru mencantumkan bab dengan judul “Bab orang junub, boleh keluar rumah, berjalan menuju pasar dll.” seraya mengutip pernyataan dari Imam Atho’ yang mengatakan:“orang junub boleh berbekam, memotong kuku, dan mencukur rambut kepala meskipun belum berwudlu”. Riwayat dari pernyataan Imam Atho’ ini oleh Syekh Abdurrazzāq disampaikan dalam kitabMushonnaf-nya dengan rangkaian yang tidak terputus (mauwshul), serta dengan sanad yang menurut beliau sahih.
Imam Bukhori meriwayatkan haditsnya Abu Hurairah yang berbunyi:
أنَّ النَّبي صلى الله عليه وسلم لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيْقِ المَدِيْنَةِ وَهُوَ جُنُبٌ، [فَأَخَذَ بِيَدِيْ، فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ]، فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ (وَفِي رِوَايَةٍ : فَانْسَلَلْتُ)، فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ جَاءَ (وَفِي رِوَايَةٍ : ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ)، فَقَالَ :” أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ!؟ “ قَالَ: كُنْتُ جُنُباً؛ فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسُكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ ! فَقَالَ : ”سُبْحَانَ الله [يَا أَبَا هُرَيْرَةَ!]، إِنَّ المُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ“ ( رواه البخاري عن أبي هريرة ورواه مسلم وغيره)
“Sesungguhnya baginda Nabi صلى الله عليه وسلم sempat bertemu dengan Abu Hurairah di sebuah jalan dari jalur yang menuju kota Madinah, padahal Abu Hurairah sedang dalam kondisi junub. Beliau lalu memegang tanganku, dan aku pun berjalan bersama Nabi hingga akhirnya beliau duduk. Lantas dengan sembunyi-sembunyi Abu Hurairah meninggalkan beliau, untuk mandi terlebih dulu. Kemudian dirinya kembali lagi, sewaktu beliau dalam posisi duduk. Nabi lantas berkata:“kemana saja engkau wahai Abu Hurairah?”. Abu Hurairah menjawab:“Aku sedang dalam kondisi junub, Aku enggan bila duduk bersama paduka sedang kondisiku tidak suci”. Nabi berkata:“Maha Suci Allah (subhanallah). Wahai Abu Hurairah...! sesungguhnya orang yang beriman itu tidaklah najis”. (HR. Bukhari dari haditsnya Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh Muslim dll.)[43] [ ]
KESIMPULAN-KESIMPULAN
Setelah memaparkan beragam pandangan di atas, ada baiknya bila kita membuat kesimpulan sebagai puncak kajian ini:
Setelah menelusuri beberapa refrensi utama kitab-kitab Syafi’iyyah sebagaimana yang telah penulis kelompokkan di atas—walaupun sebenarnya masih banyak kitab-kitab Syafi’iyyah yang belum penulis telaah[44]—penulis belum memukan satu pun pendapat yang menghukumi haram pemotongan kuku atau mencukur rambut di saat seseorang dalam kondisi hadats besar.
Redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi وَلا يَنْبَغِي yakni, sighot yang dalam penggunaannya memiliki dua kemungkinan arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal melihat indikasi (qorinah) yang ada, sejauh pengamatan penulis dari refrensi-refrensi yang kami sebutkan sebelumnya, belum penulis temukan tafsiran sighot tersebut yang diartikan haram.
Dalam kitab Nihayah az-Zain, Fathu al-‘Allam dan Busyro al-Karim redaksi yang ada justru menjelaskan bahwa pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar) hukumnya adalah sunnah. Dengan demikian, bila hal itu tetap dilakukan tentunya tidak sampai pada tataran hukum haram. Lebih terang lagi redaksi yang dipakai oleh kitab as-Syarqawi, redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi لا يَنْبَغِي diartikan dengan يُسَنُّ ... disunnahkan ..., atau sebagaimana redaksinya kitab Busyro al-Karīm نُدِبَ yang artinya juga ... disunnahkan. Ketegasan pernyataan sunnah agar supaya tidak mencukur rambut dan memotong kuku sebelum mandi wajib, juga kami temukan di dalam kitab “al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah”, pada saat memaparkan pendapat ulama Syafi’iyyah tentang kesunahan-kesunahan mandi.[45]
Dari data-data yang kami kumpulkan, sebagaimana yang telah kami paparkan di atas, belum kami temukan keterangan yang menyatakan keharaman pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar). Sebaliknya, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang menjelaskan hukum makruh―sebagaimana dalam pandangan ulama madzhab Hanafi―atau boleh(mubah) secara mutlak―sebagaimana pandangan ulama madzhab Hambali dan fatwa-fatwa ulama kontemporer―dengan memandang hukum asalnya. Atau redaksi-redaksi yang menyatakan ke-sunahan untuk tidak melakukan pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar), sebagaimana kami temukan dalam kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 79), Fathu al-‘Allām(juz: 01, hal: 339), Busyro al-Karīm (juz: 01, hal: 39), dan Nihāyah az-Zain (hal: 31). Data-data yang kami suguhkan dari selain madzhab Syafi’i memang harus kami akui bila tidak seberapa. Dengan begitu, kesimpulan yang kami ambil tentunya masih membuka pintu dan ruang lebar adanya diskusi berkelanjutan ke depan.
Walaupun kesimpulan kajian kita ini tidak sampai menyatakan keharaman dari tindakan tersebut, adalah bijaksana bila kita mengambil sikap kehati-kehatian dalam hal ini. Dalam arti mencukur rambut, atau memotong kuku atau yang semisalnya, selagi masih dimungkinkan untuk dilakukan sehabis mandi besar adalah lebih baik untuk ditunda terlebih dulu. Lain halnya menyisir rambut yang kusam, tentu untuk yang satu ini tanpa harus menunggu sehabis mandi besar.
Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya memang tidak sedikit yang menyangsikannya atau mengkritiknya. Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah kontemporer pernyataan semacam itu rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai dengan dalil pijakan yang menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak sumber-sumber hadits yang menjelaskannya, yang ada justru hadits-hadits yang dlo’if atau bahkan dinilai maudlu’. Kendatipun demikian, kita tidak dibenarkan bersikap tidak sopan pada sosok ulama seperti beliau Imam al-Ghazali, dengan mencemooh atau sikap-sikap kurang ajar lainnya. Sebab sikap buruk ini di samping kontrproduktif dan tidak ilmiyah di satu sisi, juga merupakan prilaku yang tidak selaras dengan budi pekerti mulia (akhlak karimah) di sisi yang lain.
Sikap bijaksana benar-benar telah dicontohkan oleh para pendahulu yang terdiri dari para generasi ulama setelah Imam al-Ghazali. Mereka mengutip dengan tanpa merendahkan atau menghina beliau sama sekali. Bila berbeda redaksi, mengkritik atau yang lainnya, itu pun disampaikan dengan bahasa atau tutur kata yang baik dan sopan. Beliau-beliau memang merupakan para ulama yang memberi contoh suri tauladan yang baik dan bijaksana. Menyampaikan ilmu dengan penuh amanah, pantaslah bila dijadikan sebagai contoh teladan bagi para generasi setelahnya. Dalam hal ini, Ibnu Malik pujangga Nahwu yang masyhur itu, mengingatkan lewat lantunan bait-bait Alfiyah-nya:
وَهْوَ بِسَــبْقٍ حَائِزٌ تَفْضــِيْلَا # مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الجَمِـــيْلَا
“Dia (guruku), atas faktor senioritasnya berhak mendapatkan penghormatan agung dan pujian yang indah.”
مَا كَانَ أَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّم
“Alangkah agungnya ilmu-ilmu ulama terdahulu.”
EPILOG (penutup)
Sering kali penulis disodori pertanyaan―boleh dikata seperti itu―di saat menjalankan tugas jaga belajar atau musyawarah yang datangnya dari para mbak-mbak santriwati, maklum memang karena sudah menjadi tugas penulis untuk berbagi pengetahuan agama dengan mereka. Kalau hanya sekedar menerima pertanyaan lantas memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan, mungkin sudah biasa. Namun, ada sebuah pertanyaan yang memang teramat berkesan bagi kami, oleh karena seringnya mereka pertanyakan, berulang-ulang dan berkali-kali. Orang yang menanyakannya pun tidak hanya satu atau dua orang saja, akan tetapi kebanyakan dari mereka kurang-lebih juga mengalami hal yang sama, yakni sama-sama risau, was-was dan sebagainya, dalam menghadapi persoalan yang satu ini.
Dan persoalan yang membikin risau dan was-was tersebut adalah mengenai tingkatan hukum dari pemotongan kuku dan rambut atau hanya sekedar menyisir rambut yang dapat berimbas rontoknya beberapa helai rambut pada saat mereka tengah mengalami hadats besar terutama saat menstruasi (haid), bolehkah, haram atau makruhkah hukumnya? Berawal dari kenyataan yang menyentuh rasa empati ini, kami bertekad bulat untuk mengkaji persoalan yang membikin risau mereka itu. Waktu terus bergulir dan berjalan, dan hari senantiasa berganti hari, pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang dalam lubuk sanubari, tidak mudah untuk dilupakan. Dengan bermodalkan niat suci tersebut, data demi data kami kumpulkan dan kami rangkai agar supaya dapat menjadi tulisan yang layak dikonsumsi. Hingga akhirnya, rasa syukur teriring ungkapan al-hamdulillah meluncur sebagai tanda kegembiraan. Demikian kurang lebih ungkapan hati kecil kami yang mengiringi catatan akhir dari kajian ini.
Hubungan timbal-balik antara penulis di satu sisi dan mbak-mbak santriwati di sisi yang lain, sebagaimana terdeskripsikan di atas, benar-benar mengingatkan kami pada pesan bijak yang dituturkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya. Beliau menceritakan, bahwa Nabi Isa As pernah bersabda:“barang siapa memiliki ilmu, mengamalkan serta mengajarkannya, maka dirinya dipanggil sebagai orang yang agung di kerajaan langit”. Proses belajar pun belumlah lengkap tanpa kehadiran seorang murid (pelajar). Jadi, kehadiran seorang murid merupakan sarana untuk memperoleh derajat kesempurnaan itu, tentunya bila sang guru mencintainya, karena seorang murid merupakan sarana baginya. Hati sang murid ia jadikan bagaikan ladang bagi tanamannya (ilmunya), yang menyebabkan dirinya nanti bisa memperoleh derajat keagungan di kerajaan langit. Dengan kecintaan seperti itu, seorang guru juga temasuk pecinta karena Allah.[46] Intinya, masing-masing dari guru dan murid adalah patner yang dinamis dan bersimbiosis mutualisme. Dan tentunya bila masing-masing mengerti akan peran, hak dan tanggungjawab mereka.
Selanjutnya, pesan bijak tersebut menjadi inspirasi sekaligus prinsip tersendiri bagi kami dalam menjalankan tugas sebagai seorang pengemban amanah untuk menyampaikan materi pelajaran kepada para santriwati. Dengan demikian, semoga penulis termasuk dari golongan orang-orang yang bermanfaat bagi sesamanya, amien. Tidakkah sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesamanya? Dan jika dunia adalah merupakan ladang amal, lahan mencari bekal untuk menyongsong kehidupan akhirat, maka mudah-mudahan usaha yang kami lakukan melalui tulisan ini dapat menjadi semacam pencerahan bagi diri kami sendiri dan bagi orang-orang yang membutuhkannya, sekaligus amal baik yang penuh berkah dan manfaat yang diridloi oleh Allah ‘Azza Wa Jalla , amien.
Nampaknya, persoalan yang dirisaukan oleh mbak-mbak santriwati di atas memang penting untuk ditelaah dengan teliti dan seksama. Dalam mensikapinya, jangan hanya bermodalkan pada kata-kata si fulan ... dan si fulan. Harus ada data-data akurat yang menjadi pijakan dan pedoman. Sebab, persoalan ini berkaitan erat dengan sikap kita dalam menjalankan ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari. Memang, keberagamaan yang kita jalani harus benar-benar selaras dan sejalan dengan kaidah-kaidah agama yang benar.Dalam hal ini, kita diingatkan oleh petuah-petuah bijak yang disampaikan oleh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubadnya:
فَعَالِمٌ بعِلْمه لَمْ يَعْـمَلنْ # مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ عُبَّادِ الْوَثَنْ
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ # اَعْـمَالُهُ مَرْدُودَةٌ لاَتُقْبَلُ
“Orang yang berilmu (‘alim) tapi tidak mau mengamalkan ilmunya, kelak akan disiksa sebelum para penyembah berhala (paganis). Setiap orang yang menjalankan ibadah dengan tanpa didasari ilmu, maka amal ibadahnya tersebut tidak diterima oleh Allah.”
Terakhir kali, harapan kami semoga setitik dari jerih payah ini, mengandung banyak berkah dan manfaat serta menjadi amal sholih yang diridloi dan diterima di sisi Allah ‘Azza Wa Jalla , amin.
ولَاتَكْتُبْ بِخَطِّكَ غَيْرَشَيْءٍ # يَسُرُّكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَنْ تَرَاهُ
“Janganlah engkau menulis sesuatu, kecuali tulisan-tulisan yang kelak di hari kiamat dapat menjadikan kegembiran bagimu bila engkau menyaksikannya.”
Dan bila terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini, dengan segenap kerendahan hati kami memohon maaf yang tulus dan sebesar-besarnya. Saran dan kritikan yang konstruktif senantiasa kami nantikan, demi untuk kebaikan yang kita harapkan bersama. والله اعلم بالصواب
[1]. Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Juz:02, hal:51. Dār al-Fikr.
[2]. Beliau adalah Syihābbuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Salāmah al-Qolyubi as-Syafi’i. Dilahirkan di desa Qolyūb yang terletak di sebelah timur kota Mesir. Seorang ulama besar, ‘ālim dan menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan (multi disiplin). Meninggal pada tahun 1069 H. (riwayat lain meyebutkan pada tahun 1070 H). Karya-karya ilmiah beliau di antaranya adalah: Tuhfah ar-Rāghib, Tazdkiroh al-Qolyubi, al-Jāmi’ fi at-Thib, Hasiyah ‘ala Syarh al-Ajrumiyyah, Hasiyah ‘ala Syarh Īsaghuji, Hasiyah ‘ala Syarh at-Tahrir, al-Fawāid at-Thibbiyyah, Fawāid al-Lathifah wa Farāid Nafīsah, kitab Mi’rāj, Majmū’ al-Muhibbīn, Mashōbih as-Sunnah, Manāsik al-Hajj, an-Nubdzah al-Lathīfah, Hidāyah min adz-Dhalālah, Hasiyah al-Qolyubi, dll.
[3]. al-Hawasyi al-Madaniyyah. Juz: 01, hal: 163.
[4]. Tarsyeh al-Mustafīdīn. Hal: 34.
[5]. Dalam pandangan kami, keberadaan dari refrensi-refrensi ilmiyyah warisan para ulama yang mereka tuturkan dengan bahasa Arab, harus diakui dengan penuh kejujuran dan kearifan, bahwa realitas seperti ini merupakan problem tersendiri bagi masyarakat yang tidak menguasai linguistik Arab tersebut, sebagaimana kebanyakan dari kaum muslim di Indonesia. Maka dari itu, usaha-usaha penerjemahan atau alih bahasa terhadap kitab-kitab turots warisan ilmiyyah para ulama terdahulu dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat awam, dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan dengan kata lain aktualisasi kitabsalaf―sebagai langkah awal untuk memahami syari'at Nabi Muhammad, supaya mata rantainya tidak terputus begitu saja―perlu sekali untuk mendapatkan apresiasi tinggi dan istimewa. Jadi, antara penyampaian materi dengan metode tarjamah ataupun yang berbahasa Arab adalah memiliki esensi sama, yakni sama-sama bertujuan berdakwah menyebarluaskan syari'at Nabi Muhammad, tentunya sarana penunjang tujuan tersebut sudah semestinya agar disesuaikan dengan tuntutan kondisi objek dakwah yang menjadi sasaran. Dalam kaidah fiqih disebutkan li al-wasāil hukmu al-maqāsid. Kendatipun harus diakui, bahasa tarjamah memang memiliki keterbatasan kata dalam transliterasi bahasa. Boleh dikata bila tidak sedikit dijumpai kosakata dari bahasa asal yang belum bisa diwakili secara komprehensip oleh bahasa tarjamah. Oleh karena sebab bahasa adalah budaya, dan antara satu budaya dengan budaya yang lain memiliki karakteristik yang tidak sama. Lain ladang lain belalang, demikian sebuah pribahasa menuturkan.
Dan dengan cara pandang metode dakwah di atas, dapat kita tarik benang merah sebuah kesinambungan yang saling kait mengkait antara inovasi modern dengan literatur-literatur klasik warisan ulama' salaf.
فَتَشَبَّهُوْا إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ # إِنَّ التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ فَلَاحٌ
“Bila kamu tidak bisa menyamai prestasi generasi ulama terdahulu,(setidak-tidaknya) teladanilah kreatifitas mereka. Adalah suatu keberuntungan bila menteladani generasi ulama terdahulu.”
[6]. Taqrīrāt as-Sadīdah. Hal: 172.
Sebagian ulama membagi hadats menjadi tiga bagian. Yaitu; pertama hadats asghar: yaitu setiap hadats yang mengharuskan wudlu’. Hadats ini bersemayam pada anggota wudlu yang berjumlah empat yaitu wajah, kedua lengan tangan, rambut kepala, dan kedua kaki. Kedua hadats mutawassith: hadats sebab melahirkan (wiladah), dan hadats junub, baik dengan proses keluarnya air mani ataupun bersetubuh. Ketiga hadats akbar: yaitu hadats sebab haidl dan nifas. Untuk hadats yang kedua dan ketiga, kedua kategori hadats ini sama-sama bersemayam pada seluruh anggota tubuh. Dan sebagian ulama yang lain membagi hadats menjadi empat macam kategori. Pertama hadats asghar, hadats yang timbul sebab berakhirnya masa mengusap sepatu (al-khuf). Kedua hadats soghīr, yaitu hadats yang disebabkan oleh perkara-perkara yang membatalkan wudlu’. Ketiga hadats kabīr, yaitu hadats yang ditimbulkan oleh jinabat. Dan keempat hadats akbar, yaitu hadats yang disebabkan oleh haidl dan nifas. [Fathu al-‘Allām. Juz: 01, hal: 354, dan Taqrīrāt as-Sadīdah. Hal: 172]
[7]. Hāsiyah as-Syarqāwi. Juz: 01, hal: 63.
[8]. Tahrir Tanqīh al-Lubāb hamisy Hāsiyah as-Syarqāwi. Juz: 01, hal: 63 - 64.
[9]. Ibid.
[10]. al-Majmū’. Juz: 02, hal: 155, dan al- Muktamad fi al-Fiqh as-Syafi’i. Juz: 01, hal: 130.
[11]. Kassāf Istilāhāt al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah. hal: 8.
[12]. Sab’ah Kutub Mufīdah. hal: 54 dan al-Futūhāt ar-Rabbāniyyah. hal: 80
[13]. al-Fatāwi al-Hadītsiyyah. hal: 100 dan Kassāf Istilāhāt al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah. hal: 29.
[14]. Sab’ah Kutub Mufīdah. hal: 54 dan al-Futūhāt ar-Rabbāniyyah. hal: 80
[15]. Kassāf Istilāhāt al-Fiqh li Fuqahāina as-Syāfi‘iyyah. hal: 29.
[16]. Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Juz:02, hal:51. Dār al-Fikr.
[17]. Mūhibah Dzi al-Fadl. Juz: 01, hal: 446.
[18]. Hāsiyah al-Bujairami ‘ala al-Khotīb. Juz: 02, hal: 335.
[19]. Fathu al-‘Allām. Juz: 01, hal: 339 dan Hāsiyah al-Bujairami ‘ala al-Khotīb. Juz: 02, hal: 335.
[20]. Mūhibah Dzi al-Fadl. Juz: 01, hal: 446 dan Fathu al-‘Allām. Juz: 01, hal: 339
[21]. Hāsiyah al-Qolyubi. Juz: 01, hal: 78
[22]. Nihāyah al-Muhtāj. Juz: 02, hal: 241, Mūhibah Dzi al-Fadl. Juz: 01, hal: 446, dan Tuhfah al-Muhtāj. Juz: 01, hal: 284-285.
[23] . Fatāwi al-Azhar. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[24]. Bagi kelompok yang melarang pemotongan atau penghilangan sebagian anggota tubuh yang masih dalam status menanggung hadats besar, tentunya perbuatan tersebut merupakan sebuah tindakan keliru, salah atau dosa. Jika demikian, langkah untuk menutupi kesahan atau dosa tersebut tentunya dengan bertaubat bukan malah dengan memandikan kumpulan-kumpulan rambut yang sudah terputus itu.
[25]. Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Ashfiyā’. hal: 15.
[26]. Nadzam Hidāyah al-Adzkiyā’ dalam kitab Kifāyah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Ashfiyā’. hal: 15.
[27]. Risalah yang berisikan hasil diskusi para santri Indonesia yang bermukim di Makkah. Adapun nama-nama santri tersebut adalah: Zubair bin Umar asal Bojonegoro, Dahlan bin Kholil asal Jombang, ‘Alawi bin Abdullah asal Demak, Muslih Afandi bin Dahlan asal Kudus, Abu Suja’ bin Munawwir asal Kediri, Musthofa bin Nur Salim asal Rembang, Masykuri asal Lasem, Muhammad bin Yusuf asal Surabaya, dan Sulaiman Kurdi asal Bojonegoro.
[28]. Tsamroh ar-Raudhah as-Syahiyyah. hal: 8 – 9.
[29]. Fiqh al-‘Ibādah Madzhab Hanāfi. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[30]. al-Fqh al-Islāmi. Juz: 01, hal: 383.
[31]. Fiqh as-Sunnah. Juz: 01, hal: 57.
[32]. Fathu al-Bāri. Karya Ibnu Hajar al-Haitamiy. Juz: 01, hal: 507.
[33]. Fatāwi Dār al-Ifta’ al-Misriyyah dan Fatāwi al-Azhar. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[34]. Orang kafir sebelum masuk Islam tentu tidak terlepas dari hal-hal yang menyebabkan dirinya wajib mandi besar, semisal mimpi basah (ihtilam), bersetubuh dll. Meskipun demikian, dalam kasus di atas, Nabi tidak mengharuskan dirinya untuk mandi besar terlebih dulu sewaktu masuk Islam. Justru beliau memerintahkannya untuk mencukur rambut kepala dan berkhitan. Mestinya kalau anggota tubuhnya dalam kondisi hadats besar, mencukur rambut kepala dan berkhitan tidaklah dibenarkan, demikian ini bila kita berpijak pada pendapat yang melarang pemotongan rambut, kuku dll sebelum mandi besar. Akan tetapi sikap Nabi kepada orang kafir tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan pendapat yang menyatakan larangan pemotongan rambut, kuku dll sebelum mandi besar.
Mandi bagi orang kafir yang masuk Islam dalam madzhab Syafi’i
Mandi bagi orang kafir yang masuk Islam dibagi dalam tiga perincian:
Sunnah.
Orang kafir yang masuk Islam disunnahkan mandi baginya. Yang demikian ini kalau memang selama dalam kondisi kekafirannya, dirinya sama sekali tidak bersinggungan dengan perkara yang mewajibkan mandi, semisal mimpi basah (ihtilam), bersetubuh dll. Hukum sunnah ini sesuai dengan riwayatnya Qais bin ‘Āshim Radliyallahu ‘anhu: “bahwa pada saat ia masuk Islam, Nabi memerintahkannya untuk mandi.”[HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad]. Mandi ini memang tidak diwajibkan, sebab―selain Qais bin ‘Āshim―banyak sekali orang kafir yang masuk Islam tetapi baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak memerintahkan mereka untuk mandi. Dan ketentuan hukum sunnah melakukan mandi bagi orang yang baru masuk Islam tersebut berlaku sama, baik bagi orang kafir yang asli, murtad, kafir harbi, ataupun kafir dzimmi. Di samping itu, memeluk Islam adalah sama halnya meninggalkan kemaksiyatan. Jadi, bila tidak diwajibkan untuk mandi sewaktu masuk Islan oleh karena memang statusnya adalah sama dengan bertaubat dari kemaksiyatan-kemaksiyatan lainnya, yang pada saat bertaubat tidak diwajibkan untuk mandi.
Wajib.
Bila orang kafir yang masuk Islam itu terkena tuntutan untuk mandi besar pada saat masih kafir, sebab dirinya sempat bersinggungan dengan perkara yang mewajibkan mandi dan belum sempat mandi karenanya, Kondisi seperti ini mewajibkan baginya untuk mandi pada saat masuk Islam.
Wajib untuk mengulangi lagi
Dan jika orang kafir yang masuk Islam tersebut terkena tuntutan untuk mandi besar pada saat masih kafir, sebab dirinya sempat bersinggungan dengan perkara yang mewajibkan mandi, dan karena tuntutan ini ia telah mandi sewaktu masih dalam kondisi kafir, maka wajib baginya untuk mengulangi lagi mandi tersebut ketika masuk Islam. Sebab mandi adalah ibadah yang murni (mahdhah) sebagaimana shalat, dan puasa. Dan ibadah-ibadah semacam ini tidaklah sah bila dikerjakan sewaktu dalam kondisi kafir. [al-Muktamad. Juz: 01, hal: 129-130, dan al-Majmū’. Juz: 02, hal: 152-153]
[35]. Fatāwi Dār al-Ifta’ al-Misriyyah dan Fatāwi al-Azhar. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[36]. Fatāwi as-Syabakah al-Islāmiyyah. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[37]. Fatāwi as-Syabakah al-Islāmiyyah. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[38]. Fathu al-Bāriy karya Imam Ibnu Rajab al-Hambaliy. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[39]. Ibid.
[40]. Silsilah al-Ahādīts ad-Dha’īfah wa al-Maudlū’ah wa Atsaruha fi al-Ummah. Karya Syekh Muhammad Nāsiruddīn bin al-Hāj Nuh al-Albāniy. Perpustakan shoft where (maktabah syamilah).
[41]. Ibid.
[42]. Ibid.
[43]. Ibid.
[44]. Penulis sepenuhnya sadar, bahwa refrensi-refrensi yang belum sempat ditela’ah adalah lebih banyak dari yang sudah. Dengan demikian, penulis tidak bermaksud mengklaim bahwa seluruh kitab madzhab Syafi’i kandungan isinya adalah sama dalam persoalan ini. Namun setidaknya, refrensi yang tercantum di atas adalah refrensi utama dalam madzhab Syafi’i. Sehingga dengan begitu, kesimpulan yang penulis ambil setidak-tidaknya telah mewakili pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi’i. Dan penulis ingat akan pesan petuah bijak yang mengatakan:
فَقُلْ لِمَنْ يَدَّعِى فِى اْلعِلْمِ مَعْرِفَةً # حَفِظْتَ شَيْئا وَغَابَتْ عَنْكَ اَشْيَاءُ
Kepada orang yang mengaku berpengetahuan, katakanlah kepadanya:“tidaklah seberapa pengetahuan yang engkau miliki, dan yang tidak kamu ketahui jauh lebih banyak”
[45]. al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah. Juz: 01, hal: 117.
[46] . Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien. Imam al-Ghazali. Juz:2, hal:181.
[47] . Seorang santri yang berdomisili di Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulūm Asy-Syar’iyyah (PP MUS). Karangmangu Sarang, Komplek Darul Ulum (DU) 44.