1. Jihad: Makna
bahasa.
Secara
bahasa, jihad berasal dari kata juhd (jerih payah), yang bermakna thâqah
(kemampuan) dan matsaqah (kesukaran). Dari kata juhd juga dibentuk kata
mujâhadah. Karena itu, secara bahasa jihâd/mujâhadah bermakna:
1.
Mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun
perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da.)
2.
Mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (An-Naysaburi, Tafsîr
an-Naysâbûrî, XI/126).
Di
dalam al-Quran jihad dalam makna bahasa ini terdapat, antara lain, dalam
ayat-ayat berikut:
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS al-Ankabut [29]: 69).
فَلاَ
تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Berjihadlah
terhadap mereka dengan al-Quran, dengan jihad yang besar. (QS al-Furqan [25]:
52).
Rasulullah
saw. juga bersabda:
«أَفْضَلُ
اْلجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
Jihad
yang paling utama adalah ucapan yang haq di hadapan penguasa yang lalim. (HR
at-Tirmidzi).
«الْحَجُّ
جِهَادُ كُلِّ ضَعِيفٍ»
Ibadah
haji merupakan jihad bagi mereka yang lemah. (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Aisyah
ra. pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah ada jihad
bagi para wanita?” Beliau bersabda:
«نَعَمْ,
عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ»
Ya,
yaitu jihad yang tidak ada perang di dalamnya, yakni ibadah haji dan umrah. (HR
Ibn Majah).
Rasul
saw. juga pernah bersabda:
«الْمُجَاهِدُ
مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ»
Yang
bernama mujahid adalah mereka yang memerangi dirinya. (HR at-Tirmidzi).
Nash-nash
di atas dan yang semisal, di dalamnya terdapat kata jihad dalam pengertian
bahasa (lughawi). Makna bahasa yang terdapat di dalamnya adalah mujâhadah
(perang) terhadap hawa nafsu, setan, dan kefasikan; keberanian menegur keras
para penguasa dengan cara menyerunya dan melarangnya; serta kesungguhan dalam
mengerahkan segenap kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban atau dalam
menjaga taklif-taklif (beban) syariah.
2. Jihad: Makna
syar‘i.
Adapun
dalam pengertian syar‘î (syariat), para ulama dan ahli fikih (fuqaha)
mendefinisikan jihad sebagai:
1.
Upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam berperang di jalan Allah secara
langsung, atau membantunya dengan harta, dengan (memberikan)
pendapat/pandangan, dengan banyaknya orang maupun harta benda, ataupun yang
semisalnya.
2.
Upaya mengerahkan segenap jerih payah dalam memerangi kaum kafir.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa secara syar‘i, jihad dimaknai dengan al-qitâl
(perang), yakni perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Bahkan itulah
yang disebut dengan jihad yang sebenarnya. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah, II/153).
Jihad
(Perang) dalam Nash yang Shârih (Tegas) dan Ghayr Sharih (Samar)
1. Jihad dalam nash
shârih (tegas).
Di
dalam nash al-Quran maupun as-Sunnah jihad sering ditunjukkan secara tegas
(shârih), dengan langsung menggunakan kata al-qitâl (perang). Allah SWT, antara
lain, berfirman:
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ
Perangilah
orang-orang yang tidak mengimani Allah dan Hari Akhir. (QS at-Taubah [9]: 29).
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ
Perangilah
mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata
hanya milik Allah. (QS al-Anfal [8]: 39).
Rasul
saw. juga pernah bersabda:
«مَنْ
قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ»
Siapa
saja yang berperang dengan tujuan menjadikan kalimat Allah menjadi yang paling
tinggi, maka ia berada di jalan Allah. (HR al-Bukhari).
«أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»
Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Lâ Ilâha illa
Allâh Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah). (HR al-Bukhari dan Muslim).
2. Jihad (perang)
dalam nash ghayr shârih (samar).
Jihad
dalam makna al-qitâl (perang) ini juga sering ditunjukkan dalam makna yang
samar (ghayr shârih), yang lebih banyak ditunjukkan oleh adanya indikasi
(qarînah) yang menunjukkan pada makna al-qitâl (perang) dimaksud. Allah SWT,
antara lain, berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ
أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ
Orang-orang
yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah. (QS al-Baqarah [2]: 218).
إِنَّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي
سَبِيلِ اللهِ....
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka
di jalan Allah…. (QS al-Anfal [8]: 72).
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai
Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Itulah
tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS at-Taubah [9]: 73).
Meskipun
nash-nash di atas dan yang serupa dengannya dalam bentuk yang samar, semua nash
tersebut memiliki qarînah (indikasi) yang menunjukkan pada makna jihad secara
syar‘i, yakni al-qitâl (perang). Frasa dalam ayat-ayat di atas seperti fî
sabîlillâh (di jalan Allah), jâhadû wa hâjarû (berjihad dan berhijrah),
waghluzh 'alayhim (bersikap keraslah terhadap mereka [orang-orang kafir]), bi
amwâlihim wa anfusihim (dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka), semua itu
merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa kata jihad di dalam
ayat-ayat tersebut adalah jihad secara syar‘i, yakni memerangi kaum kafir.
Demikian
pula halnya dengan sabda-sabda Rasulullah saw. Rasul saw., misalnya, bersabda:
«وَاْلجِهَادُ
مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِىَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَتِى الدَّجَّالَ»
Jihad
itu tetap berlangsung sejak aku diutus oleh Allah hingga umatku yang terakhir
membunuh dajjal. (HR Ibn Manshur al-Khurasani, Kitâb as-Sunan, II/176).
«الْجِهَادُ
مَاضٍ مَعَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ»
Jihad
itu tetap berlangsung baik bersama (pemimpin) yang salih maupun yang fajir. (HR
al-Bukhari).
Dalam
hadis di atas, frasa hingga umatku yang terakhir membunuh dajjal, misalnya,
merupakan qarînah bahwa yang dimaksud dengan jihad di sini adalah makna syar‘i,
yakni memerangi orang-orang kafir. Begitu juga frasa baik bersama (pemimpin)
yang salih maupun yang fajir; merupakan qarînah bahwa jihad dalam hadis di atas
bermakna perang, seperti pada nash sebelumnya.
Di
dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. (Lihat
Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl. I/12). Kewajiban jihad (perang)
ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya.
(Lihat, misalnya: QS an-Nisa' 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS
ash-Shaf [61]: 4). Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama
dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di
akhirat. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ [4]: 95; QS an-Nisa’ [4]: 95; QS
at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat
[49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12. Sebaliknya, Allah telah mencela dan
mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat,
misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]:
24).
Jihad Defensif dan
Jihad Ofensif
Dengan
menganalisis nash-nash al-Quran maupun as-Sunnah, jihad dalam pengertian perang
(al-qitâl) terdiri dari dua macam: (1) Jihad defensif (difâ‘i); (2) Jihad
ofensif (hujûmi).
Pertama: jihad defensif, yakni perang untuk
mempertahankan/membela diri. Jihad ini dilakukan manakala kaum Muslim atau
negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah
dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang,
juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Dalam kondisi seperti ini,
Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan
mengusirnya dari tanah kaum Muslim. (Lihat, antara lain: QS al-Baqarah 190).
Jihad
defensif ini juga dilakukan manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang
diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong
mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu,
serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap
seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum
Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum
Muslim di seluruh dunia. (Lihat, antara lain: QS al-Anfal [8]: 72).
Kedua: Jihad ofensif, yakni memulai perang. Jihad ini
dilakukan manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam (Khilafah)
dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan
pemikiran, non-fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim
berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang
ada di hadapannya. Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para
Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka
tidak pernah berhenti berjihad (berperang) dalam rangka menghilangkan
halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya
kalimat-kalimat Allah. Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh
dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai
belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad
(perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara
(Daulah Islam). Allah SWT berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ
Perangilah
mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata
hanya milik Allah. (QS al-Anfal [8]: 39).
Rasulullah
saw. juga bersabda:
«أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ»
Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena
itu, keliru jika ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa jihad di dalam
Islam adalah perang defensif (untuk mempertahankan/membela diri), bukan perang
ofensif (memulai peperangan). Pendapat tersebut keliru karena beberapa sebab
berikut:
Pertama:
dalil tentang jihad, seperti apa yang telah diuraikan, merupakan dalil yang
berbentuk umum dan mutlak, mencakup perang defensif maupun perang ofensif,
yakni memulai perang terhadap musuh. Oleh karena itu, pengkhususan dan
pembatasannya hanya sebatas perang defensif membutuhkan nash yang
men-takhsîs-nya/mengkhususkannya ataupun membatasinya. Dalam hal ini, tidak ada
nash yang mengkhususkan ataupun membatasinya, baik dalam al-Quran maupun
as-Sunnah.
Kedua:
di samping nash-nash yang telah dipaparkan sebelumnya, yang menunjukkan jihad
sebagai perang ofensif, terdapat juga nash-nash berikut yang menunjukkan makna
yang sama, terutama ayat-ayat yang ada dalam surat at-Taubah. Sebab, surat ini
termasuk surat-surat al-Quran yang terakhir turun berkaitan dengan tema jihad
sehingga tidak ada tempat lagi bagi suara-suara yang mengatakan perihal takhsîs
(pengkhususan), taqyîd (pembatasan) ataupun naskh (penghapusan)-nya. Contohnya
dapat ditemukan dalam QS at-Taubah [9]: 29; QS at-Taubah [9]: 73; QS at-Taubah
[9]: 123.
Ayat-ayat
ini datang dengan seruan perang dalam bentuk yang umum dan mutlak. Artinya, ia
mencakup perang defensif maupun perang ofensif. Karena ayat-ayat ini turun
paling akhir, jelas ia tidak bisa di-takhshîsh, di-taqyîd, ataupun di-naskh
oleh ayat-ayat mengenai jihad defensif—sebagaimana yang disebutkan di atas—yang
turun lebih awal. (Lihat: Muhammad As-Suwayki, Al-Khalâsh wa Ikhtilâf an-Nâs,
hlm. 200).
Dengan
penjelasan di atas, jelaslah bahwa jihad dalam Islam tidak sekadar bersifat
defensif, tetapi juga ofensif. Bahkan dengan jihad ofensiflah Islam dapat
tersebar luas ke seluruh dunia; mulai dari jazirah Arab, Timur Tengah, Afrika
Utara, Asia Tengah, hingga bahkan ke Eropa; dari mulai perbatasan Cina di Timur
hingga Andalusia di Barat; serta dari Laut Arab di Selatan hingga Kaukasus di
Utara.
Terorisme Bukan Jihad
Dari
penjelasan mengenai adab berjihad di atas, jelas sekali bahwa tindakan
terorisme (seperti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri
bukan dalam wilayah perang, seperti di Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi
sabilillah. Alasannya: (1) Tindakan tersebut dilakukan bukan dalam wilayah
perang; (2) Tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya
tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar (QS al-Isra'
[17]: 33; QS. an-Nisa’ [4]: 93; QS an-Nisa' [4]: 29). Wallâhu a‘lam bi
ash-shawâb. [Arief B. Iskandar]
-Fairuz
Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da. Lihat juga: an-Nawawi, Al-Majmû‘ fî
Syarh al-Madzhab; Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri;
Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr; Ash-Shan‘ani, Subul as-Salâm.
-Ar-Razi,
Mafâtih al-Ghayb.
-Ibn
Abidin, Radd al-Mukhtâr, III/336
-Lihat: Ibn Hajar al-Ashqalani,
Fath al-Bari Syarh Shahîh al-Bukhâri; Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr; As-Zarqani,
Syarh az-Zarqani.
2 Tanggapan:
sungguh sangat bermanfaatnya artikel ini, mengingatkan kembali arti jihad yang dewasa ini orang islam banyak yg salah faham, atw difahami tapi salah....
sudah seharusnya sesama muslim saling mengingatkan,,,,
terima kasih!!!
Posting Komentar
Mohon Di Isi