Biografi Syech Abdul Qodir Al-Jailani



Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.

Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.

NASAB
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a., puteri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin sekaligus Huseiniyin.

MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.

Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama’ besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur’an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.

Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.

Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: “Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.

Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.

Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.

BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).

Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.

Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.

LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.

Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur’an dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.

DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.

Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.

Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: “Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku.”

Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.

Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.” “Enyahlah!, bentak sang wali.” Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu”.

Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: “Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram.” Sang Syaikh berucap: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: “Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku.”

Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.

Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.

Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.

PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.

Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.

Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.

Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ” Akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu.”

Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan, menamainya Muhyiddin, ‘pembangkit keimanan’, gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.

KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.

Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.

KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.

Pengaruh dan Karya

Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.

Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:

1.Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.

2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.

Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”

Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:

“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.”

Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.

Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.

Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.

Ibnu Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. “
Al-Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”

Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.

Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:

“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”

Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at, dan Ridho allah swt, syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga dan anak turun kita semua Dunia – Akhirat. Amien
Diambil dari berbagai sumber

*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.

(Dari berbagai sumber)

FILSAFAT



A.      DEFINISI FILSAFAT
Kata flasafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa arab فلسة, yang diambil juga dari bahasa Yunani ; Philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia ; persahabatan, cinta dan sebagainya) dan (Sophia ; kebijaksanaan). Sehingga arti harfiahnya adalah seorang ”pecinta kebijaksanaan” atau ”ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut ”filusuf”.
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problema falsafi. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa ”falsafah” itu kira-kira merupakan studi daripada arti dan berlakunya kepercayaan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal. Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dari percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

B.      SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT
Pada saat manusia berpikir tentang keadaan alam, dunia, manusia dan lingkungannya, manusia pada saat itu ingin mengetahui lebih jauh tentang masalah-masalah yang rumit itu sehingga mereka sering berpikir dan berdiskusi tentang masalah tersebut, mereka tidak ingin cuma bergantung pada agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benak mereka tapi mereka ingin menjawabnya sendiri tanpa menggunakan ajaran agama, maka muncullah filsafat, yaitu pada abad ke 7 SM. Tepatnnya di Yunani, dengan inilah mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan tidak bergantung pada ajaran agama.
Yang jadi pertanyaan kebanyakan orang adalah kenapa filsafat munculnya di Yunani dan tidak pernah didaerah lain seperti Babilonia, yudea (Israel) atau Mesir, itu karena di Yunani tidak seperti daerah-daerah lainnya seperti tentang kasta pendeta, di Yunani tidak mengenal itu, maka dari itu secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani yang bisa diberi gelar filusuf ialah Thales dan Mileta, sekarang dipesisir barat Turki. Tetapi filusuf-filusuf Yunani yang terbesar tentu saja : Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Buku karangan Plato yang terkenal adalah berjudul etika, republik, apologi, phaedo dan krito.

C.      KLASIFIKASI FILSAFAT
Pada dewasa ini filsafat dibagi menjadi : ”Filsafat Barat”,”Filsafat Timur” Dan Filsafat ”Filsafat Timur Tengah”.
1.       Filsafat Barat
Filsafat barat ialah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Dan tokoh-tokohya adalah : Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descrates, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche Dan Jean Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu, yaitu :
1)       Metafisika
Mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa dan mengindera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu yang merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu :
a)       Materialisme
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
b)       Idealisme (Spiritualisme)
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
c)       Dualisme
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari 2 sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
d)      Agnotisisme
Aliran ini merupakan pendapat para filusuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.
2)       Epistomologi.
Mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harfiah berarti ”pengetahuan”). Epistomologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber serta kebenaran suatu pengetahuan.
Objek telaah epistomologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang suatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaiman cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemic tentang keputusan moral dan teori moral.
Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu :
a)       Empirisme
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
b)       Rasionalisme
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode diduktif.
c)       Positivisme
Merupakan sistesis dan empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara ohjektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
d)      Intuisionisme
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami dan kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
3)       Aksiologi
Membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah 2 cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia : Etika dan Estetika
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ada kaitannya dengan kategori : (1) baik dan buruk ; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama dibawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedangkan kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika
a)       Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedangkan objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul 2 teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a.        Deontologis
Teori deontologis diilhami oleh pemikiran Imanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
b.        Teologis
Teori teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan 2 pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilitisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh John Stuart Mill (1806 – 1973).
b)       Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aesthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat diserap dengan indera atau serapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indah atau tidak indah.
Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang etika.
4)       Etika
Etika atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas disini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hatinya dan sebagainya.
5)       Estetika
Membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
2.       Filsafat Timur
Filsafat timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khsusunya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budanyanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di abad pertengahan, tetapi didunia barat filsafah ’an sich’ masih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filusuf : Siddharta Gautama Atau Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu. Zhuang Zi Dan Juga Mao Zedong.
3.       Filsafat Timur Tengah
Ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filusuf sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi filsafat barat. Sebab para filusuf timur tengah yang pertama-tama adalah orang Arab atau orang-orang islam (dan juga beberapa orang Yahudi), yang menaklukkan daerah-daerah disekitar laut tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setelah runtuhnya kekaisaran romawi masuk ke abad pertengahan dan melupakan karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filusuf timur tengah : Avicenna (Ibnu Sina), Ibnu Tufail dab Averroes.
 
D.      FILSAFAT DI INDONESIA
Para pengkaji filsafat Indonesia mendefinisikan kata ”Filsafat Indonesia” secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa filsafat Indonesia adalah bukan barat dan bukan timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsepdan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong royong dan kekeluargaan (Nasroen 1967 : 14, 24, 25, 33 dan 38). Sunoto mendefinisikan filsafat Indonesia sebagai …..kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987 ; ii), sementara Parmono mendefinisikan sebagai ….pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985 ; iii). Sumardjo mendefisinikan kata ”filsafat Indonesia” sebagai …pemikiran primordial… atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya… (Jakon Sumardjo 2003 : 116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata ”filsafat” sebagai identitas yang terpisah dari teologi, seni dan sains. Sebaliknya orang Indonesia memiliki kata generic, yakni budaya atau kebudayaan yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan masyarakat yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filusuf-filusuf mereka dengan sebutan Budayawan (Alisjahbana 1997 : 6 – 7 ). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Jakarta sebagai ”kemiskinan filsafat”. Jika filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah ”dipribumikan” yang menerima pengaruh dari tradisi filosofi asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis terakhir.

E.      PELOPOR KAJIAN FILSAFAT INDONESIA
Filsafat Indonesia sudah dilakukan nenek moyang dari suku etnik Indonesia sejak zaman dulu. Tapi, sebagai suatu kajian akademis, filsafat Indonesia adalah fenomena yang mulai marak di era 1960-an. Artikel dibawah ini membahas pada filusuf Indonesia yang merupakan pelopor kajian filsafat Indonesia. Mereka adalah M. Nasroen, Soenoto, R. Pramono dan Jakob Soemardjo.
1.       M. Naroen
Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan filsafat Indonesia dengan filsafat barat (Yunani-kuno) dan filsafat timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa filsafat Indonesia adalah suatu filsafat khas yang ”tidak barat” dan ”tidak timur”, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofi mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong royong dan kekeluargaan.
Tidak banyak yang mengetahui kapan beliau lahir, akan tetapi puncak karirnya ialah ketika ia menjabat sebagai Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia.
2.       R. Pramono
Lahir pada tahun 1952, R. Pramono menempuh jenjang pendidikan kefilsafatan di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta (sarjana filsafat), lalu setelah lulus pada tahun 1976, beliau meneruskan pendidikan pasca-sarjana jurusan filsafat di Universitas Gajah Mada pula.
Buku R. Pramono Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (1985) yang menyempurnakan kajian Sunoto.
Dalam Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Pramono menyempurnakan kekurangan kajian Sunoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan jawa dengan melebarkan lingkup kajian pada tradisi Batak, Minang dan Bugis. Dalam buku itu pula Parmono mencoba mendefinisi ulang istilah ”filsafat Indonesia”sebagai …pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah… (hal. iii). Jadi, filsafat Indonesia berarti segala filsafat yang ditemukan dalam adat dan budaya etnik Indonesia. Definisi ini juga dianut oleh pelopor yang lain, Jakob Sumardjo.
3.       Jakob Soemadjo
Nama aslinya Jakobus Soemardjo, dilahirkan di Klaten pada tahun 1939. karir kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom harian di KOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaharuan dan majalah Prisma, Basis dan Horisson sejak tahun 1969. Sejak tahun 1962 mengajar di Fakultas Filsafat Seni Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropogi Seni, Sejarah Teater dan Sosiologi Seni. Buku-bukunya yang khusus membahas filsafat Indonesia ialah : Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta : penerbit Qalam, 2002, ISBN : 979-9440-29-7) dan Mencari Sukma Indonesia : Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di Tengah Letupan di Sintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta : AK Group, 2003).
Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ”Ringkasan sejarah kerohanian Indonesia”, yang secara kronologis memaparkan sejarah filsafat Indonesia ”dari primordial”, ”era kuno” hingga ”era madya”. Dengan berbekal hermenutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat, musik, pakaian, tarian dan lain lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno dan lain lain) yang merupakan warisan filosofis agung agar masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ”filsafat Indonesia modern”, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epitomologi dan aksiologinya dari ”filsafat Indonesia lama”.
Definisinya tentang filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni …pemikiran primordial… atau …pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya… dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ”Filsafat Etnik Jawa”, artinya …filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat jawa menyusun gamelannya, menyusuri tarian-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya.
  
F.       PEMIKIRAN MADZHAB-MADZHAB DI INDONESIA.
Ada 7 madzhab pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategorisasi madzhab didasarkan pada hal :
1.       Didasarkan pada segi keslian yang dikandung suatu madzhab filsafat tertentu (seperti pada Madzhab Etnik).
2.       Pada segi pengaruh yang diterima oleh suatu madzhab filsafat tertentu (seperti Madzhab Tiongkok, Madzhab India, Madzhab Islam, Madzhab Kristiani Dan Madzhab Barat).
3.       Didasarkan pada kronologis hiostoris (seperti Madzhab Pasca-Soeharto).
Berikut ini adalah sketsa madzhab-madzhab pemikiran dalam filsafat Indonesia dan filusuf-filusuf mereka yang utama.
1)       Madzhab Etnik
Madzhab ini mengambil filsafat etnis Indonesia sebagai sumber inspirasinya. Asumsi utamanya ialah mitologi, legenda, cerita rakyat, cara suatu kelompok etnis membangun rumahnya dan menyelenggarakan upacara-upacaranya, sastra yang mereka hasilkan, epik-epik yang mereka tulis, semuanya melandasi bangunan filsfatetnis tersebut. ”Filsafat” ini tidak dapat berubah ; ia senantiasa sama, dari awal mula hingga akhir dunia dan ia senantiasa merupakan ”yang baik”. Filsafat ini mengajarkan setiap anggota kelompok etnis tersebut tentang asal mula lahirnya kelompok etnis itu ke dunia (bahasa jawa, sangkan) dan tentang tujuan (telos) hidup akan dicapai kelompok etnis itu (bahasa jawa, paran) sehingga anggotanya tidak akan sesat dalam hidup. Madzhab ini melestarikan filsafat-filsafat etnis sebelum mereka berhubungan dengan tradisi-tradisi filosofis asing yang datang kemudian.
2)       Madzhab Tiongkok
Para filusuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan imigran-imigran tiongkok tahun 1122 – 222 SM. Yang membawa serta dan memperkenalkan Taoisme dan Konfusinisme kepada mereka (Larope 1986 : 4). Dua filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur ; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tidak dapat lagi dicerai beraikan (SarDesai 1989 : 9 – 13). Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktekkan oleh semua bahasa Indonesia, adalah ajaran Hsiao dari Konghucu (bahasa Indonesia menghormati orang tua). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orang tuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orang tuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.
3)       Madzhab India
Pembauran atau disfusi filsafat-filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum brahmana hindu dan penganut buddhisme dari India antara tahun 322 SM – 700 M. Mereka memperkenalkan kultur hindu dan kultur buddhis kepada penduduk asli, sementara penduduk asli meresponnya dengan menyintesa 2 filsafat India menjadi satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan Tantrayana. Ini jelas tercermin pada bangunan Candi Borobudur oleh Dinasti Sailendra pada tahun 800 – 850 SM. (Sardesai, 1989 : 44 – 47). Rabindranath Tagore, seorang filusuf India yang mengunjungi Borobudur pertama kalinya, mengakui candi itu sebagai candi yang tidak-India, karena relik-relik yang dipahatkan padanya merepresentasikan pekerja-pekerja lokal yang berbusana gaya jawa asli. Ia juga mengakui bahwa tarian-tarian asli jawa yang terilhami dari epik-epik India yang tidak menyerupai tarian India, meskipun tarian-tarian dua negeri tersebut bersumber dari sumber yang sama.

4)       Madzhab Islam
10-abad proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan sufisme Persia dan sufisme mulai mengakar dalam pembincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya. Perkembangan sufisme itu dipicu oleh berdirinya kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan islam yang masih di Indonesia (Nasr 1991 : 262). Raja-raja dan sultan-sultan seperti Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sultan Trenggono, Pakubawana II, Pakubuwono IV, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah,  Engku Haji Muda Raja Abdullah riau hingga Raja Muhammad Yusuf adalah raja-sufi ; mereka mempelajari sufisme dari guru-guru sufi terkemuka.
5)       Madzhab Barat
Sejak pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia menerapkan politik hati nurani (politik etis)  di awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feudal, yang hendak bekerja di lembaga-lembga kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu mengajarkan filsafat barat sebagai mata pelajarannya. Misalnya, filsafat pencerahan sebuah filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di Indonesia, setelah 5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986 : 236 – 238). Banyak alumni sekolah tersebut yang melajutkan studi mereka di universitas-universitas di Eropa. Mereka lantas muncul sebagai kelompok elit baru Indonesia yang merupakan generasi pertama intelligentsia bergaya Eropa, yang kelak menganut filsafat barat untuk menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.
6)       Madzhab Kristiani
Bersama-sama dengan pencarian kapitalis barat akan koloni-koloni di timur, ajaran Kristen mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15 (Lubis 1990 : 78). Pertama-tama yang datang ialah pedagang-pedagang portugis, lalu kapitalis-kapitalis Belanda yang berturut-turut menyebarkan ajaran katolik dan ajaran Calvin. Fransiskus Xaverius, pewarta katolik pertama dari Spanyol yang menumpang kapal Portugis menterjemahkan Credo, Confession Generalis, Pater Noster, Ave Maria, Salve Regina dan Sepuluh Perintah Tuhan ke bahasa melayu antara tahun 1546 – 1547, yang melalui ajaran katolik dapat disebar-luaskan kepada penduduk Hindia Belanda (Lubis 1990 : 85). Gereja-gereja katolikpun didirikan dan penganut katolik Indonesia berjejalan, namun tak lama kemudian para pastor katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk pindah ke Kalvinisme oleh penganut-penganut kalvin belanda yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1596. Gereja Reformasi Belanda (Netherlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai gantinya. Jan Pieterszoon Coen, salah seorang gubernur jenderal VOC tahun 1618 adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Ia mendudukkan semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut Ziekentroosters) dibawah kendalinya (Lubis 1990 : 99).
7)       Madzhab Pasca-Soeharto
Madzhab ini mengedepankan untuk mengkritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Pemerhati utama mereka adalah filsafat politik, yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Madzhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filusuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan madzhab in, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai Peristiwa ITB Bandung 1973 dan Peristiwa Malari 1974. sejak praktek kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktekkan dalam utopia ; praktis dan inteleksi dipisahkan dari filsafat.


 I.       PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Filsafat adalah studi yang mempelajari fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.
Filsafat muncul pada abad ke 7 SM, tepatnya di Yunani, filsafat muncul di Yunani karena Yunani merupakan suatu daerah yang bebas dari kasta pendeta, maka secara intelektual orang lebih bebas.
Klasifikasi filsafat
1.       Filsafat Barat
a.        Metafisika
1)       Materialisme
2)       Idealisme (Spiritualisme)
3)       Dualisme
4)       Agnotisisme
b.       Epistemologi
1)       Empirisme
2)       Rasionalisme
3)       Positivisme
4)       Intuisionisme
c.        Aksiologi
1)       Etika
a)        Deontologist
b)       Teologis
2)       Estetika
d.       Etika
e.        Estetika
2.       Filsafat Timur
3.       Filsafat Timur Tengah
Pengkaji filsafat di Indonesia
1.       M. Nasroen
2.       R. Pramono
3.       Jakob Soemardjo
Pemikiran madzhab-madzhab di Indonesia
1.       Madzhab Etnik
2.       Madzhab Tiongkok
3.       Madzhab India
4.       Madzhab Islam
5.       Madzhab Barat
6.       Madzhab Kristiani
7.       Madzhab Pasca-Soeharto

B.      SARAN
Dengan adanya pembahasan-pembahasan tersebut, semoga dapat menambah pengetahuan tentang filsafat. Dimana semakin dalam menggali filsafat, maka akan kelihatan semakin banyak yang belum diketahui. Dan apabila dalam pembahasan tersebut masih banyak kekurangan, diharapkan adanya kritik yang sifatnya membangun, guna memperbaiki pembahasan-pembahasan selanjutnya.



  
DAFTAR PUSTAKA


Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Edisi Revisi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

d.wikipedia.org/wiki//pelopor_kajian_Filasafat_Indonesia-(online), diakses pada tanggal 10-01-2010

NU SESUDAH KEMERDEKAAN




1.1 Keadaan NU sesudah kemerdekaan 

NU adalah suatu organisasi yang cukup besar dan lengkap karena sebagai suatu organisasi yang masih muda, NU telah memiliki anggota dan pengurus yang jumlahnya mencapai angka jutaan dan cukup mampu mengerahkan organisasi tersebut tersebar di sekian banyak daerah, bukan saja di Jawa, tetapi juga di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan lain sebagainya. 

Lebih dari itu NU sudah mempunyai karakteristik keagamaan dan kemasyarakatan, kenegaraan, kebangsaan dan sebagainya. NU sudah mendapat tempat bukan saja di hati para angaota dan simpatisannya, tetapi juga dari luar bahkan pemerintah Saudi Arabia memperhatikan dan memperhitungkan organisasi ini, yaitu delegasi NU menghadap menyampaikan permintaannya. 

Organisasi yang sudah demikian keadaanya bisa saja tidak tergantung dengan Organisasi lain, tetapi berdiri sendiri. Pada awal kemerdekaan, NU ikut berjuang mempertahaankan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 7 nopember 1945 yaitu dengan ikut masyumi sebagai satu-satunya partai islam di Indonesia. Hal itu dilakukan NU atas dasar pertimbangan bahwa pada situasi dan kondisi perjuangan nasional ketika itu mutlak memerlukan persatuan dan kesatuan, terutama dikalangan umat islam. Nahdhatul ulama’ siap mengorbankan kebesarannya demi persatuan umat, meskipun dengan berdiri sendiri NU akan lebih mendapat penghargaan daripada bergabung kedalam organisasi lain, yang tentu banyak hal yang kurang memuaskan. 

60 tahun yang lalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary. Dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad. 

Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah. 

Pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada pertengahan September 1945 dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pergerakan pasukan Inggris tidak dapat dibendung. Sementara pemerintah RI yang berpusat di Jakarta menginginkan berbagai penyelesaian diplomatik sembari menata birokrasi negara baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pasukan Inggris telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang lewat pertempuran-pertempuran dahsyat. Sebagian pendudukan ini juga mendapat bantuan langsung dari Jepang yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari alih kuasa. Sedangkan kota-kota besar di kawasan timur Indonesia telah diduduki oleh Australia. 

Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan sekitar 6.000 orang yang terdiri dari serdadu jajahan India. Di belakangnya membonceng pasukan Belanda yang masih bersemangat menguasai Indonesia. Resolusi Jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. 

Di saat-saat yang bersamaan, saat-saat perang kemerdekaan sedang berkecamuk dan terus digelorakan oleh para kiai dan santri, Dinamika dan persaingan politik dalam negeri semakin memanas. Pada bulan Oktober Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan kembali. Lalu setelah MaklUmat Iks (4 November) dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, partai-partai politik lain juga bermunculan. Dideklarasikanlah Pesindo dan partai Islam Masyumi. Lalu, Maklumat Hatta 11 November mengubah pemerintahan presidensial menjadi parlementer, pemerintah harus bertanggungjawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai parleman. Kabinet parlementer ditetapkan pada 14 November, dipimpin Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Keamanan Amir Syarifudin. 

Pada Januari 1946, PNI dibentuk lagi tanpa Soekarno. Di sisi lain, “Tentara profesional” dan kelompok gerilyawan melakukan konsolidasi. Pada saat-saat itu juga Indonesia sedang mengalami “revolusi sosial” hingga ke desa-desa. Pertikaian merajalela dan kekacauan tak terhindarkan lagi. Waktu itu timbul pertikaian horisontal yang terkenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” yakni Brebes, Pemalang dan Tegal. Kondisi inilah, tak pelak memberi peluang bagi upaya-upaya militer Belanda (yang sebelumnya datang membonceng sekutu) untuk semakin merangsek masuk menguasai kota-kota besar di Indonesia. Belanda semakin intensif menguasai Jakarta, sehingga Pemerintah Republik terpaksa mengungsi ke Yogyakarta pada Januari 1946. 

Maret 1946, PM Sjahrir mencapai kesepakatan rahasia dengan van Mook bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara Belanda berdaulat atas wilayah-wilayah lainnya. Kedua belah pihak juga menyepakati rencana pembentukan uni Indonesia-Belanda. 

Di tengah tekanan Belanda itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 itu diadakan di Purwekorto pada 26-29 Maret 1946. Salah satu keputusan pentingnya, NU menyetuskan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama laki-laki dewasanya, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka. 

Dalam pidatonya, Mbah Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar. untuk disebarkan kepada seluruh warga pesantren dan umat Islam. Syariat Islam menurut Mbah Hasyim tidak akan bisa dijalankan di negeri yang terjajah. ”…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negerijajahan.” Kaum penjajah datang kembali dengan membawa persenjataan dan tipu muslihat yang lebih canggih lagi. Umat Islam harus menjadi pemberani.

Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama rasulullah…

Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.

Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya….. 

maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu…..

Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945 pemerintah Inggris secara tidak resmi mendesak pemerintah Belanda agar agar mengambil sikap yang lebih luwes terhadap Republik Indonesia. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr, mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara republik Indonesia dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani, namun Belanda tiba-tiba meancarkan agresi militernya. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, dan ”tanggung jawab” atas Jawa dan Sumatera diserahkan sepenuhnya kepada Belanda. Sejak itu, orang asing yang semakin terlibat dalam pertikaian antara Republik Indonesia dan Belanda, menggantikan Inggris, adalah Amerika Serikat. Mungkin sampai sekarang. 

1.2 Pengaruh kemerdekaan terhadap NU 

Nahdhatul Ulama merupakan organisasi keagamaan masyarakat yang menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya. Kemerdekaan membawa dampak tersendiri terhadap perkembangan Nahdhatul Ulama (NU). Keberadaan NU yang sebenarnya dapat berdiri sendiri mengharuskan bergabung dengan organisasi lain dengan pertimbangan bahwa pada situasi sesudah kemerdekaan(mempertahankan kemerdekaan) persatuan dan kesatuanlah yang mutlak diperlukan. Pengaruh yang paling utama adalah keberadaan NU dapat menanamkan semangat nasionalisme sehingga jati diri Indonesia tidak terhanyut oleh pengaruh kebudayaan barat. Dalam bidang pendidikan, semua pemuda bisa bersekolah tidak hanya dipesantren seperti masa belanda. Pada masa belanda yang bisa bersekolah hanya orang-orang tertentu saja. Dengan hal ini kader-kader NU yang sangat militanpun punya bekal keilmuan umum tidak hanya keilmuan dibidang umum. Langkah dalam pengembangan NU melalui pesantren dan cabang-cabangnya lebih mudah. Karena saat penjajahan jepang, organisasi apapun harus nonaktifkan, ruang geraknya dibatasi serta selalu dicurigai. 

2.1 Simpulan 

Dari beberapa uraian diatas kami dapat menarik beberapa simpulan, diantaranya: 

a. Sesudah kemerdekaan yaitu pada masa mempertahankan kemerdekaan, Nahdhatul (NU) bergabung dengan organisasi lain untuk menyatukan kekuatan demi mempertahankan proklamasi kemerdekaan dengan senjata persatuan dan kesatuan terutama dikalangan umat islam. 

b. Dalam bidang pendidikan, semua pemuda NU bisa bersekolah tidak hanya dipesantren seperti masa belanda. 

c. Langkah dalam pengembangan NU melalui pesantren dan cabang-cabangnya lebih mudah. Karena saat penjajahan jepang, organisasi apapun harus nonaktifkan, ruang geraknya dibatasi serta selalu dicurigai. 


DAFTAR PUSTAKA 

- Muchith Muzadi, Abdul. 2007. NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran. Surabaya: Khalista. 

- Suwendi. 2005. Konsep Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari. Ciputat: Lekdis. 

- Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia. Surabaya: Khalista.