1.1. Pengertian Pajak
Pajak adalah beban kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat
didalam suatu negara, baik hal itu bersifat personal maupun kelompok. Yang
kegunaannya adalah untuk membiayai kebutuhan negara didalam pembangunannya.
Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukakn berbagai jenis perbelanjaan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan
memperbaiki infrastuktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan membiayai setiap kegiatan
untuk menjaga keamanan negara merupakan pengeluaran yang tidak bisa dielakkan
oleh pemerintah, dana tersebut terutama diperoleh dari pemungutan pajak.
Batasan atau definisi dari pajak yang dikemukakan oleh para ahli, baik
dari dalam negeri maupun luar negeri banyak macamnya. Seperti yang diungkapkan
oleh Prof. P.J.A Andrian, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.
Berdasarkan definisi pajak di atas, unsur-unsur yang melekat pada
pengertian pajak adalah:
1.
Pajak merupakan pungutan pemerintah.
2.
Secara paksa berdasarkan Undang-Undang.
3.
Sebagai penutup pengeluaran-pengeluaran
umum.
4.
Tanpa ada jasa (prestasi) timbal balik
secara khusus.
Sependapat dengan ungkapan di atas, Prof. Dr. Rochmat Sumitro
mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan
dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (tegen prestatie)
yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran
umum.
Kemudian definisi tersebut mendapat penyempurnaan dari beliau dengan
mengemukakan bahwa pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas
negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplusnya” digunakan untuk ”public
saving” yang merupakan sumber utama untuk membiayai “public
investment”
Pajak berarti pula sebagai pembayaran dari rakyat atau swasta kepada
pemerintah yang tidak dapat tegenprestasi secara langsung. Yang berupa
sejumlah kekayaan atau uang yang dimiliki oleh rakyat sesuai dengan kemampuan
sebagai wajib pajak. Pajak dapat juga didefinisikan sebagai bantuan uang secara
insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontra prestasinya), yang
dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan,
dimana terjadi tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena
undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.
A.
Macam-Macam Pajak
Dalam hukum pajak terdapat pelbagai pembedaan jenis-jenis pajak, yang
dibagi ke dalam golongan-golongan besar. Pembedaan dan pembagian ini mempunyai
fungsi yang berlainan pula. Ada
yang fungsinya hanya digunakan untuk memudahkan pekerjaan di dalam praktik, ada
juga yang fungsinya ditujukan kepada tujuan ilmiah. Berikut ini adalah
penggolongan yang dibedakan menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya.
Menurut golongannya, secara garis besar berbagai jenis pajak-pajak yang
dipungut pemerintah dapat dibedakan kepada dua golongan, yaitu:
1.
Pajak Langsung,
adalah jenis pungutan pemerintah secara langsung dikumpulkan dari pihak yang
wajib membayar pajak. Setiap individu yang bekerja dan perusahaan yang
menjalankan kegiatannya dan memperoleh keuntungan wajib membayar pajak. Pajak
yang dipungut dan dikenakan ke atas pendapatan merekan dnamakan pajak langsung,
yakni pajak itu diambil langsung dari orang atau badan sebagai wajib pajak
untuk membayar pajaknya. Dalam pengertian ekonomis pajak langsung adalah pajak
yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan, tidak
boleh dilimpahkan kepada orang lain. Dalam pengertian administratif pajak
langsung adalah pajak yang dipungut secara berkala.
2.
Pajak Tidak Langsung,
adalah pajak yang bebannya boleh dipindah-pindahkan kepada pihak lain.
Pengertian secara ekonomis, pajak tidak langsung adalah pajak-pajak yang
bebannya dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga atau konsumen. Dalam pengertian administratif, pajak
tidak langsung adalah pajak yang dipungut setiap terjadi peristiwa atau
perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan baran
atau pembuatan akte.
Dalam memilih cara untuk menentukan apakah suatu pajak termasuk pajak
langsung atau tidak langsung dalam arti ekonomis dapat diikuti cara yang lazim
dalam ilmu ekonomi. Terdapat tiga unsur yang melekat pada kewajiban memenuhi
pajak, yaitu:
1.
Yang
secara Penanggung jawab pajak (wajib pajak) yakni orang formal yuridis
diharuskan melunasi pajak, yaitu bila padanya terdapat faktor-faktor atau
kejadian-kejadian yang menimbulkan sebab (menurut undang-undang) untuk
dikenakan pajak.
2.
Penanggung jawab adalah orang yang dalam
faktanya (dalam arti ekonomis) memikul dulu beban pajaknya.
3.
Yang dituntut oleh pembuat
Undang-Undang, juga dinamakan pemikul pajak, yaitu oleh yang menurut maksud
Undang-Undang harus dibebani pajak.
Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang, maka pajaknya adalah
pajak langsung. Namun jika terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang,
maka disebut pajak tidak langsung.
Pembagian pajak menurut sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pajak
subjektif (bersifat perorangan) dan pajak objektif (bersifat kebendaan).
1.
Pajak Subjektif, adalah pajak yang
memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak, untuk menetapkan
pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif berhubungan erat dengan
keadaan matrialnya,yaitu yang disebut gaya
pikulnya.
2.
Pajak Objektif, adalah pajak yang
pertama-tama memperhatikan kepada objeknya baik itu berupa benda, dapat pula
berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban
membayar pajak, kemudian barulah dicari subjeknya (orang atau badan) yang
bersangkutan lansung, dengan tidak mempersoalkan apakah subjek itu berkediatam
di Indonesia atau tidak.
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu pajak
negara (pajak pusat) dan pajak daerah.
1.
Pajak Negara, ialah pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraanya dilaksanakan oleh departemen
keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada
umumnya. Contohnya adalah pejak yang dipungut oleh dirjen pajak sepertai Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan dan sebagainya.
2.
Pajak Daerah, yaitu pajak-pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten maupun kotamadya
berdasarkan peraturan pemerintah daerah masing-masing dan hasilnya digunakan
untuk pembiayaan Rumah Tangga Daerah masing-masing.
B.
Fungsi
Pajak
Pada dasarnya fungsi pajak adalah sebagai sumber pemasukan keuangan
negara (fungsi budgeter), yang nantinya dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran operasional maupun investasi oleh negara. Namun ada fungsi lainnya
yang tidak kalah pentingnya yaitu pajak sebagai fungsi mengatur.
1.
Fungsi Budgeter, adalah fungsi yang
letaknya pada sektor publik, dan pajak-pajak di sini sebagai alat (atau suatu
sumber) untuk memasukkan uang sebanyaknya ke dalam kas negara yang pada
waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Pajak-pajak ini
terutama akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin, dan apabila
setelah itu masih ada sisa (surplus), maka surplus ini dapat digunakan untuk
membiayai investasi pemerintah (public saving untuk public investment).
2. Fungsi
Mengatur (regularend), adalah digunakan sebagai alat untuk melaksanakan
kebijakan negaran dalam bidang ekonomi dan sosial, untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Hal ini merupakan udaha
pemerintah untuk turut camput tangan dalam hal mengatur dan bilamana perlu
mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta.
C. Pajak Penghasilan
1.
Konsep Penghasilan
Dari segi ekonomi penghasilan pada umumnya timbul karena adanya tindakan
ekonomi. Penghasilan secara istilah dalam kamus ekonomi adalah penerimaan uang
oleh seseorang atau perusahaan dalam bentuk gaji (wages), upah (salaries),
sewa (rent), bunga (interest), dan laba (profit). Definisi
tersebut hanya menilai penghasilan berdasarkan hasil dari penerimaan uang saja,
tanpa mempertimbangkan unsur kenikmatan (benefit in kind) ataupun
kepuasan yang dapat diperoleh seseorang. Pada setiap penerimaan atas gaji,
upah, sewa, bunga, dan laba terdapat kenikmatan atau kepuasan yang merupakan
bagian tersendiri dari penghasilan seseorang.
Definisi di atas seperti halnya yang telah diungkapkan oleh ekonom
Amerika, Robert Murrray Haig, yang menekankan bahwa penghasilan adalah tambahan
kemampuan. Yang dihitung sebagai penghasilan hanya berbentuk uang atau sesuatu
yang dapat dinilai dengan uang.
Penghasilan dapat juga berarti sebagai hasil uang yang diterima oleh
suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (sevices)
yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).Penghasilan
berdasarkan definisi ini dalam prinsipnya dapat diartikan sebagai total
penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari
total pengeluaran atas barang atau jasa dikalikan dengan harga barang tersebut.
Penghasilan jika disandarkan pada analisis mikro ekonomi digunakan berkenaan
dengan aliran penghasilan dalam suatu periode waktu yang berasal dari
penyediaan faktor-faktor produksi sumber daya alam (natural resources),
tenaga kerja (labour), dan modal (capital). Masing-masing
dalam bentuk sewa, upah dan bunga atau laba.
Definisi penghasilan untuk kepentingan perpajakan dapat berbeda dengan
definisi secara ekonomis karena adanya tujuan tertentu dari kebijakan
perpajakan terutama berkaitan dengan fungsi pajak yang berfungsi sebagai
penerimaan (budgeter) dan mengatur (regulerend), dimana
didalamnya mencakup pertimbangan keadilan dalam pembebanan pajak. Definisi
penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tercantum dalam pasal
4 ayat (1).
Dari definisi penghasilan yang terdapat pada pasal tersebut, terdapat lima unsur definisi
penghasilan, yaitu:
1.
Tambahan kemampuan ekonomis.
2.
Diterima atau diperoleh oleh Wajib
Pajak.
3.
Berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia .
4.
Dengan nama dan dalam bentuk apapun.
5.
Dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan.
Berdasarkan uraian definisi pajak dan penghasilan tersebut di atas, pajak
penghasilan adalah beban kewajiban pajak yang dikenakan pada setiap hasil usaha
yang telah diperoleh oleh setiap orang atau badan usaha. Undang-Undang
Perpajakan menganut pengertian penhasilan yang luas, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib paja, baik dari yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.
2.
Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak adalah subjek hukum yang oleh undang-undang pajak diberi
kewajiban perpajakan. Pengertian dan penggolongan subjek pajak dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan terdapat pada pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000. Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang
belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan bentuk
usaha tetap. Sedangkan subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri.
3.
Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk:
1)
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
grafifikasi, uang pensiun atau uang imbalan dalam bentuk lain dalam
undang-undang ini;
2)
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3)
Laba usaha;
4)
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta yang termasuk
didalamnya.
2.2. Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa berasal dari kata zakaa, yang artinya
bertambah dan berkembang sebagaimana ungkapan orang Arab zakaa al-jar’u, artinya
pohon tersebut tumbuh dan berkembang. Apabila kalimat zakaa dinisbahkan
pada orang biasya bermakna al-ishlah yang berarti memiliki kebaikan
yang lebih. Makna yang menunjukkan suci dan bersih sesuai dengan al-Qur’an surat at-Taubah ayat 103
yang artinya: “ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka…”.
Hubungan pengertian zakat secara bahasa dan istilah sangat nyata dan erat
sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah,
bertambah, berkembang dan bertambah, suci dan bersih (baik). Di dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah terdapat beberapa kata yang sering dipergunakan untuk zakat, yaitu
shadaqah (benar), infaq (mengeluarkan sesuatu kebaikan selain
zakat) dan hak (zakat merupakan hak para mustahik atau penerimanya).
Sedangkan zakat menurut istilah sebagaimana ditulis oleh al-Mawardi dalam
kitab al-Hawi, ialah pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut
sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu.
A. Syarat
dan Harta Wajib Zakat
·
Syarat Wajib Zakat
·
Harta Wajib Zakat
Sejalan dengan
ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar umum pada setiap
kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, maka dalam penetapan harta menjadi
sumber atau objek wajib zakat pun harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai
berikut:
1) Harta milik
penuh (al-milku at-tam), yakni bahwa pemilik harta tersebut
memungkinkan untuk mempergunakan dan mengambil manfaat harta itu secara penuh. Harta yang dizakati ini harus didapatkan
melalui cara yang dibenarkan syara dan tidak diwajibkan atas harta yang didapat
secara haram.
2) Berkembang (an
namaa’), maksudnya harta tersebut dapat bertambah bila diusahakan atau
mempunyai potensi untuk berkembang. Kalau ulama terdahulu mengkategorikan zakat
hanya pada 5 (lima )
kategori, maka ulama kontemporer seperti Dr. Yusuf Qardhawi menambah 4 (empat)
kategori baru sesuai dengan perkembangan sarana untuk menumbuhkembangkan
potensi kekayaan tersebut.
3) Cukup
nisbah, artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan syara.
4) Lebih dari
kebutuhan pokok, yakni lebih dari kebutuhan minimal yang harus dipenuhi setiap
hari seperti sandang, pangan dan papan. Apabila kebutuhan hidup minimal ini
masih belum mampu untuk dipenuhi setiap harinya, maka yang bersangkutan
terbebas dari zakat.
5) Bebas dari
hutang. Orang yang memiliki hutang yang besar dan mengurangi nilai nisbah kena
zakat, maka ia tidak berkewajiban membayar zakat. Adapun hutang-hutangnya harus
diselesaikan dahulu, oleh karena itu zakat dikenakan bagi orang kaya yang
memiliki harta lebih.
6)
Sudah satu tahun. Maksudnya kepemilikan harta tersebut sudah lewat dari 12
bulan Qomariyah. Masa satu tahun ini hanya berlaku bagi ternak, uang, harta
benda yang diperdagangkan. Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan, rikaz
(barang temuan) dan lain-lain yang sejenis tidak disyaratkan.
B.
Macam-Macam Zakat
Zakat terbagi
menjadi dua bagaian, yaitu:
1.
Zakat Fitrah, yaitu zakat yang sebab
diwajibkannya adalah pada bulan Ramadhan. Disebut pula dengan sedekah fitrah.
Zakat ini diwajibkan pada tahun kedua hijriah, yaitu tahun diwajibkannya puasa,
yang bertujuan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan
perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberik makan pada orang-orang miskin
dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada Hari Raya Idul
Fitri.
2.
Zakat Harta (al-maal), yakni
zakat yang dikeluarkan karena telah diperolehnya suatu harta kekayaan. Harta
adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat digunakan menurut lazimnya.
Sesuatu dapat disebut harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu:
1)
Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai
2)
Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan lazimnya.
Sedangkan
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya meliputi:
1)
Hasil pertanian.
2)
Harta terpendam, barang tambang dan kekayaan laut.
3)
Emas dan perak.
4)
Perniagaan dan perusahaan.
5)
Binatang ternak.
6)
Saham dan surat
berharga.
7)
Hadiah atau harta tidak terduga, dan profesi.
C. Orang
Yang Berhak Menerima Zakat
Adapun orang-orang yang berhak mendapatkan harta dari zakat terbagi ke
dalam delapan golongan (ashnaf ) sebagaimana sdipaparkan sebagai berikut:
1.
Fakir, adalah orang yang tidak mempunyai
pekerjaan atau sumber pendapatan yang jelas dan tidak mencukupi kebutuhan hidup
minimalnya.
2.
Miskin, ialah orang yang mempunyai
pekerjaan atau sumber penghasilan yang jelas tetapi belum bias memenuhi
kebutuhan hidup minimalnya.
3.
Rikab, yaitu orang yang keadaannya dapat
dikategorikan sebagai budak, yakni orang yang secara ekonomis tertekan oleh
lingkungannya seperti pembantu rumah tangga atau orang yang hidupnya
menggantungkan diri kepada orang lain.
4.
Gharimin, adalah orang yang tidak mampun
melunasi hutangnya (pailit), atau kewajiban hutangnya lebih besar dari pada
kekayaannya.
5.
Sabilillah, ialah orang yang sedang
melakukan kegiataan atau usaha dalam rangka menegakkan hukum Allah SWT, seperti
penyelenggaraan pendidikan dan dakwah Islam.
6.
Ibnu Sabil, adalah segala macam kegiatan
atau usaha dalam rangka mendukung lancarnya suatu perjalanan, pembangunan
fasilitas transportasi, pembangunan sarana jalan, jembatan, atau komunikasi
untuk membuka daerah terpencil.
7.
Muallaf, yaitu orang yang baru memeluk
agama Islam, atau usaha-usaha dan kegiatan dalam rangka meningkatkan pemahaman
ajaran agama Islam terutama bagi orang muslim yang pengetahuan agamay masih
kurang.
8.
Amil,
yakni orang atau organisasi berikut system administrasinya untuk mendukung
lancarnya kegiatan penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat.
D.
Landasan Hukum Zakat
Hukum zakat
bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai berikut:
·
Al-Qur’an
1) Surat At- Taubah ayat
103 yang artinya :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya
do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”[1]
2) Surat
Al-Baqarah ayat 267 yang artinya :
“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”[2]
3) Surat
Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya :
” Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”[3]
· As-sunnah yang artinya :
· As-sunnah yang artinya :
“Dari Ibu Abbas: bahwa
Nabi SAW mengutus Muadz ke Yaman, maka Nabi bersabda: ‘Ajaklah mereka (penduduk
Yaman) untuk mengucapkan syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
(Muhammad) utusan Allah. Jika mereka menaati kepada hal itu, maka
beritahukanlah bahwa Allah menwajibkan bagi mereka lima shalat fardhu dalam sehari semalan. Jika
mereka telah maati kepada hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan adanya sedekah (zakat) atas harta mereka dan berikan kepada mereka
yang miskin.’”
E. Hikmah
Zakat
Ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap
orang yang enggan mengeluarkan zakat. Kewajiban menunaikan zakat demikian tegas
dan murlak, oleh karena di dalamnya terkandung hikmah dan manfaat yang besar
dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahik, harta yang dikeluarkan
maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Diantara hikmahnya adalah sebagai
berikut:
1.
Sebagai perwujudan keimanan kepada Alla
SWT.
2.
Menolong, membantu dan membina para
mustahik, terutama fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera
sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak.
3.
Pemerataan pendapatan masyarakat,
sehingga mengurangi kesejangan antara orang yang mempunyai limpahan harta
dengan orang yang kekurangan hartanya.
- PERUMUSAN DAN PERBEDAAN ZAKAT DAN PAJAK
A. Perumusan Zakat dan Pajak
1. Unsur Paksaan
Bagi seorang muslim yang hartanya telah memenuhi syarat zakat maka ia harus menunaikan kewajibannya yang diwakili oleh petugas zakat yaitu amil. Demikian halnya dengan orang yang sudah masuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa kepadanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Unsur Pengelola
Asas pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalamsurat
at-Taubah ayat 60. Pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara
individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahik, akan tetapi
dilakukan olah sebuah lembaga yang menangani zakat yang memenuhi persyaratan
tertentu. Sedangkan pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara.
Bagi seorang muslim yang hartanya telah memenuhi syarat zakat maka ia harus menunaikan kewajibannya yang diwakili oleh petugas zakat yaitu amil. Demikian halnya dengan orang yang sudah masuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa kepadanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Unsur Pengelola
Asas pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam
3. Dari Sisi Tujuan
Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan dan ketentraman. Demikian pula dengan pajak sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual.
Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan dan ketentraman. Demikian pula dengan pajak sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hasan Rifai, Al-Faridy. 2004. Panduan Zakat Praktis. Jakarta : Dompet Dhuafa
Republika.
·
Bidihardjo, R. Soeroso. 2000. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT. Rofido Utama.
·
Bohari. 2002. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·
Departemen Agama Republik Indonesia . 1987. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta .
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Mohon Di Isi