Fiqh ('Ariyah, Rahn, Hiwalah Dan Ji'alah).


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.      LATAR BELAKANG
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ke tangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pengadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai-menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedholiman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
Dalam rubrik fiqih kali ini kita akan membahas tentang : ’Ariyah, Ar Rahn, Hiwalah dan Ji’alah dalam tinjauan syari’at.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1.      ’ARIYAH
1.      Pengertian ’Ariyah
’Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan menurut istilah ’Ariyah ada beberapa pendapat :
a.        Menurut Hanafiyah ’Ariyah adalah ”memiliki manfaat secara cuma-cuma”.
b.        Menurut Malikiyah ’Ariyah adalah ”memiliki manfaat dalam waktu tertentu tanpa imbalan”.
c.        Menurut Syafi’iyah ’Ariyah adalah ”kebolehan dalam mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”.
d.       Menurut Hanabilah ’Ariyah adalah ”kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya”. Dalam Surat An Nisa’ ayat 58 :
إِنَ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُوْا اَلأَمَنَتِ إِلَى أَهْلِهَا . . .
Artinya : ”Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu semua agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.
2.      Dasar Hukum ’Ariyah
Sebenarnya ’Ariyah adalah merupakan sarana tolong menolong antara orang yang mampu dan tidak mampu. Bahkan diantara sesama orang yang mampu dan tidak mampu pun ada kemungkinan terjadi saling meminjam. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Maidah ayat 2.




. . . وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِ وَالتَقْوَى . . .
Artinya : ”Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al Maidah ayat 2)
Dan di dalam hadist Rasulullah SAW, : ”Rasulullah SAW, meminjam kuda Abi Tholib dan mengendarainya”. (HR. Imam Bukhori)
Dalam suatu riwayat ada dijelaskan bahwa pernah meminjam baju Abu Sofyan dengan suatu jaminan, tidak dengan jalan merampas dan tanpa ijin. Berdasarkan hadist di atas ulama fiqih menyatakan bahwa ’Ariyah hukumnya Mandub ( مندوب ) karena melakukan ’Ariyah merupakan salah satu bentuk ketaatan ( تعبد ) kepada Allah SWT.
Terkadang hukumnya wajib, misalnya meminjamkan pakaian yang menjadi sebab sahnya sholat, meminjamkan perkara untuk menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, atau meminjamkan alat menyembelih binatang yang dimuliakan syara’, yang dikhawatirkan akan mati.
Namun para ulama mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan asal akad yang menyebabkan pinjaman ”memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang barang itu untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkan kepada orang lain.
Madzhab Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan Ububilah bin Hasan Al Kharki berpendapat bahwa ’Ariyah hanya memanfaatkan benda tersebut karena itu kemanfaatannya terbatas kepada pihak kedua saja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan ke pihak lain, namun semua ulama sepakat bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang lain. Ulama juga berpendapat dalam menentukan hukum. Berdasarkan sifat peminjam, jumhur ulama berpendapat bahwa pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas pada izin kemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.
3.      Rukun ’Ariyah
Jumhur ulama mengatakan rukun ’Ariyah ada empat, yaitu :
a.        Orang yang meminjamkan.
b.        Orang yang meminjam.
c.        Barang yang dipinjam.
d.       Lafadz pinjaman.
Ulama madzhab Hanafi, mengatakan bahwa rukun ’Ariyah hanya satu saja tidak perlu qabul. Namun menurut Zufar bin Husail bin Qoiz (ahli fiqh madzhab Hanafi) qabul tetap diperlukan yaitu yang menjadi rukun ’Ariyah adalah ijab dan qabul. Menurut madzhab Hanafi, rukun nomor 1, 2, 3 yang disebutkan jumhur ulama di atas, bukan rukun tetapi termasuk syarat.
Mengenai syarat adalah :
a.        Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum karena orang yang tidak berakal, tidak dapat memegang amanat. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang dungu, tidak boleh mengadakan akad ’Ariyah.
b.        Barang yang dipinjamkan bukan barang yang bila dimanfaatkan habis, seperti makanan dan minuman.
4.      Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya. Baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena lainnya. Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Khurairah, Syafi’i, dan Ishaq dalam hadist yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah SAW, bersabda (Artinya) : ”Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima hingga ia mengembalikannya”.
Sementara pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, pinjaman tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali, karena tindakannya yang berlebihan.
Sabda Rasulullah SAW, (Artinya) : ”Pinjaman yang berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (dikeluarkan Al Daruqurhni)
2.2.      AR RAHN (GADAI)
Rahn dalam bahasa arab memiliki pengertian tetap dan berkelanjutan. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna ”tertahan”. Adapun menurut istilah syara’, kata Rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya.
Sedangkan Syekh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Di dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa gadai atau hak gadai adalah hak atas benda bergerak milik si hutang yang diserahkan ke tangan si pemberi hutang sebagai jaminan pelunasan hutang tersebut (pasal 1150-1160, kitab UU hukum perdata).
1.       Dasar Hukum Gadai
Perjanjian gadai itu dibenarkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah SWT, dalam surah Al Baqarah ayat 283 :

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَنٌ مَقْبُوْضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِ الَذِى اؤْتُمِنَ أَمَنَتَهُ . . .
Artinya : ”Jika kamu dalam perjalanan (dan tidak bermualah secara tunai) sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada orang barang tanggungan yang di pegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya”. (QS. Al Baqarah ayat 283)
Sabda Rasulullah SAW, (artinya) : Dari Anas berkata :Rasulullah telah menuguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang yahudi itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majjah)
Menurut riwayat lain, gandum yang di pinjam Rasulullah SAW, sebanyak 30 sha’ (90 liter) dan sebagai jaminannya baju perang beliau. Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non muslim, dan harus ada jaminan sebagai pegangan sehingga tidak kekhawatiran bagi yang memberi piutang.
2.       Rukun Ar Rahn (Gadai)
Mayoritas ulama memandang rukun Ar Rahn (gadai) ada empat, yaitu :
a.        Ar Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan).
b.        Al Marhun Bihi (hutang).
c.        Shighah.
d.       Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu Shighah, karena pada hakekatnya adalah transaksi.
Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Ar Rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu Shighah, karena ia pada hakekatnya adalah transaksi.
3.       Syarat Ar Rahn
Diisyaratkan dalam Ar Rahn sebagai berikut :
a.        Syarat berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
b.        Syarat yang berhubungan dengan Al Marhuun (barang gadai) ada dua, yaitu :
1)       Barang gadai itu barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2)       Barang gadai tersebut adalah milik orang yang menggadaikannya atau yang diijinkan baginya tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Ar Rahn adalah transaksi atau harta sehingga diisyaratkan hal ini.
c.        Syarat berhubungan dengan Al Marhun Bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
4.       Hukum-Hukum Setelah Serah Terima
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya :
a.        Pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada di tangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah SWT, :

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَنٌ مَقْبُوْضَةٌ . . .
Artinya : ”Jika kamu dalam perjalanan (dan tidak bermualah secara tunai) sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada orang barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang)”. (QS. Al Baqarah ayat 283)
Dan sabda Rasulullah SAW, (Artinya) : ”Hewan yang dikendarai, dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewan digadaikannya. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya”. (Hadist Shohih Riwayat Al Tirmidzi)
b.        Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali, bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah SAW, (Artinya) : ”Hewan yang dikendarai, dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewan digadaikannya. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya”. (Hadist Shohih Riwayat Al Tirmidzi)
c.        Pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama dan terpisah maka terjadi perbedaan pendapat ulama disini. Abu Hanifah dan Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai di tangan Murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang itu bukan ikut barang gadai dan itu milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i dalam kendaraan dan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat dalam kendaraan dan hewan menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.
d.       Perpindahan kepemilikan dan pelunasan hutang dengan barang gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali, dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya.

2.3.      HIWALAH
1.       Pengertian Hiwalah
Hiwalah ( الحوله ) berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan memikul suatu di atas pundak.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun tidak.
Ulama madzhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan Hiwalah ialah pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (Al Muhiil = المحيل ) kepada yang berhutang lainnya (Muhaal Alaih = المحال عليه ) ulama madzhab Hanafi lainnya (Kamal bin Hummam) mendefinisikannya dengan : ”pengalihan kewajiban membayarkan hutang dari pihak pertama kepada pihak lainnya yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai”.


2.       Dasar Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi)
3.       Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun Hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan Hiwalah) dari pihak pertama dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun Hiwalah ada 6 (enam), yaitu :
a.        Pihak pertama.
b.        Pihak kedua.
c.        Pihak ketiga.
d.       Ada hutang pihak pertama dan pihak kedua.
e.        Ada hutang pihak ketiga dan pihak pertama.
f.         Ada Shighah (pernyataan Hiwalah).
4.       Syarat Hiwalah
Semua imam madzhab (Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali) berpendapat bahwa Hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua dan ketiga serta yang berkaitan dengan hutang itu.
a.        Syarat bagi pihak pertama
1.       Cukup dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad, yaitu baligh dan berakal. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz).
2.       Ada persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan Hiwalah maka aqad tersebut tidak sah.




b.        Syarat bagi pihak kedua
1.       Cukup melakukan tindakan hukum yaitu baligh dan berakal.
2.       Diisyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan Hiwalah (madzhab Hanafi sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi’i).
c.        Syarat bagi pihak ketiga
1.       Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad, sebagai syarat bagi pihak pertama dan pihak kedua.
2.       Diisyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (madzhab Hanafi) sedangkan madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hambali) tidak mensyaratkan hal ini, sebab dalam aqad Hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai obyek aqad.
3.       Imam Abu hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani menambahkan bahwa qabul tersebut dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis aqad.
d.       Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan
1.       Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
2.       Apabila mengalihkan hutang itu dalam bentuk Hiwalah Al Muqayyadah semua ulama fiqih menyatakan bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua maupun kepada pihak ketiga kepada pihak pertama meski sama jumlah dan kwalitasnya.
3.       Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula, waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka tidak sah.
5.       Akibat Hukum
Jika aqad Hiwalah telah terjadi maka akibatnya :
a.        Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua dengan sendirinya menjadi terlepas.
b.        Aqad Hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga.
c.        Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadi Hiwalah Al Muthallaqoh berpendapat jika aqad Hiwalah Al Muthallaqoh terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan aqad hutang piutang sebelumnya, masih tetap berlaku. Khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.
6.       Akad Hiwalah Berakhir
Akad Hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut :
a.        Salah satu pihak yang melakukan aqad tersebut membatalkan aqad, sebelum aqad itu berlaku secara tetap.
b.        Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada pihak kedua.
c.        Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
d.       Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad Hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
e.        Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.

2.4.      JI’ALAH
1.       Pengertian Ji’alah
Menurut bahasa Ji’alah artinya upah atau pemberian. Menurut istilah artinya upah yang diberikan kepada seseorang atas keberhasilannya dalam memenuhi keinginan pemberi upah. Contohnya : seseorang yang kehilangan kuda, dia berkata : barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kuda itu, maka aku berikan upah sekian.
2.       Hukum Ji’alah
Ji’alah hukumnya adalah mubah (boleh), dasar hukumnya bermula dari firman Allah SWT, dalam surah Yusuf ayat 72 :

قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ ے حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَنَابِهِ ے زَعِيْمٌ .  
Atinya : ”Penyeru-penyeru itu berkata : Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan akan menjanjikan terhadapnya”. (QS. Yusuf ayat 72)
3.       Rukun dan Syarat Ji’alah
a.        Lafadz (akad) Ji’alah, dengan syarat :
1)       Lafadz dapat dimengerti isi dan maksudnya.
2)       Mengandung izin untuk melakukan apa yang diharapkan oleh pembuat lafadz.
3)       Ada batas tertentu dalam melakukan sayembara.
b.        Orang yang menjanjikan upah, syaratnya :
1)       Orang yang punya hak memberikan sayembara.
2)       Orang yang dibenarkan secara hukum menyelenggarakan sayembara.
c.        Pekerjaan (sesuatu yang harus dilakukan), syaratnya :
1)       Pekerjaan itu memungkinkan dilakukan oleh manusia.
2)       Pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tidak mengandung unsur maksiat.
d.       Upah, syaratnya diketahui terlebih dahulu sebelum pekerjaan itu dilaksanakan.
4.       Hikmah Ji’alah
a.        Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan).
b.        Menumbuhkan sikap saling menolong antar sesama umat manusia.
c.        Adanya penghargaan suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.












BAB III
KESIMPULAN


3.1.      ’Ariyah
’Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan menurut istilah Syafi’iyah, ’Ariyah adalah ”kebolehan dalam mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”.
Dasar hukum ’Ariyah, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Maidah ayat 2, (Artinya) : ”Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al Maidah ayat 2)
Jumhur ulama mengatakan rukun ’Ariyah ada empat, yaitu :
a.       Orang yang meminjamkan.
b.      Orang yang meminjam.
c.       Barang yang dipinjam.
d.      Lafadz pinjaman.
Mengenai syarat adalah :
a.       Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum.
b.      Barang yang dipinjamkan bukan barang yang bila dimanfaatkan habis
3.2.      Rahn
Rahn dalam bahasa arab memiliki pengertian tetap dan berkelanjutan. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna ”tertahan”. Adapun menurut istilah syara’, kata Rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya.
Dasar Hukum Gadai, sebagaimana firman Allah SWT, dalam surah Al Baqarah ayat 283, (artinya) : ”Jika kamu dalam perjalanan (dan tidak bermualah secara tunai) sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada orang barang tanggungan yang di pegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya”.
Mayoritas ulama memandang rukun Ar Rahn (gadai) ada empat, yaitu :
a.       Ar Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan).
b.      Al Marhun Bihi (hutang).
c.       Shighah.
d.      Dua pihak yang bertransaksi.
Syarat Ar Rahn sebagai berikut :
a.       Syarat berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi)
b.      Syarat yang berhubungan dengan Al Marhuun (barang gadai)
c.       Syarat berhubungan dengan Al Marhun Bihi (hutang)
3.3.      Hiwalah
Hiwalah ( الحوله ) berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan memikul suatu di atas pundak.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama.
Dasar Hukum Hiwalah, Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Rukun Hiwalah, Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali ada 6 (enam), yaitu :
a.       Pihak pertama.
b.      Pihak kedua.
c.       Pihak ketiga.
d.      Ada hutang pihak pertama dan pihak kedua.
e.       Ada hutang pihak ketiga dan pihak pertama.
f.       Ada Shighah (pernyataan Hiwalah).
Syarat Hiwalah :
a.       Syarat bagi pihak pertama
1.      Cukup dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad, yaitu baligh dan berakal.
2.      Ada persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan Hiwalah maka aqad tersebut tidak sah.
b.      Syarat bagi pihak kedua
1.      Cukup melakukan tindakan hukum yaitu baligh dan berakal.
2.      Diisyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan Hiwalah
c.       Syarat bagi pihak ketiga
1.      Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad,
2.      Diisyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga
d.      Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan
1.      Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
2.      Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula, waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka tidak sah.
3.4.      Ji’alah
Menurut bahasa Ji’alah artinya upah atau pemberian. Menurut istilah artinya upah yang diberikan kepada seseorang atas keberhasilannya dalam memenuhi keinginan pemberi upah.
Ji’alah hukumnya adalah mubah (boleh), firman Allah SWT,: ”Penyeru-penyeru itu berkata : Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan akan menjanjikan terhadapnya”. (QS. Yusuf ayat 72)
Rukun dan Syarat Ji’alah
a.       Lafadz (akad) Ji’alah
b.      Orang yang menjanjikan upah,
c.       Pekerjaan (sesuatu yang harus dilakukan),
d.      Upah,








DAFTAR PUSTAKA


Al Amaanah Al ’Amah Li Hai’at Kibar Al Ulama. Cetakan pertama tahun 1422 H. Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah.

Al Thoyaar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad, dkk. Cetakan pertama tahun 1425 H. Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu’amalah. Madar Al Wathoni Lin Nasyr. Riyadh. KSA hal 115

Al Turki, Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin, dkk. Cetakan kedua tahun 1412 H. Mughni Ibnu Qudamah Tahqiq. Penerbit Hajar. Kairo. Mesir

Imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najieb Al Muthi’i. Cetakan tahun 1419 H.  Al Majmu’ Syarkhul Muhadzab. Dar Ihya Al Turats Al ’Arabi. Beirut. Lebanon

Suhendi, Dr. Hendi, M.Si. 1997. Fiqih Muamalah. Pustaka Rajawali Pers. Bandung

Syeikh Abdullah Al Basaam. Cetakan kelima tahun 1423 H. Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram. Maktabah Al Asadi. Makkah. KSA

Zainuddin Abd Aziz Al Fanani. 1997. Kitab Hasiyah I’anatuttholibiin Ala halli Alfaadhi Fathal Mu’iin. Juz III. Darul Fikr. Beirut. Lebanon


2 Tanggapan:

andini septama mengatakan...

theme na sama kyk blog ku, hihihi..
cuman yg ini lbh exciting, ada musiknya, pointernya lucu, animasi nya jg ga kalah hebat ama gadget lainnya, merinding baca "Sesungguhnya sholat ku, ibadah ku, hidup dan matiku hanyalah untuk Mu Allah.." :)

visit mine, http://andiniseptamasari.blogspot.com
tq

Unknown mengatakan...

UKHTI andini@ ok thanks,,, :-D
semoga saja qt dapat mengaplikasikan kalimat dalam anim tsbt,,, amiin ^_^

Posting Komentar

Mohon Di Isi