KEPEMIMPINAN WANITA


      
1.1.   Pengertian kepemimpinan menurut islam
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.[1]
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagi setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di muka bumi [Q.S.al Baqarah:30], yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah.  Sabda Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah] [Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, menurut konsep islam, semua orang adalah pemimpin. Dan setiap orang harus mempertanggungjawabkan tindakanya kepada sesamanya di dunia dan kepada Tuhan kelak di akhirat.[2]
Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal  maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain.
Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil” [QS.al-Baqarah:30]. Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifat adalah wakil Tuhan di muka bumi [khalifah fil ardli]. Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau  perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat.[3] Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agama dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat. Dikenal pula istilah “ulil amir” [jamaknya umara]  yang disebutkan dalam surat al-Nisa [59] yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat [55]. Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut,  memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah.[4]
1.2.   Wanita Dalam Pandangan Islam
Pada dasarnya wanita dan  laki-laki  dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum.[5] Uraian ini sangat jelas dalam surah An-Nisa
ياايهاالناس اتقواربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساءۚ
Artinya : “Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang  telah menciptakan kamu dari seorang diri dan  daripadanya Alloh menciptakan istrinya dan daripada keduanya lahir menyebarlah banyak pria dan wanita.”
Dan juga sabda Rasulullah SAW “Semua  manusia  adalah  sama, bagaikan gigi-gigi sisir. Tidak ada tuntutan kemuliaan seorang  Arab atas seorang ‘Ajam (bukan Arab), atau seorang  kulit putih  atas  kulit hitam atau seorang  pria  atas seorang wanita, Hanya  ketaqwaan seseorang  yang menjadi pilihan Alloh.”
Akan  tetapi  dalam perspektif yang  lain  wanita didudukan sebagai obyek yang harus  dipimpin  laki-laki, Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa  34:
الرجال قوامون على النساء
Artinya : “Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)
Pada ayat diatas bukan berarti  wanita tak mendapat kedudukan yang layak. Wanita dalam  batasan  tertentu  malah  menjadi  sebuah   tonggak negara, dengan peran sertanya dalam mendidik keturunannya.[6]
Wanita juga menempati diri sebagai sang pengayom bagi siapa saja,sehingga dapat  memberikan  ketenangan dan kebahagiaan.  Ungkapan  ini sangat  populer  lewat sebuah hadits yang mengatakan, "surga di bawah telapak kaki ibu"
 Dalam  sistem  Islam, wanita  ditempatkan  dalam  3 kategori besar:[7]
1)   Wanita sebagai Anggota Umat Beriman :
Wanita   sebagai  bagian  tak  terpisahkan  dari   umat mendapat perlakuan yang sama persis dengan  laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas wanita. Dengan demikian wanita mempunyai hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan  (ishlah) dalam masyarakat. Dengan peranannya tersebut  wanita menjadi sangat mempunyai arti  penting dalam dimensi spiritual.  Di samping dalam  lingkup spiritual, wanita juga mempunyai peran penting  dalam hal pendidikan anak.
2).  Wanita Sebagai Anggota Keluarga
Kedudukan wanita di keluarga dalam Islam ditempatkan  sebagai tempat terhormat.  Bahkan  wanita  di   rumah tangganya  menjadi  pilar utama yang akan  menopang keberlangsungan   keluarga.   Kehormatan   wanita   ini tercermin  dalam  ungkapan hadits:  Seseorang  bertanya kepada  Nabi, pekerjaan apakah yang  sangat  disenangi Tuhan.   Ia  berkata: “ menunaikan shalat  tepat   pada waktunya.”  Orang itu melanjutkan: kemudian apa  ?  Nabi bersabda, “ bersikap  murahlah kepada  ayah  dan  ibumu.”
Bahkan  dalam  ungkapan hadits yang lain,  yang paling dihormati  di dalam keluarga adalah ibu, baru  kemudian ayah. Dialah  pendidik dan penanam utama syariat sedari dini kepada  anggota keluarga yang lain. Lebih dari itu, seorang wanita akan menjadi peletak kepemimpinan dan syura dalam keluarga. Dari   sinilah   arti  penting  wanita dalam   proses pendidikan dan sosialisasi dalam keluarga.
3. Wanita Sebagai Anggota Dalam Masyarakat
Peranan  wanita dalam masyarakat  tidak  terpisahkan dari  keluarga. Perubahan sosial di  masyarakat  tidak akan berlangsung  jika  tidak  terdapat gerakan  dari keluarga. Keterlibatan wanita dalam masyarakat  menurut Darleney May adalah; sebagai agen intelektual,  sebagai agen  ketrampilan masyarakat, sebagai agen  di  bidang politik,  sebagai agen di bidang militer, sebagai  agen di bidang hukum dan di bidang ekonomi.
1.3.   Hukum Islam Terhadap Kepemimpinan Wanita
Islam tidak melihat adanya penghalang untuk menjadikan wanita sebagai pimpinan untuk urusan urusan yang bersifat khusus, yang memang sesuai dengan tabiat dan kekhususan-kekhususan fitrahnya, yang di situ tidak menuntut tanggung jawab dan peranan yang mempunyai resiko demi kemaslahatan umat dan Negara.[8]
Walaupun demikian kepemimpinan  wanita  merupakan  persoalan pelik yang  sampai  saat ini  terus  menjadi   perbincangan. Lingkup perbincangan  tersebut  bermula  dari tatanan syari'ah[9]  yang didasarkan kepada perkataan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :
لن يفلح قوم ولواامرأة
Artinya : “bahwa tidak akan beruntung suatu kaum jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita.” (Hr. Bukhari)
Interprestasi  akan Hadits sebagai  sumber  kedua setelah Quran biasanya diletakkan  kepada  persoalan Sanad dan Perawinya. Artinya apakah secara matan  (isi) suatu hadits tersebut bertentangan atau  tidak  dengan Qur'an, atau dapat difahami dengan logika Islam sebagai agama  yang fitrah atau tidak. Kemudian  interprestasi yang  lain  adalah berdasarkan kekuatan  sanad ataupun pembawanya.  Dengan menggunakan  kekuatan  sanad  akan melahirkan  jenis hadist dari  tingkat  Shahih  sampai dloif, mursal bahkan palsu.  
Menurut pendapat Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih, sebab periwayatannya  dari Abu  Bakrah  yang  kemudian dikutip  Bukhari. Sedangkan hadits  yang  diriwayatkan oleh Bukhari  termasuk  ke dalam hadist yang  shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada  yang difahami secara kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum  wanita menjadi kepala  pemerintahan.  Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa  hadits  tersebut berkaitan  dengan diangkatnya  seorang wanita  Persia menjadi  pemimpin meski disekitarnya  terdapat  banyak calon pemimpin  yang memadai,  hanya  karena   hukum kerajaan menghendaki demikian.[10]
              Mayoritas ulama ushul melihat bahwa  pertimbangan dengan kaidah keumuman lafazh lebih mengedepan bukan pada  kekhususan sebab  Meski demikian Ibnu Abbas dan Ibnu  Umar  tidak semata-semata  itu, hal ini setidaknya  melihat  dampak dari pemahaman yang demikian dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti  Khawarij  yang   berlebihan dalam agama. Golongan Khawarij dalam menafisrkan ayat maupun  hadits secara tekstual, sehingga menjadikan agama sangat  berat, bahkan sampai mengkafirkan perbedaan pendapat.[11]
Jumhur  ulama sepakat  akan   haramnya   wanita memegang  kekuasan dalam al-wilayatul-kubra  atau  al-imamatul-uzhma (pemimpin  tertinggi). Dimana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam pemerintahan. Sebab dalam  matan   hadits   tersebut terdapat lafadz  "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah  Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam  sistem politik Islam.  Sekalipun teks hadis ini berupa khabar atau kalimat berita, namun mengandung celaan ( ذم ) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahanya kepada seorang wanita berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan qorinah (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat jazm (pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara pasti hukumnya adalah haram. Ulama  klasik memandang   perlu untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkanbaik oleh  Al-Ghazali, Al-Mawardi,Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.[12]
Selain hadis di atas jumhur ulama juga memakai dalil dari firman Allah dalam Q.S. Annisa’ ayat 59 yang bunyinya :
يايهاالذين امنوا اطيعواالله واطيعوالرسول واولى الامر منكمۚ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul-nya dan ulil amri di antara kamu”
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa arab maka akan difahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin wanita maka seharusnya menggunakan lafadz Uulatul amri.
Perlu  untuk diketahui diantara perkara yang hukumnya dijelaskan oleh syariah islam adalah mengenai syarat-syarat kepala Negara. Syaikh Taqyuddin An-Nabhani Dan Abdul Qdim Zallum Dalam kitab Nizhamul Hukm fi islam, menulis bahwa ada tujuh syarat in’iqad (syarat mutlak) yang harus dipenuhi oleh seorang calon khalifah sebagai kepala negara kaum Muslimin, yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu.[13] Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat mutlak calon khalifah lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukan kepastian hokum dari nash-nash syara’.
Mengenai syarat laki-laki, Imam Al Qalqasyandi dalam kitab Maatsirul inafah juz 1/31 mengatakan bahwa syarat sahnya aqad khilafah menurut para fuqoha madzhab syafi’i, yang pertama adalah laki-laki. Tidak terjadi aqad manakala diberikan kepada seorang perempuan.[14]
Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan wanita, yang secara tegas islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan) baik ditingkat kepala Negara maupun perangkat-perangkatnya.
Sedangkan menurut Gamal A.Badawi, batasan yang diberikan oleh hadist “tidak akan beruntung suatu kaum jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita”, tidak terlalu berpengaruh terhadap takdir perempuan ataupun hak-haknya, melainkan dengan berkaitan perbedaan natural dalam pembentukan biologis dan psikologis laki-laki dan perempuan.[15] Lebih lanjut beliau menjelaskan pula bahwa menurut islam, kepala Negara semata-mata tidak sebagai figur. Dia menuntun orang untuk shalat, terutama pada hari jumat dan hari-hari suci menurut islam, dia senantiasa dalam proses pembuatan keputusan yang bertalian dengan keamanan dan ketentraman rakyat-rakyatnya.
Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa walaupun kita menggunakan hadist tadi sebagai dasar hokum, tetapi hanya menyangkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa menjadi khalifah, tetapi selain itu bisa.[16]
Menurut yusuf qardhawy, dalam  batas kepemimpinan  dalam  satu bidang tertentu, yang  tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri.[17] Meski demikian perkembangan  pemikiran  tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan kaum modernis terutama yang diwakili oleh kalangan feminis. Fatimah  Mernisi seorang feminis muslim  asal  Aljazair bahkan  secara radikal menyerang pemahaman  ulama  yang telah membuat fiqh yang diskriminasi kepada  perempuan.
Demikiankah beberapa pendapat yang masih terus berkembang tentang posisi wanita sebagai pemimpin atau sebagai kepala Negara.






      II.     KESIMPULAN
kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Pada dasarnya wanita dan  laki-laki  dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum. Uraian ini sangat jelas dalam surah An-Nisa yang Artinya : “Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang  telah menciptakan kamu dari seorang diri dan  daripadanya Alloh menciptakan istrinya dan daripada keduanya lahir menyebarlah banyak pria dan wanita.”
Dan juga sabda Rasulullah SAW “Semua  manusia  adalah  sama, bagaikan gigi-gigi sisir. Tidak ada tuntutan kemuliaan seorang  Arab atas seorang ‘Ajam (bukan Arab), atau seorang  kulit putih  atas  kulit hitam atau seorang pria atas seorang wanita, Hanya  ketaqwaan seseorang  yang menjadi pilihan Alloh.”
Jumhur  ulama sepakat  akan   haramnya   wanita memegang  kekuasan dalam al-wilayatul-kubra  atau  al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Dimana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam pemerintahan. Sebab dalam  matan   hadits   tersebut terdapat lafadz  "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah  Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam  sistem politik Islam.
Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa walaupun kita menggunakan hadist tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya menyangkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa menjadi khalifah, tetapi selain itu bisa.
Menurut yusuf qardhawy, dalam  batas kepemimpinan  dalam  satu bidang tertentu, yang  tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri.
Demikiankah beberapa pendapat yang masih terus berkembang tentang posisi wanita sebagai pemimpin atau sebagai kepala Negara.
DAFTAR PUSTAKA
·         Fakih Ainur Rohim, dk. 2001. Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta.
·         Muhammad bin Abdullah Sulaiman Arafah.1994. Hak Dan Peran Aktif Wanita Muslimah.cet 1. Solo: Hazanah Ilmu.
·         Nata Abuddin. 2003.Masail Al Fiqhiyah. Jakarta. Prenada Media.
·         Zahrah Abu Muhammad, 1996, Aliran Politik dan  Aqidah Dalam Islam, Logos, Jakarta
·          Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita. www.angelfire.com
·          Haramnya Presiden Wanita Bukan Khilafiyah, Buletin Assalam, www.isnet.org




[1] Aunur Rohim Fakih, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, hal 2
[2] H. Abuddin Nata. Masail Al Fiqhiyah. hal 124
[3] Ibid. hal 114
[4]. Aunur Rohim Fakih, dk., 2001 Op.Cit 4-5
[5] Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik pandangan Islam. http://rumaysho.com/belajar-islam/alasan-wanita-tidak-pantas-jadi-pemimpin.html
[6] Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik pandangan Islam .http://rumaysho.com Op.cit

[7] Muhammad bin Abdullah Sulaiman Arafah.Hak Dan Peran Aktif Wanita Muslimah. hal 220
[8] Ibid. hal 234
[9] Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita. www.angelfire.com
[10] Ibid. www.angelfire.com
[11] Abu Zahrah Muhammad, Aliran Politik dan  Aqidah Dalam Islam, Jakarta, Logos, 1996

[12] Muhammad Azhar,  Filsafat  Politik: Perbandingan   Islam  dan  Barat, hal 76
[13] Haramnya Presiden Wanita Bukan Khilafiyah, Buletin Assalam, www.isnet.org.
[14] Ibid.
[15] Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita. www.angelfire.com
[16] Ibid.
[17] Muhammad bin Abdullah Sulaiman Arafah.Hak Dan Peran Aktif Wanita Muslimah. hal 230.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Mohon Di Isi