PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan
kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh
berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong
menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan
Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat
interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya
harta dari satu tangan ke tangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya di zaman
kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.
Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha
pengadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya
gadai-menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan
indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara
baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi
seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedholiman dan saling memakan harta
saudaranya dengan batil.
Dalam rubrik fiqih kali ini kita akan membahas tentang :
’Ariyah, Ar Rahn , Hiwalah dan Ji’alah
dalam tinjauan syari’at.
PEMBAHASAN
2.1. ’ARIYAH
1.
Pengertian ’Ariyah
’Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan
menurut istilah ’Ariyah ada beberapa pendapat :
a.
Menurut
Hanafiyah ’Ariyah adalah ”memiliki
manfaat secara cuma-cuma”.
b.
Menurut
Malikiyah ’Ariyah adalah ”memiliki
manfaat dalam waktu tertentu tanpa imbalan”.
c.
Menurut
Syafi’iyah ’Ariyah adalah
”kebolehan dalam mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang
mungkin dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan
kepada pemiliknya”.
d.
Menurut
Hanabilah ’Ariyah adalah
”kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang
lainnya”. Dalam Surat An Nisa’ ayat 58 :
إِنَ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُوْا
اَلأَمَنَتِ إِلَى أَهْلِهَا . . .
Artinya : ”Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu semua agar
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.
2.
Dasar
Hukum ’Ariyah
Sebenarnya ’Ariyah adalah merupakan sarana tolong
menolong antara orang yang mampu dan tidak mampu. Bahkan diantara sesama orang
yang mampu dan tidak mampu pun ada kemungkinan terjadi saling meminjam. Sesuai
dengan firman Allah dalam Surat Al Maidah ayat 2.
. . . وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِ وَالتَقْوَى . . .
Artinya : ”Dan tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al Maidah
ayat 2)
Dalam suatu riwayat ada dijelaskan bahwa pernah
meminjam baju Abu
Sofyan dengan suatu jaminan, tidak
dengan jalan merampas dan tanpa ijin. Berdasarkan hadist di atas ulama fiqih
menyatakan bahwa ’Ariyah hukumnya Mandub ( مندوب ) karena melakukan ’Ariyah
merupakan salah satu bentuk ketaatan ( تعبد ) kepada Allah SWT.
Terkadang
hukumnya wajib, misalnya meminjamkan pakaian yang menjadi sebab sahnya sholat,
meminjamkan perkara untuk menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, atau
meminjamkan alat menyembelih binatang yang dimuliakan syara’, yang
dikhawatirkan akan mati.
Namun
para ulama mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan asal akad yang
menyebabkan pinjaman ”memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan
secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu,
peminjam berhak meminjamkan barang barang itu untuk dimanfaatkan, karena
manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang
membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkan kepada
orang lain.
3.
Rukun ’Ariyah
Jumhur
ulama mengatakan rukun ’Ariyah ada empat, yaitu :
a.
Orang
yang meminjamkan.
b.
Orang
yang meminjam.
c.
Barang
yang dipinjam.
d.
Lafadz
pinjaman.
Ulama madzhab Hanafi, mengatakan bahwa rukun ’Ariyah
hanya satu saja tidak perlu qabul. Namun menurut Zufar bin Husail bin Qoiz
(ahli fiqh madzhab Hanafi) qabul tetap diperlukan yaitu yang menjadi rukun
’Ariyah adalah ijab dan qabul. Menurut madzhab Hanafi, rukun nomor 1, 2, 3 yang
disebutkan jumhur ulama di atas, bukan rukun tetapi termasuk syarat.
Mengenai syarat adalah :
a.
Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat
(cakap) bertindak atas nama hukum karena orang yang tidak berakal, tidak dapat
memegang amanat. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang dungu, tidak
boleh mengadakan akad ’Ariyah.
b.
Barang yang dipinjamkan bukan barang yang bila dimanfaatkan
habis, seperti makanan dan minuman.
4.
Tanggung
Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian
barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya. Baik karena pemakaian yang
berlebihan maupun karena lainnya. Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu
Khurairah, Syafi’i, dan Ishaq dalam hadist yang diriwayatkan oleh Samurah,
Rasulullah SAW, bersabda (Artinya) : ”Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia
terima hingga ia mengembalikannya”.
Sementara pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat
bahwa, pinjaman tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali, karena
tindakannya yang berlebihan.
Sabda Rasulullah SAW, (Artinya) : ”Pinjaman yang
berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang
tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (dikeluarkan Al Daruqurhni )
2.2. AR RAHN (GADAI)
Rahn dalam bahasa arab memiliki pengertian tetap dan
berkelanjutan. Ada
yang menyatakan kata Rahn bermakna ”tertahan”. Adapun menurut istilah syara’,
kata Rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam,
supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup
melunasi hutangnya.
1.
Dasar
Hukum Gadai
Perjanjian gadai itu dibenarkan dalam Islam,
sebagaimana firman Allah SWT, dalam surah Al Baqarah
ayat 283 :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَنٌ مَقْبُوْضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِ
الَذِى اؤْتُمِنَ أَمَنَتَهُ . . .
Artinya : ”Jika kamu dalam perjalanan (dan tidak bermualah secara
tunai) sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada orang
barang tanggungan yang di pegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya”. (QS. Al
Baqarah ayat 283)
Sabda Rasulullah SAW, (artinya) : Dari Anas berkata
:”Rasulullah telah menuguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah , sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari
orang yahudi itu untuk keluarga beliau”. (HR.
Ahmad , Nasa’i dan Ibnu Majjah )
Menurut riwayat lain, gandum yang di pinjam Rasulullah
SAW, sebanyak 30 sha’ (90 liter) dan sebagai jaminannya baju perang beliau. Dari
hadist di atas dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non
muslim, dan harus ada jaminan sebagai pegangan sehingga tidak kekhawatiran bagi
yang memberi piutang.
2.
Rukun
Ar Rahn
(Gadai)
Mayoritas ulama memandang rukun Ar Rahn
(gadai) ada empat, yaitu :
a.
Ar Rahn atau Al
Marhuun (barang yang digadaikan).
b.
Al
Marhun Bihi
(hutang).
c.
Shighah.
d.
Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (gadai) hanya
memiliki satu rukun yaitu Shighah, karena pada hakekatnya adalah transaksi.
Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Ar Rahn (gadai)
hanya memiliki satu rukun yaitu Shighah, karena ia pada hakekatnya adalah
transaksi.
3.
Syarat
Ar Rahn
Diisyaratkan dalam Ar Rahn
sebagai berikut :
a.
Syarat berhubungan dengan transaktor (orang yang
bertransaksi) yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang
memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan
mengatur).
b.
Syarat yang berhubungan dengan Al Marhuun
(barang gadai) ada dua, yaitu :
1)
Barang gadai itu barang berharga yang dapat menutupi
hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2)
Barang gadai tersebut adalah milik orang yang
menggadaikannya atau yang diijinkan baginya tersebut harus diketahui ukuran,
jenis dan sifatnya, karena Ar
Rahn adalah transaksi atau harta
sehingga diisyaratkan hal ini.
c.
Syarat berhubungan dengan Al Marhun
Bihi (hutang) adalah hutang yang
wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
4.
Hukum-Hukum Setelah Serah Terima
a.
Pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada di tangan Murtahin selama
masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah SWT, :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَنٌ مَقْبُوْضَةٌ . . .
Artinya : ”Jika kamu dalam perjalanan (dan tidak bermualah secara
tunai) sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada orang
barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang)”. (QS. Al Baqarah
ayat 283)
b.
Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat
barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan
Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali, bila
barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka
boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam
pemeliharaan tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah
yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini didasarkan sabda
Rasulullah SAW, (Artinya) : ”Hewan yang dikendarai, dinaiki apabila
digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewan digadaikannya. Wajib
bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya”. (Hadist Shohih Riwayat Al
Tirmidzi )
c.
Pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah
digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti
(bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama
dan terpisah maka terjadi perbedaan pendapat ulama disini. Abu Hanifah dan Imam Ahmad dan yang
menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi
setelah barang gadai di tangan Murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm
dan yang menyepakatinya memandang itu bukan ikut barang gadai dan itu milik
orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i
dalam kendaraan dan menyusui, karena Ibnu Hazm
berpendapat dalam kendaraan dan hewan menyusui, (pertambahan dan
pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.
d.
Perpindahan kepemilikan dan pelunasan hutang dengan
barang gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada
Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali, dengan izin orang
yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya.
2.3. HIWALAH
1.
Pengertian
Hiwalah
Hiwalah ( الحوله ) berarti pengalihan, pemindahan, berubah
kulit dan memikul suatu di atas pundak.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan
seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang
dari atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang
kepada pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai
ganti pembayaran maupun tidak.
Ulama madzhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan
Hiwalah ialah pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (Al Muhiil = المحيل ) kepada yang berhutang lainnya (Muhaal Alaih
= المحال عليه
) ulama madzhab Hanafi lainnya (Kamal bin Hummam) mendefinisikannya dengan :
”pengalihan kewajiban membayarkan hutang dari pihak pertama kepada pihak
lainnya yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai”.
2.
Dasar
Hukum Hiwalah
3.
Rukun
Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun Hiwalah hanya ijab
(pernyataan melakukan Hiwalah) dari pihak pertama dan qabul (pernyataan menerima
hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i
dan Hambali rukun Hiwalah ada 6 (enam), yaitu :
a.
Pihak pertama.
b.
Pihak kedua.
c.
Pihak ketiga.
d.
Ada
hutang pihak pertama dan pihak kedua.
e.
Ada
hutang pihak ketiga dan pihak pertama.
f.
Ada Shighah (pernyataan Hiwalah).
4.
Syarat
Hiwalah
Semua imam madzhab (Hanafi, Syafi’i ,
Maliki dan Hambali) berpendapat bahwa Hiwalah menjadi sah apabila sudah
terpenuhi syarat-syaratnya yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua dan
ketiga serta yang berkaitan dengan hutang itu.
a.
Syarat bagi pihak pertama
1.
Cukup dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad,
yaitu baligh dan berakal. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun
ia sudah mengerti (mumayyiz).
2.
Ada
persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan Hiwalah maka aqad
tersebut tidak sah.
b.
Syarat bagi pihak kedua
1.
Cukup melakukan tindakan hukum yaitu baligh dan
berakal.
2.
Diisyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap
pihak pertama yang melakukan Hiwalah (madzhab Hanafi sebagian besar madzhab
Maliki dan Syafi’i ).
c.
Syarat bagi pihak ketiga
1.
Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad,
sebagai syarat bagi pihak pertama dan pihak kedua.
2.
Diisyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak
ketiga (madzhab Hanafi) sedangkan madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i
dan Hambali) tidak mensyaratkan hal ini, sebab dalam aqad Hiwalah pihak ketiga
dipandang sebagai obyek aqad.
3.
Imam Abu hanifah dan Muhammad bin Hasan
Asy Syaibani
menambahkan bahwa qabul tersebut dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di
dalam suatu majelis aqad.
d.
Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan
1.
Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah
dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
2.
Apabila mengalihkan hutang itu dalam bentuk Hiwalah Al Muqayyadah
semua ulama fiqih menyatakan bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua
maupun kepada pihak ketiga kepada pihak pertama meski sama jumlah dan
kwalitasnya.
3.
Madzhab
Syafi’i menambahkan bahwa kedua
hutang tersebut mesti sama pula, waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka
tidak sah.
5.
Akibat
Hukum
Jika aqad Hiwalah telah terjadi maka akibatnya :
a.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama
untuk membayar hutang kepada pihak kedua dengan sendirinya menjadi terlepas.
b.
Aqad
Hiwalah menyebabkan lahirnya hak
bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga.
c.
Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadi Hiwalah Al
Muthallaqoh berpendapat jika aqad Hiwalah Al Muthallaqoh terjadi karena
inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan
pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan aqad hutang piutang
sebelumnya, masih tetap berlaku. Khususnya jika jumlah hutang piutang antara
ketiga pihak tidak sama.
6.
Akad
Hiwalah Berakhir
a.
Salah satu pihak yang melakukan aqad tersebut
membatalkan aqad, sebelum aqad itu berlaku secara tetap.
b.
Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada
pihak kedua.
c.
Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga
merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
d.
Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang
merupakan hutang dalam akad Hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
e.
Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya
untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.
2.4. JI’ALAH
1.
Pengertian
Ji’alah
Menurut bahasa Ji’alah
artinya upah atau pemberian. Menurut istilah artinya upah yang diberikan kepada
seseorang atas keberhasilannya dalam memenuhi keinginan pemberi upah. Contohnya
: seseorang yang kehilangan kuda, dia berkata : barang siapa yang mendapatkan
kudaku dan dia kembalikan kuda itu, maka aku berikan upah sekian.
2.
Hukum
Ji’alah
قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ
جَاءَ بِهِ ے حِمْلُ
بَعِيْرٍ وَأَنَابِهِ ے
زَعِيْمٌ .
Atinya : ”Penyeru-penyeru itu berkata : Kami kehilangan piala raja dan
barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta dan akan menjanjikan terhadapnya”. (QS. Yusuf ayat 72)
3.
Rukun dan Syarat Ji’alah
a.
Lafadz (akad) Ji’alah ,
dengan syarat :
1)
Lafadz dapat dimengerti isi dan maksudnya.
2)
Mengandung izin untuk melakukan apa yang diharapkan
oleh pembuat lafadz.
3)
Ada
batas tertentu dalam melakukan sayembara.
b.
Orang yang menjanjikan upah, syaratnya :
1)
Orang yang punya hak memberikan sayembara.
2)
Orang yang dibenarkan secara hukum menyelenggarakan
sayembara.
c.
Pekerjaan (sesuatu yang harus dilakukan), syaratnya :
1)
Pekerjaan itu memungkinkan dilakukan oleh manusia.
2)
Pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tidak mengandung
unsur maksiat.
d.
Upah, syaratnya diketahui terlebih dahulu sebelum
pekerjaan itu dilaksanakan.
4.
Hikmah
Ji’alah
a.
Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan
(dilombakan).
b.
Menumbuhkan sikap saling menolong antar sesama umat
manusia.
c.
Adanya penghargaan suatu prestasi dari pekerjaan yang
dilaksanakan.
KESIMPULAN
3.1. ’Ariyah
’Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan menurut
istilah Syafi’iyah , ’Ariyah adalah ”kebolehan dalam
mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin
dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya”.
Dasar hukum ’Ariyah, sesuai dengan firman Allah dalam Surat
Al Maidah ayat 2, (Artinya) : ”Dan
tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al Maidah
ayat 2)
Jumhur ulama mengatakan rukun ’Ariyah ada empat, yaitu :
a.
Orang yang meminjamkan.
b.
Orang yang meminjam.
c.
Barang yang dipinjam.
d.
Lafadz pinjaman.
Mengenai syarat adalah :
a.
Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat
(cakap) bertindak atas nama hukum.
b.
Barang yang dipinjamkan bukan barang yang bila
dimanfaatkan habis
3.2. Rahn
Rahn dalam bahasa arab memiliki pengertian tetap dan
berkelanjutan. Ada
yang menyatakan kata Rahn bermakna ”tertahan”. Adapun menurut istilah syara’,
kata Rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam,
supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup
melunasi hutangnya.
Mayoritas ulama memandang rukun Ar Rahn
(gadai) ada empat, yaitu :
a.
Ar Rahn atau Al
Marhuun (barang yang digadaikan).
b.
Al
Marhun Bihi
(hutang).
c.
Shighah.
d.
Dua pihak yang bertransaksi.
a.
Syarat berhubungan dengan transaktor (orang yang
bertransaksi)
b.
Syarat yang berhubungan dengan Al Marhuun
(barang gadai)
c.
Syarat berhubungan dengan Al Marhun
Bihi (hutang)
3.3. Hiwalah
Hiwalah ( الحوله ) berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan memikul
suatu di atas pundak.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak
pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar
hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama.
a.
Pihak pertama.
b.
Pihak kedua.
c.
Pihak ketiga.
d.
Ada
hutang pihak pertama dan pihak kedua.
e.
Ada
hutang pihak ketiga dan pihak pertama.
f.
Ada Shighah (pernyataan Hiwalah).
a.
Syarat bagi pihak pertama
1.
Cukup dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad,
yaitu baligh dan berakal.
2.
Ada
persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan Hiwalah maka aqad
tersebut tidak sah.
b.
Syarat bagi pihak kedua
1.
Cukup melakukan tindakan hukum yaitu baligh dan
berakal.
2.
Diisyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap
pihak pertama yang melakukan Hiwalah
c.
Syarat bagi pihak ketiga
1.
Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk aqad,
2.
Diisyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak
ketiga
d.
Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan
1.
Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah
dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
2.
Madzhab
Syafi’i menambahkan bahwa kedua
hutang tersebut mesti sama pula, waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka
tidak sah.
3.4. Ji’alah
Menurut bahasa Ji’alah artinya
upah atau pemberian. Menurut istilah artinya upah yang diberikan kepada
seseorang atas keberhasilannya dalam memenuhi keinginan pemberi upah.
Rukun dan Syarat
Ji’alah
a.
Lafadz (akad) Ji’alah
b.
Orang yang menjanjikan upah,
c.
Pekerjaan (sesuatu yang harus dilakukan),
d.
Upah,
DAFTAR PUSTAKA
Imam
Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najieb
Al Muthi’i .
Cetakan tahun 1419 H. Al Majmu ’
Syarkhul Muhadzab. Dar Ihya Al
Turats Al ’Arabi. Beirut . Lebanon
Suhendi,
Dr. Hendi ,
M.Si. 1997. Fiqih
Muamalah . Pustaka Rajawali
Pers. Bandung
2 Tanggapan:
theme na sama kyk blog ku, hihihi..
cuman yg ini lbh exciting, ada musiknya, pointernya lucu, animasi nya jg ga kalah hebat ama gadget lainnya, merinding baca "Sesungguhnya sholat ku, ibadah ku, hidup dan matiku hanyalah untuk Mu Allah.." :)
visit mine, http://andiniseptamasari.blogspot.com
tq
UKHTI andini@ ok thanks,,, :-D
semoga saja qt dapat mengaplikasikan kalimat dalam anim tsbt,,, amiin ^_^
Posting Komentar
Mohon Di Isi