Kajian kesejarahan, konsepsi dan penerapan Aswaja dalam keseharian (Bag-2)
ANTARA ASWAJA DAN
MADZHAB EMPAT
Awal kurun kedua hijriyyah sampai pertengahan
kurun keempat (sekitar tahun 320 H.) adalah masa-masa keemasan fiqh Islam. Pada
masa-masa itu, sebagian besar kaum muslimin mengamalkan detil syari’at Islam
dalam berbagai problematika kehidupan mereka dengan langsung merujuknya pada
Al-Qur’an, dan sunnah Rasulullah saw. Selain karena kemampuan penggalian hukum
dari kedua sumber itu masih mereka miliki, hal ini juga disebabkan karena
perburuan berbagai riwayat tafsir dan hadis masih sangat dimungkinkan.
Kesemangatan menekuni keilmuan syari’at mendorong mayoritas mereka melestarikan
riwayat-riwayat tafsir dan hadis, rumusan-rumusan baku fiqh dari fatwa-fatwa
shahabat dan ulama’ generasi setelahnya, berikut pencetusan teori ushul
fiqhnya, dalam lembaran-lembaran karya tulis. Lahirlah banyak sekali karya
tulis tentang keilmuan syari’at dari tangan-tangan para ulama’. Jadilah, masa
itu sebagai era ijtihad dan era pembukuan keilmuan syari’at (tadwin).
Pada pertengahan abad keempat hijriyyah, himmah
(kesemangatan) para ulama untuk berijtihad mutlak dan merujuk pada sumber
hukum, Al-Qur’an dan sunnah, mulai mengendur. Kemampuan untuk berijtihad mutlak
semakin menurun, di sisi lain, mereka mencukupkan diri dengan hasil rumusan
fiqh dari ulama’-ulama’ pendahulu. Akhirnya, mereka cenderung mengikatkan diri
pada imam-imam mujtahid agung terdahulu yang telah populer dan diyakini
kebenarannya. Pada mulanya, madzhab-madzhab fiqh yang terbentuk amat banyak.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, yang bertahan dan tetap eksis mendapat
kepercayaan umat hanyalah empat madzhab, hingga sekarang. Yakni Madzhab Hanafi
madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali.
Dan, jika pada perkembangannya, Aswaja
didentikkan dengan mengikut pada salah satu dari empat madzhab fiqh di atas,
maka hal ini bisa kita nalarkan sebagai berikut : Bahwa saat ini kemampuan
berijtihad mutlak hampir tidak mungkin, sehingga yang menjadi kewajiban dalam
standar amaliah fiqh bagi setiap orang adalah bertaqlid. Sementara, dalam
bertaqlid harus selektif, memilih tokoh panutan (muqallad) yang
memiliki kapasitas memadahi. Selain imam madzhab empat yang telah populer, ada
sejumlah ulama’ mujtahid yang juga memiliki kapasitas intelektual memadahi.
Permasalahannya adalah tidak ada jaminan validitas periwayatan dari pendapat
imam-imam mujtahid selain empat imam madzhab. Adapun pendapat-pendapat empat
imam madzhab, karena banyaknya pengikut yang selalu melestarikan madzhab
imamnya dengan menggiatkan berbagai aktivitas penulisan karya, maka hal inilah
yang menjadi jaminan bahwa periwayatan madzhab-madzhab empat adalah valid dan
dijamin kesahihannya.
Penyebab berhentinya
aktivitas ijtihad
Selanjutnya, kecenderungan terhentinya gerakan
ijtihad serta trend mencukupkan diri dengan mengikuti rumusan-rumusan mujtahid
sebelumnya, setidaknya dipengaruhi empat faktor. Pertama,
terpecahnya kaum muslimin dalam sekat-sekat daulah (negara) yang masing-masing
berdiri sendiri dan tidak terjalin hubungan harmonis di antara negara-negara
tersebut. Kecenderungan yang terjadi, di antara negara-negara itu justru saling
menguasai. Pemerintahnya pun tersibukkan dengan urusan pertahanan, kekuasaan,
dan perluasan wilayah. Orientasi memajukan keilmuan syari’at Islam pun
terbengkalai.
Kedua, fanatisme yang amat kental
dari masing-masing madzhab. Upaya pencarian dalil dari Al-Qur’an dan hadis
diarahkan sebatas untuk memperkuat pendapat imamnya masing-masing, bukan uapaya
pencapaian derajat ijtihad mutlak. Bahkan jika terdapat ayat atau hadits yang
bertentangan dengan hasil rumusan imamnya, berarti ayat atau hadis tersebut
adalah dalil yang interpretatif, harus ditakwil dengan makna lain, atau dalil
yang mansukh (dianulir kandungan hukumnya), sebagaimana ungkapan Abu
Hasan Al-Kurdi dari ulama’ Hanafiyah, “Setiap ayat atau hadis yang
bertentangan dengan pendapat madzhab kita, harus ditakwil atau telah di-naskh”.
Sehingga bagi mujtahid yang tidak memiliki banyak pendukung,
pendapat-pendapatnya tidak terbukukan dan tidak dijadikan rujukan, seperti
Dawud Al-Dhahiri.
Keempat, penutupan pintu ijtihad
oleh sebagian ulama. Ini bermula dari tidak adanya rumusan baku tentang
persyaratan melakukan ijtihad. Ketika saat itu pintu ijtihad terbuka lebar,
sementara kemampuan berijtihad di kalangan kaum muslimin relatif menurun dari
masa ke masa, maka ijtihad dilakukan oleh sembarang orang dengan kemampuan
seadanya. Akibatnya, terjadi kerancuan di antara beragam hasil ijtihad. Apalagi
jika hal ini diterapkan dalam tataran kebijakan publik, seperti dalam ranah
peradilan, maka terjadilah penghalalan harta, bahkan nyawa, dengan
mengatasnamakan ayat Al-Qur’an dan hadis. Belum lagi adanya gejala bahwa
aktivitas ijtihad mulai diintervensi oleh kepentingan politik dan kekuasaan
yang akhirnya, ijtihad hanya dijadikan perantara untuk bersembunyi di balik
kedok legalitas syari’at. Dengan latar belakang inilah, para ulama memilih
jalur aman dengan mencukupkan pada pendapat madzhab-madzhab mujtahid terdahulu
yang telah mapan dan dapat dipertanggungjawabkan. Akhirnya, sebagian ulama’ mendeklarasikan
tertutupnya pintu ijtihad untuk membuntu pintu masuk sejumlah oknum yang ingin
menyalahgunakannya.
Kelima, menyebarnya virus akhlaq
atau krisis moral di kalangan sebagian ulama’ kaum msulimin, seperti sifat takabbur,
ananiyah (egoisme) dan hasud. Jika ada seorang ulama’ yang
mengikrarkan ijtihad, maka segera saja ia diserang oleh ulama’ lain, dengan
melontarkan tuduhan “sekedar mencari popularitas”. Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi
misalnya, begitu mengikrarkan diri sebagai mujtahid, segera saja ia dihujani
pertanyaan ujian oleh banyak ulama’. Akhirnya ia memilih bertaqlid pada imam
Syafi’i. Dengan latar belakang seperti ini, setiap orang yang mencetuskan
ketetapan hukum akan dengan hati-hati mengatakan ”Saya bukan berijtihad,
tapi hanya mengutip pendapat-pendapat orang terdahulu”.
********
AQIDAH AHLUSSUNNAH
ADALAH TEOLOGI ASY’ARI DAN MATURIDI
Jika dalam bidang fiqh Ahlussunnah wal jama’ah
(Aswaja) menjelma dalam cakupan empat madzhab, maka dalam bidang teologi,
Aswaja juga memiliki keidentikan dengan madzhab tertentu, dalam hal ini hanya
tertentu pada madzhab teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi. Mengapa demikian? Karena kedua tokoh inilah yang pertama kali
merumuskan secara baku, pokok-pokok akidah yang sesuai dengan faham Ahlussunnah
wal Jama’ah. Beliau berdua sangat ketat membentengi akidah imam madzhab empat,
karena berkeyakinan atas kebenaran mereka pada jalur sunah Rasulullah dan para
sahabatnya. Imam Asy’ari mengikat dirinya pada madzhab fiqh As-Syafi’i,
sedangkan Abu Manshur Al-Maturidi mengikat dirinya pada madzhab fiqh Imam Abu
Hanifah.
Kenyataan bahwa Aswaja hanya tertentu pada
pengikut faham Asy’ari dan Maturidi ini dikuatkan oleh pernyataan sejumlah
ulama’. Diantaranya adalah Al-Imam al-Alim al-Alamah as-Sayyid Muhammad bin
Muhammad Al-Husaini. Ulama’ yang dikenal dengan Syaikh Murtadla Az-Zubaidi
dalam kitab beliau Ittihaf Sadat al-Muttaqin syarah Ihya’Ulumiddin
karya Al-Ghazali dalam fasal kedua dari muqaddimah syarah ‘aqaid
menyatakan sebagai berikut :
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة
فَالْمُرَادُ بِهِمْ أَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّة
Jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah,
yang dikehendaki adalah pengikut faham Asy’ari dan Maturidi.
Demikian pula pernyataan Syaikh Ahmad bin Musa
al-Kayali dalam Hasiyah syarah al-’Aqa’id karya Najmuddin Umar bin
Muhammad An-Nasafi :
الأَشَاعِرَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة
أَيْ بِحَيْثُ إِذَا أُطْلِقَ هَذَا اللَّفْظُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة لَمْ
يَنْصَرِفْ إِلاَّ إِلَيْهِمْ
Para pengikut Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah
wal Jama’ah. Artinya, jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, tidak akan
diarahkan kecuali pada golongan tersebut.
Pada awalnya, Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari belajar
ilmu kalam dari Abu Ali Al-Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Setelah meyakini
kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Abu Hasan Al-Asy’ari lah orang
pertama yang menantang akidah tokoh Mu’tazilah tersebut. Berdiri di hadapan
massa, di atas mimbar masjib Bashrah, dengan lantang beliau menyatakan keluar
dari madzhab Mu’tazilah. Setelah itu beliau rajin menyusun karya yang
menegaskan pendirian Ahlussunnah wal Jama’ah dan meng-counter
pendirian Mu’tazilah.
Dalam sejumlah sumber, dikisahkan perdebatan
antara Abu Hasan Al-Asy’ari dengan Abu Ali Al-Jubai dalam rangka menolak dan
membatalkan pendapat Mu’tazilah, sebagai berikut :
Al-Asy’ari :
Bagaimana pendapatmu tentang tiga orang saudara
yang telah meninggal dunia, yang satu orang taat, yang kedua meninggal dalam
keadaan maksiat, dan yang ketiga meninggal saat masih kecil?
Al-Juba’i :
Yang taat diberi pahala dan masuk surga, yang
durhaka disiksa dan masuk neraka, kemudian yang kecil ada di antara surga dan
neraka (manzilatun baina manzilataini) artinya tidak diberi pahala dan
tidak disiksa
Al-Asy’ari :
Jika yang kecil mengatakan ”Wahai Tuhanku
mengapa Engkau mengambil nyawaku ketika aku masih kecil. Jika saja Engkau
biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga”. Lalu, bagaimana jawaban
Allah swt.?
Al-Juba’i :
Allah swt menjawab, “Aku tahu jika kau hidup
sampai dewasa maka kau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik
bagimu adalah kau mati ketika masih kecil”.
Al-Asy’ari
Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan, ”Wahai
Tuhanku jika engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil
nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam
neraka?” Lalu apa yang dikatakan Allah swt.?
Antara Teologi Asy’ari
dan Maturidi
Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi sepakat dalam
masalah sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah swt., bagi Rasul dan
malaikat-Nya, serta sepakat dalam sifat jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya, walaupun
keduanya berbeda dalam cara penalarannya. Keduanya berbeda pendapat dalam tiga
permasalah aqidah yang tidak sampai membahayakan. Pertama,
dalam permasalahan istitsna’ (pengecualian). Yakni perkataan seseorang
“Saya beriman, Insya Allah (jika Allah menghenmdaki)”. Menurut Asy’ariyah
diperbolehkan, menurut Al-Maturidiah tidak diperbolehkan. Kedua,
dalam permasalahan takwin, (secara harfiah bermakna mewujudkan, bentuk
mashdar dari amar kun, “jadilah”). Menurut Maturidi takwin
(mewujudkan) seperti memberi rizqi, menjadikan hidup mati, memberi rizqi
sejalan Qudroh, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin
(mewujudkan) dan takwin bukan mukawwin (yang menjadikan). Menurut
Asy’ari takwin tidak berbeda dengan Qudroh dengan memandang
hubungan Qudroh dengan hubungan yang khusus. Mewujudkan adalah sifat
Qudroh dengan memandang hubungan kepada makhluq. Memberi rizqi adalah sifat Qudroh
dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rizqi. Wallohu A’lam.
Ketiga, status keimanan seseorang melalui taqlid, sekedar
mengikuti orang lain yang dipercayainya tanpa mengetahui dalil atau argumentasi
rasionalnya. Menurut kalangan Maturidiyyah, keimanan seorang yang ikut-ikutan
adalah sah, sehingga orang-orang awam sudah bisa disebut dengan ‘arif
(orang yang ma’rifat kepada Allah) dan masuk surga. Sedangkan menurut kalangan
Asy’ariyyah ber-ma’rifat (beriman dengan keyakinan yang tumbuh dari
dalil) adalah wajib, tidak cukup hanya dengan taqlid. Mengenai status keimanan
dari muqallid ini, di antara ulama’ Asy’ariyyah terdapat tiga
pendapat, yaitu (1) statusnya mu’min tapi berdosa, karena meninggalkan
kewajiban ber-ma’rifat melalui dalil, (2) statusnya mu’min, dan tidak
berdosa kecuali jika ia mampu bernalar pada dalil namun ia tidak mau
melakukannya, (3) Tidak dianggap mu’min sama sekali.
Aqidah-Aqidah yang
disepakati Ahlussunnah Wal Jama’ah
Sejumlah masalah terkait aqidah, di kalangan
Ahlussunnah wal Jama’ah disikapi dengan beragam pendapat. Sejumlah aqidah masih
menjadi kontroversi pendapat, sejumlah aqidah lainnya telah disepakati.
Aqidah-aqidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah yang menjadi
standar sesat bagi orang-orang yang tidak meyakininya, adalah sebagai berikut
(baca: Al-Farqu baina al-Firaq):
- Pengakuan terhadap
adanya hakikat dan ilmu (pengetahuan yang mengantar pada keyakinan) secara
khusus dan umum. Artinya: mereka sepakat adanya ilmu ma’ani (sifat yang berwujud
yang andai hijab atau penghalang dibuka akan dapat dilihat).
- Keyakinan kebaruan
alam dengan segala macam pembagiannya, yang berupa sifat atau jisim (materi, zat).
Artinya, mereka sepakat bahwa alam adalah semua yang selain Allah. Sedangkan
semua yang selain Allah dan selain sifat-Nya adalah makhluk (ciptaan).
Mereka sepakat bahwa Pencipta alam bukanlah makhluk (ciptaan), bukan dari
jenis alam, bukan pula jenis dari juz (partikel) alam.
- Pengetahuan tentang
Pencipta alam dan sifat-Nya yang dzati. Mereka sepakat bahwa segala hal yang baru (hawadits) pasti ada
penciptanya. Maka sesatlah golongan Qodariyah yang mengatakan bahwa
perbuatan (yang juga termasuk hal baru, hawadits) tiada yang menciptakan.
- Sifat-sifat yang ada
pada dzat Allah yakni ilmu,
hayat, qudrat, iradah, sama’, bashar dan kalam, berupa sifat yang azali dan abadi.
- Nama-nama Allah
adalah tauqifi
(dogmatik) didasarkan pada pengambilan dari Al-Qur’an dan hadis, tidak
dengan dengan cara qiyas, sebagaimana dipahami Mu’tazilah yang menyatakan
bahwasanya Allah adalah مطيع لعبده (yang taat pada hamba-Nya) jika Allah
mengabulkan apa yang dikehendaki hamba-Nya. Mereka juga menyebut Allah
dengan محبل للنساء (yang menghamili perempuan) tatkala Allah menjadikan
perempuan hamil.
- Pengetahuan tentang
keadilan dan kebijaksanaan Allah. Dia yang menciptakan materi dan sifat,
baik dan buruknya. Allah yang menciptakan usaha hamba. Tiada pencipta
selain Dia. Hal ini berbeda dengan golongan Qadariyyah yang berpendirian
bahwa Allah sama sekali tidak menciptakan sesuatupun dari usaha para
hamba. Berbeda pula dengan golongan Jahmiyyah atau Jabariyyah yang
berpendirian bahwa para hamba tidak punya upaya atas terwujudnya
perbuatan. Pendirian moderat yang dipedomani ahlussunnah adalah bahwa para
hamba memiliki usaha mewujudkan perbuatan, akan tetapi Allah lah yang
menciptakan usaha itu.
- Allah mengutus para
utusan (rasul) yang mempunyai sifat ma’shum (terpelihara) dari dosa kecil dan dosa besar,
sebelum menjadi utusan atau sesudahnya. Antara rasul dan nabi terdapat
perbedaan.
- Adanya mu’jizat dan karamah. Semua Nabi pasti
dikukuhkan dengan mu’jizat,
sedangkan wali terkadang memiliki karamah, terkadang juga tidak.
- Islam dibangun atas
lima dasar dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.
Barangsiapa mengingkari salah satunya atau menginterpretasikan dengan
makna lain, maka ia dihukumi kafir.
- Status hukum
perbuatan mukallaf
ada lima, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
- Allah mampu
meniadakan / membinasakan alam secara keseluruhan, atau sebagian jisim
atau materi dan menetapkan sebagian yang lain. Sesatlah golongan Qadariyah
yang mengatakan Allah tidak mampu merusak sebagian alam dengan menetapkan
sebagian yang lain.
- Tentang khilafah dan imamah (kepemimpinan).
Pendirian Imamah
hukumnya wajib guna mengatur segala hal terkait kepentingan umat.
Ahlussunnah sepakat bahwa pembentukan imamah merupakan hal yang bernuansa ijtihadi
(interpretable). Dalam permsalahan khalifah, Rasulullah tidak pernah
melakukan penunjukan terhadap orang-orang tertentu secara eksplisit. Maka
sesatlah kaum Rafidlah yang menyatakan bahwa Rasul telah mengangkat Ali
bin Abi Thalib ra.
- Tentang iman dan
Islam. Ahlussunnah sepakat bahwa standar asal keimanan adalah pada tataran
keyakinan dan ikrar dalam hati, sementara ketaatan atas amaliah wajib
tidak berpengaruh pada status asal keimanan seseorang.
- Tentang status
kewalian
- Musuh-musuh agama, ada dua golongan. (1) Golongan yang menampakkan diri sebelum adanya kekuasaan Islam, seperti penyembah berhala, pemuja matahari, rembulan dan bintang-bintang, pemuja setan dan lain-lain. (2) Golongan yang menampakkan diri setelah adanya kekuasaan Islam, yaitu orang-orang kafir yang bersembunyi di balik lahiriah keislaman mereka akan tetapi menikam kaum muslimin dalam keadaan lengah seperti Sekte Ghulat (sekte sempalan Rafidlah Sabaiyyah), Bayaniyyah, Mughayriyyah, Manshuriyyah, Janahiyyah, Khaththabiyyah, dan lain-lain.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Mohon Di Isi