Belajar Memahami Fiqh


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهٌ...

Dewasa ini sering terjadi polemic bagaimana mengkondisikan Fiqih zaman dulu dengan Fiqih zaman sekarang, karena bagi sebagian pendapat umum mengatakan bahwa metode Ilhaq (menyamakan satu kasus yang muncul dengan teks kitab-kitab salaf sebagai referensi) dianggap sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan karena sudah tidak adanya Illat ataupun sosio-histori yang mendasari. Sehingga metode Maudlu’I (langsung kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah) merupakan hal yang sangat tepat sebagai perumusan hukum. Sekarang yang menjadi pertanyaan, beranikah kita secara langsung menggunakan metode ini? Dengan kadar pemahaman yang sangat minim dibanding dengan Ulama’-ualama’ salaf terdahulu?

Tanpa mengabaikan konteks Al Qur’an dan Al Hadits sudah seharusnya kita merujuk pada Ushul Fiqih dan Qoidah Fiqih-nya, ketika kita menemukan satu kasus yang Illatnya tidak kita temui dari kitab-kitab salaf. Kemudian bagaimana cara kita merumuskan sebuah hukum yang belum pernah kita temui kasus yang sama sebelumnya?

Pertama yang harus kita ketahui bahwa hukum itu ada yang Ta’abudiy dan Ta’aquliy. Untuk merangsang pemikiran kita, mari kita ulas sedikit tentang contoh hukum yang tergolong dalam Ta’abudiy dan Ta’aquliy.

1. Hukum Ta’abudiy
Hukum Ta’abudiy adalah hukum yang tidak bisa diketahui bagaimana proses perumusannya dan Illat apa yang mendasari hingga suatu hukum itu bisa dikatakan halal ataupun haram, atau dalam kata lain hukum yang sudah tidak bias di Ijtihadi lagi karena dalam Ta’abudiy dipastikan kebenaran dan kerelevanannya sampai kapanpun.

Namun ahir-ahir ini banyak sekali pemahaman-pemahaman yang menggugat hukum yang bersifat Ta’abudiy karena dianggapnya sudah tidak relevan lagi untuk zaman sekarang. Seperti Iddahnya seorang perempuan yang di Thalaq suaminya ketika Mu’taddah tadi dalam kondisi normal (masih haidl) maka Iddahnya adalah tiga kali suci dari haidlnya seperti diterangkan dalam Surah Al Baqoroh ayat 228 :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Artinya :“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat”
Sementara kalau perempuan tadi tidak normal (belum atau sudah tidak haidl lagi) maka masa Iddahnya cukup menanti selama tiga bulan sesuai dengan firman Alloh :

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ 

Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan” (Q.S At- Tholaq : 4)

Sedang masa Iddah perempuan yang hamil adalah mulai dari suaminya meninggal dan ketika sudah melahirkan maka habislah masa Iddahnya. Seperti diterangkan dalam Al Qur’an :

وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ 

Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Q.S At- Tholaq : 4)

Ayat diatas sudah sangat tegas memberi batasan pada masa penantian seorang wanita (mu’taddah), dan tentunya sudah sangat pasti tentang ke-Ta’abudiy-annya. Kemudian atas dasar apa hingga sebagian orang menganggap bahwa hukum yang diterangkan ayat diatas sudah tidak lagi relevan? Ternyata hanya berdasarkan pertimbangan, bahwa baroatur rahmi (pembersihan rahim) pada saat ini bisa diketahui dengan alat-alat yang canggih sehingga tidak harus menunggu sampai empat bulan sepuluh hari atau yang lainnya. Karena dengan alat modern ini dengan sekejap sudah bisa diketahui bersihnya rahim.

Perlu ditegaskan bahwa baroatur rohmi bukanlah sebuah Illat yang memberikan konsekwensi sebagai penetapan sebuah hukum, tapi baroatur rohmi hanya merupakan sebuah hikmah yang bisa dipetik dari ketentuan masa Iddah. Kalau baroatur rohmi dianggap sebagai Illat maka mestinya Al Qur’an tidak perlu mengklasifikasi mu’taddah dalam beberapa kategori dan mestinya iddah diwajibkan sampai empat tahun sebab ada juga yang mengandung sampai empat tahun.

2. Hukum Ta’aquliy
Hukum Ta’aquliy adalah hukum yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits yang bisa diketahui proses perumusannya dengan adanya Illat yang mendasari. Kalau hukum itu masih berpijak pada dalil Qiyas, maka setelah Illatnya ditemukan dan masih bisa dikontekstualisasikan dengan kasus yang ada sekarang kita langsung bisa merumuskan hukum itu. Dan tentunya kita harus berani melakukan Ijtihad dalam rangka memutuskan hukum ketika Illatnya dianggap sudah tidak lagi relevan. Artinya langsung merujuk pada Ushul Fiqh dan Qoidah Fiqhnya. Secara garis besar pintu Ijtihad akan selalu terbuka dalam permasalahan hukum yang bersufat Ta’aquliy. Pertanyaannya sudah beranikah kita ber-Ijtihad sendiri?

الَمُحافظةُ على قديمِ الصَّالحِ والأخذُ بجديدِ الأصْلَحِ

Artinya : “Menjaga pada suatu hal yang lama (kuno) yang baik, dan mengambil pada hal-hal baru yang lebih baik”

Sebagai pondasi pokok untuk relevansi hukum-hukum Fiqh yang ada, perlu diperhatikan masalah-masalah yang muncul. Karena dalam merumuskan hukum tidak pernah terlepas dari lima unsur dasar yaitu, Hifdzu Ad Din, Hifdzu Al Mal, Hifdzu An Nasli, Hifdzu An Nafsi, Hifdzu Al Aqly.

a. Hifdzu Ad Din
Adalah sebuah ketetapan yang diperuntukkan untuk menjaga agama Islam agar tetap survive ditengah gerak kehidupan yang begitu dinamis. Dengan adanya konsep Hifdzu Ad Din diharapkan tidak adanya pelanggaran yang akan muncul dalam uapaya mengaplikasikan ajaran Islam. Sehingga ketika ada seseorang yang tidak mengindahkan peraturan hifdzu Ad Din, maka ia berhak mendapat hukuman dari Islam atas perbuatannya. Semisal orang murtad, ketika ia diperintahkan untuk bertaubat menolak maka darahnya halal untuk ditumpahkan.
Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi Saw. Yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abbas yang berbunyai:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Artinya : “Barang siapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah”

b. Hifdzu Al Mal
Hifdzul al Mal merupakan sebuah ketetapan yang berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap harta benda. Dan rumusan ini menelurkan banyak sekali permasalahan, termasuk diantaranya adalah orang yang mencuri akan mendapatkan hukuman had (potong tangan) dikarenakan telah melanggar satu undang-undang yang berupa Hifdzu Al Mal, sebagaimana termaktub dalam Al Qur’anul Karim:

بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S Al Maidah : 38)

c. Hifdzu An Nafsi
Merupakan sebuah runusan yang bertujuan untuk menjaga keselamatan diri insane atau anggota tubuhnya. Sehingga dengan adanya Hifdzu An Nafsi ini, banyaknya kasus pembunuhan, pertikaian dan lain sebagainya dapat ditekan serendah mungkin frekuensinya. Masalah yang timbul dari rumusan ini banyak sekali seperti orang yang membunuh maka wajib dibunuh (hukum Qishos). Dalam Al Qur’an telah diterangkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita”.(Q.S Al Baqoroh : 178)
Hukuman ini merupakan bentuk realisasi dari konsep Hifdzu An Nafsi.

d. Hifdzu An Nasli
Adalah konsep yang bertujuan untuk menjaga pada kelestarian keturunan anak Adam. Seandainya Hifdzu An Nasli ini tidak ditetapkan, niscaya anak-anak yang dilahirkan dimuka bumi ini semua akan terlantar karena tidak adanya perhatian dari kedua orang tua. Contoh orang yang melanggar tatanan Hifdzu An Nasli adalah orang yang berzina maka baginya wajib untuk di had atas perbuatannya sesuai dengan Firman Alloh :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (An Nur : 2)

e. Hifdzu Al Aqli
Akal adalah sebuah anggota tubuh yang sangat vital,sehingga menjaga kesehatan akal sangatlah penting, karena dengan akallah manusia bias lebih mulia dibanding mahluk-mahluk Alloh yang lain. Dalam rumusan ini tercakup bebagai permasalahan, diantaranya tentang wajibnya had ( hukuman cambuk sebanyak 40 kali) bagi seorang yang minum arak, dikarenakan membawa dampak negative terhadap fungsi kerja akal (otak). Seperti dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Annas disebutkan :

أنَّ النِبيَّ صل الله عليه وسلم : كان يَضْرِبُ في الخَمْرِ بِالِّنعالِ والجريدِ اَرْبَعِيْنَ

Artinya : “Sesungguhnya Nabi Saw itu memukul pada orang yang minum arak dengan sandal dan pelepah kurma sebanyak 40 kali”

Refrensi : Di rangkum dari buku “Masih Relevankah Fiqih” 

Oleh : Agus Sa'id Ridlwan

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Mohon Di Isi