SOROGAN

 

Aku heran dengan cara Mbah Ali mendidikku. Pada mulanya aku disuruh sorogan Ta’limul Muta’allim. Belum sampai khatam sudah disuruh ganti Taqrib. Baru selesai bab Haji disuruh ganti kitab lain lagi. Begitu seterusnya aku gonta-ganti kitab tanpa satu pun mengkhatamkannya. Rasanya manfaat yang kuperoleh bukan terutama dari kitab yang kubaca, tapi karena sering memandangi wajah Mbah Ali saja.


Kiyai Masduqi Mahfudh, Malang –sekarang Rais Syuriyah PBNU, menceritakan bahwa Mbah Ali memiliki maziyah (keistimewaan) bisa mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal. Pada waktu pertama kali datang ke Krapyak –mungkin sekitar tahun 50-an atau 60-an, Santri Masduqi diajak mengikat janji oleh Mbah Ali,


“Kalau kamu sanggup tinggal di pondok nggak pulang-pulang sampai tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi lebih ‘alim ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik pulang”, begitu akadnya.
Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad itu. Pada akhir tahun ketiga, barulah ia pamit pulang.
Sebelum mengijinkan, Mbah Ali meraih tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan.
“Ayo makan bareng aku”, kata beliau.


Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih centong nasi, Mbah Ali melarangnya,
“Kamu duduk saja!” lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi untuk santrinya itu, meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman sesudah makan, seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.
“Sejak saat itu”, kisah Pakdhe Masduqi, “tak ada kitab yang sulit bagiku. Setiap ada lafadh yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang membisiki telingaku, memberi tahu artinya…”


Aku percaya pada Pakdhe Masduqi, walaupun barangkali beliau menceritakan ini sekedar untuk membesarkan hatiku ketika beliau ta’ziyah meninggalnya ayahku. Mungkin juga aku percaya karena terdorong ketidakpahamanku akan metode pendidikan Mbah Ali. Setiap santri seolah diperlakukan khusus, dengan cara yang berbeda dari lainnya. Sepupuku yang sekamar denganku tidak cukup disuruh menulis saja. Ia diperintahkan ngeblad tulisan kitab. Santri lain disuruh mengumpulkan maqolah-maqolah dari berbagai kitab. Seorang santri baru malah diperlakukan dengan “sangat demokratis”

.
“Kamu sorogan ya, Nak”, kata Mbah Ali kepada anak yang baru lulus SD itu.
“Sorogan itu apa, Mbah?”
“Setiap habis shubuh kamu baca kitab didepanku”, Mbah Ali sabar.
“Kitab itu apa, Mbah?” Kuper nian anak itu.
“Kitab itu ya buku”.
“Yang dibaca buku apa?”
“Terserah kamu…”


Pagi itu, ditengah membaca kitabku dihadapan Mbah Ali yang dirubung santri-santri, aku kaget oleh suara lantang anak baru disebelahku,
“Pulau Buton menghasilkan aspal…!”
Kulirik “kitab” yang dipegangnya: PELAJARAN GEOGRAFI KELAS I SMP!

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Mohon Di Isi