Mengajar Anak-anak Kecil



Sebagaimana kebiasaan dimadrasah kami, tiap awal tahun pelajaran, guru-guru dikumpulkan untuk membagi tugas mengajar, dan diberi kebebasan untuk memilih pelajaran yang akan dipegang.. namun tetap harus mendapat persetujuan dari rois madrasah, apakah ia layak mengajar kitab tersebut. Sebagai guru termuda tentu aku diam saja nggak berani milih pelajaran, nunggu sampai para sesepuh selesai membagi jam pelajaran. Setelah semua mendapat jatah mengajar, tinggal aku yang belum dapat, e.. ternyata dapat jatah ngajar santri TPA, waduh, gimana ini, apa aku bias sabar menghadapi anak-anak kecil, “ masak tahun sebelumnya ngajar anak tingkat tsanawi sekarang ngajar anak kecil “ pikirku.


Aku jadi teringat dengan kisah Mbah Ali Ma’sum. Beliau diambil menantu oleh Kyai Muhammad Munawwir, Krapyak, Yogya, yang mengkhususkan diri dengan pengajaran Al Quran. Kyai Abdullah Munawwir, kakak ipar Kiyai Ali, mementingkan datang ke Lasem untuk memohon kepada Kyai Ma’shum agar Kyai Ali diijinkan tinggal di Krapyak. Mbah Ma’shum meluluskan.


Tapi setelah tinggal di Krapyak, ternyata Kyai Ali sudah “tidak kebagian santri”. Semua santri sudah disibukkan dengan kegiatan mengaji kepada guru masing-masing sehingga tak ada waktu lagi untuk mengaji kepada Kyai Ali. Selama beberapa waktu Kyai Ali “menganggur”, dan alangkah tidak nyamannya itu bagi seorang yang menanggung begitu banyak ilmu dalam dirinya.


Ditengah waktu-waktu kosong yang membosankan itu, Kiyai Ali mengamati anak-anak kecil yang asyik bemain-main, berlarian di halaman Pondok. Kyai Ali memanggil anak-anak itu, mengajak mereka bercengkerama, membagi-bagikan penganan, lalu membujuk mereka agar mau diajari mengaji. Maka mulailah Kyai Ali dengan pelajaran membaca dan menulis huruf hija’iyyah. Seiring dengan perkembangan usia, lama-kelamaan mereka siap diajari berbagi macam ilmu dan kitab-kitab, hingga akhirnya anak-anak yang tadinya berkeliaran tak karuan itu menjadi orang-orang ‘alim yang unggul ilmunya. Diantara mereka adalah junjungan-junjunganku, adik-adik ipar Kyai Ali sendiri, yaitu Kiyai Zainal Abidin Munawwir dan Kiyai Ahmad Warson Munawwir.


Aku jadi agak tenang. Jangan aku, Mbah Ali Maksum saja ngajar anak kecil,gumamku. Ada satu lagi kisah dari Hadhrotusy Syeh Hasyim Asy’ari yang membuatku semakin mantap untuk menerima,menikmati dan seharusnya bangga mengajar anak-anak, begini ceritanya :

“Aku pengen ketemu Kyai Salam”, kata Kyai Hasyim Asy’ari. Kyai Nawawi pun mengantarkan.
Kyai Abdussalam rahimahullah adalah ayahanda dari Kyai Abdullah Salam dan kakek dari Kyai Sahal Mahfudh.

Sampai di kediaman Kyai Salam, didapati tuan rumah sedang mengajar anak-anak kecil mengaji. Kyai Hasyim serta-merta menahan langkah, menyembunyikan diri dari pandangan Kyai Salam, dan menunggu. Setelah semua anak-anak kecil itu selesai ngajinya, barulah Kyai Hasyim mengucap salam, yang lantas disambut dengan suka-cita luar biasa.
Meninggalkan kediaman Kyai Salam, Kyai Hasyim kelihatan ngungun. Air matanya mengambang.
“Ada apa, ‘Yai?” Kyai Nawawi keheranan.
Kiyai Hasyim mengendalikan tangisnya, menghela napas dalam-dalam.
“Aku punya cita-cita sudah sejak sangat lama… tapi sampai sekarang belum mampu melaksanakan… Kyai Salam malah sudah istiqomah… Aku iri…”
“Cita-cita apa, ‘Yai?”
“Ta’liimush shibyaan…” (Mengajar anak-anak kecil).

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Mohon Di Isi